Ada masa ketika kebodohan terasa seperti udara yang kita hirup sehari-hari. Kebodohan yang melibatkan hati, perasaan, dan dosa yang tak terhitung jumlahnya. Seperti angin yang meniup dedaunan, ada masa dalam hidup kita yang terombang-ambing oleh kebingungan dan kesalahan. Ketika cinta tak halal—pacaran—menjadi bagian dari perjalanan hidup, kita sering kali tidak sadar bahwa kita menanam benih perasaan yang merusak, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Dalam tradisi para salaf, dosa seperti ini adalah sesuatu yang menodai hati. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya Ad-Daa’ Wad-Dawaa’ menjelaskan bahwa maksiat adalah luka yang bisa merusak kedamaian hati seseorang. Kita merasa terikat pada masa lalu, merasakan kesedihan atas hubungan yang berakhir, dan membawa beban rasa bersalah karena telah menyakiti hati orang lain. Di sinilah muncul persoalan bagaimana memaafkan diri sendiri dan memperbaiki diri setelah banyaknya kesalahan yang dilakukan.
Perjalanan menuju perbaikan diri, memaafkan kesalahan masa lalu, adalah proses yang menyakitkan. Ia adalah lika-liku yang tak terduga, sebuah pendakian yang kadang terasa mustahil. Terlebih, dosa-dosa yang kita lakukan bukan hanya milik kita. Dalam pacaran, ada perasaan yang terlibat, ada jiwa lain yang kita sentuh, dan tak jarang kita meninggalkan luka di sana. Namun, luka itu bukan berarti kita harus selamanya terperosok dalam rasa bersalah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31).
Tetapi, bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa berdamai dengan semua kekeliruan itu? Seorang bijak pernah berkata bahwa manusia tak ubahnya seperti pengelana yang terus mencari dirinya sendiri. Pacaran, pada akhirnya, hanyalah salah satu bentuk pencarian yang salah arah. Dan ketika kita sadar akan kesalahan itu, di situlah perjuangan untuk memaafkan diri dimulai.
Ada orang yang bisa dengan mudah melangkah maju, sementara sebagian dari kita terjebak dalam penyesalan. Kita terus-menerus bertanya-tanya: “Kenapa dulu saya melakukan itu?”, “Kenapa saya bisa begitu bodoh?” Namun, penyesalan yang terus dipelihara hanya akan menjadi beban yang menghalangi kita untuk maju. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad , beliau bersabda: “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi). Tobat, dalam artian yang paling mendalam, bukan hanya tentang meminta ampun kepada Allah, tetapi juga tentang membebaskan diri dari penjara masa lalu.
Seperti hujan yang membersihkan debu dari jalan, tobat adalah satu-satunya cara untuk membersihkan noda dosa yang melekat di hati kita. Tapi, memaafkan diri sendiri sering kali lebih sulit daripada meminta ampunan kepada Allah. Ada rasa bersalah yang terus menerus menghantui, terutama ketika kita menyadari bahwa dosa itu bukan hanya antara kita dan Allah, tapi melibatkan orang lain. Setiap kali kita memikirkan perasaan yang kita rusak, hati kita tersayat, seolah luka itu tidak bisa sembuh. Namun, kita harus belajar bahwa memaafkan diri adalah bagian dari perjalanan itu sendiri.
Dalam perjalanan ini, kita perlu mengingat bahwa masa lalu itu sudah berlalu. Seperti awan yang terbang ditiup angin, kesalahan kita tak bisa diubah, tetapi bisa kita jadikan pelajaran. Masa lalu bukan sesuatu yang harus kita sesali tanpa henti. Sebaliknya, ia adalah pengingat tentang seberapa jauh kita telah melangkah, dan seberapa kuat kita bertahan dalam memperbaiki diri.
Memaafkan diri, mungkin, adalah seni tersulit yang harus kita pelajari. Seperti kata pepatah Arab, “Al-‘afwu ‘inda al-maqdira”—pemaafan yang sejati datang ketika kita memiliki kuasa atas diri kita sendiri. Ini adalah pengingat bahwa kita harus mengambil kendali penuh atas diri kita dan masa lalu kita. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk dimaafkan, selama kita berusaha untuk tidak mengulanginya.
Perjuangan untuk memaafkan diri sendiri bukan hanya tentang menerima bahwa kita pernah salah, tetapi juga tentang bagaimana kita bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Dan seperti fajar yang menyingsing di ujung malam, ada harapan bagi setiap jiwa yang mau berusaha. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222). Harapan ini adalah mercusuar yang menerangi jalan kita yang penuh kerikil dan duri, membawa kita ke arah yang lebih baik, ke arah yang lebih terang.
Ketika akhirnya kita bisa memaafkan diri sendiri, kita mulai melihat bahwa penyesalan adalah guru terbaik. Dosa-dosa yang pernah kita lakukan memberikan pelajaran yang tidak akan kita dapatkan dari tempat lain. Setiap kali kita mengingat kesalahan masa lalu, kita juga diingatkan tentang pentingnya menjaga hati dan tindakan kita di masa depan. Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang ketika berbuat dosa, dosanya seakan-akan gunung yang akan menimpanya. Sedangkan orang fasik melihat dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya.”
Penyesalan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dijadikan batu loncatan menuju kebaikan. Ketika kita benar-benar menyesal, kita akan lebih berhati-hati dalam menjalani hidup dan lebih menghargai setiap kesempatan untuk berbuat baik.
Masa lalu adalah guru yang baik, tetapi bukanlah tempat tinggal. Dosa dan kesalahan kita di masa lalu tidak mendefinisikan siapa kita di masa depan. Islam mengajarkan kita untuk selalu bergerak maju, memperbaiki diri, dan memanfaatkan sisa umur yang Allah berikan untuk melakukan kebaikan. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 135)
Dosa-dosa di masa lalu mungkin sulit dihapus dari ingatan, tetapi Allah tidak pernah menutup pintu-Nya bagi mereka yang ingin bertobat. Telah kita jalani masa-masa penuh kesalahan dan kebodohan. Sekaranglah saatnya untuk berubah, menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih dekat dengan Allah, dan yang lebih bijaksana dalam menjalani hidup.
Dengan memahami bahwa masa lalu adalah bagian dari perjalanan kita menuju kebaikan, kita bisa melangkah dengan lebih ringan dan semakin optimis. Masa lalu adalah pelajaran, dan masa depan adalah ladang untuk menebus kesalahan-kesalahan tersebut dengan kebaikan yang berlimpah.
Maka, marilah kita tinggalkan masa lalu dengan segala dosanya. Biarkan ia menjadi bayangan yang perlahan menghilang di balik sinar terang tobat dan perbaikan diri. Masa itu lalu, dan kita adalah makhluk yang terus belajar, terus berjuang, dan terus memaafkan. Tidak ada kehidupan yang sempurna, tetapi yang ada ialah kehidupan yang penuh dengan upaya untuk menjadi lebih baik. Dan itulah yang sesungguhnya diminta dari kita.