Ada yang aneh di negeri kita ini, kawan. Anak-anak berangkat ke sekolah setiap hari, rapi dengan seragam, buku tebal di tangan. Tapi, coba perhatikan lebih dekat—mereka datang bukan dengan semangat belajar, tapi dengan beban di pundak. Mau sekolah, tapi enggan belajar. Ini bukan masalah malas atau bodoh, tapi mungkin kita sebagai sistem pendidikan yang membuat mereka begini.
Sekolah jadi ritual wajib, seperti doa di pagi hari yang dibaca dengan terburu-buru, asal lewat saja. Mereka duduk di kelas, dengar guru ceramah, tapi otaknya entah melayang ke mana. Sekolah jadi tempat menghabiskan waktu, bukan tempat menimba ilmu. Disadari atau tidak, pendidikan kita ini sudah berubah jadi pabrik pencetak nilai? Hasil akhirnya rapor, ijazah, tapi di dalamnya kosong, tidak ada makna.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9). Ilmu itu harusnya membuat hati kita tergerak, menjadi hidup. Tapi apa yang kita lakukan? Kita hanya kejar angka, bukan kejar pemahaman. Di kepala mereka cuma ada nilai, ranking, ujian. Padahal, kata Imam Malik, “Ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah letakkan dalam hati.” Nah, di mana cahaya itu sekarang? Kenapa malah kita matikan dengan beban yang tidak ada ujungnya?
Masalahnya, kita lupa bahwa setiap anak itu unik, punya cara belajar yang beda-beda. Tapi sistem ini memaksa mereka masuk ke kotak yang sama, berharap hasilnya seragam. Akhirnya, banyak yang datang ke sekolah hanya karena harus, bukan karena mau. Mereka hilang dalam rutinitas, tidak tahu kenapa mereka harus belajar. Sekolah jadi kewajiban, bukan perjalanan. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Tapi jalan itu jadi berat kalau kita hanya memikirkan hasil akhir tanpa mempedulikan prosesnya.
Pendidikan kita itu perlu dirombak, bukan di permukaannya, tapi di hatinya. Kita harus mulai lihat mereka sebagai manusia, bukan robot yang harus mencetak nilai tinggi. Mereka butuh alasan untuk belajar, butuh melihat bahwa ilmu itu lebih dari sekadar angka di rapor. Belajar itu tentang memahami hidup, tentang bertanya, tentang mencari jawaban yang membuat mereka mengerti kenapa mereka ada di dunia ini.
Kawan, kita perlu mengubah cara kita mendidik. Berhenti memaksakan standar yang sama ke semua anak. Biarkan mereka tumbuh sesuai dengan potensi mereka masing-masing. Kata Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan di zamanmu.” Zaman sudah berubah, tapi kita masih aja pakai metode yang itu-itu aja, mirip kaset rusak yang muter terus di tempat yang sama.
Sekolah itu harus jadi tempat di mana anak-anak merasa hidup, bukan mati rasa. Tempat mereka menemukan jati diri, bukan cuma hafalan tanpa makna. Membuat mereka penasaran, membuat mereka semangat untuk belajar, bukan karena takut tidak lulus, tapi karena mereka ingin memahami sesuatu. Itu yang seharusnya kita tuju. Pendidikan bukan cuma tentang nilai, tapi tentang bagaimana kita menyiapkan mereka untuk hidup dengan penuh makna.
Jadi kalau anak-anak sekarang mau sekolah tapi enggan belajar, salahkan bukan hanya mereka, tapi juga sistem yang membuat mereka begitu. Kita, para guru, orang tua, dan masyarakat, harus mulai sadar. Pendidikan itu soal menyalakan api, bukan mengisi ember. Mari kita desain sekolah menjadi tempat yang mereka cintai, tempat di mana mereka bisa menemukan dunia baru, bukan sekadar tempat menunggu waktu pulang. Mari kita jadikan belajar sebagai petualangan, bukan kewajiban. Hanya dengan begitu, kita bisa membuat mereka benar-benar mau belajar, bukan sekadar datang ke sekolah.