Kita hidup di dunia di mana gelar akademik dipandang sebagai tanda kehebatan intelektual. Kita sering memandang gelar akademik sebagai sesuatu yang sakral, seperti sebuah mahkota yang melekat abadi di kepala sang pemiliknya. Tapi mari kita renungkan, apakah gelar itu seharusnya abadi? Apakah gelar akademik itu tidak sebaiknya memiliki “masa berlaku”?
Selembar ijazah hanyalah saksi bisu bahwa seseorang pernah kuliah. Tapi, apakah ia tetap berhak memakainya ketika karya-karyanya tidak lagi ada, ketika ia tak lagi berkarya? Rasulullah bersabda, “Barang siapa bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.” (HR. Ad-Darimi). Ilmu, seperti halnya gelar, tak boleh mati di lembaran kertas. Ilmu itu harus hidup, bergerak, dan memberi manfaat. Dalam filsafat ilmu, sebuah gelar harusnya mencerminkan kemampuan berkelanjutan untuk berpikir, menganalisis, dan menghasilkan karya. Tanpa pembuktian, gelar itu mati; ia kehilangan relevansinya. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Artinya, ilmu yang tidak dimanfaatkan, tidak diajarkan, tidak berkembang, akan kehilangan nilainya.
Bayangkan jika gelar itu bisa kadaluarsa, layaknya produk yang tidak lagi relevan setelah waktu tertentu. Gelar yang hanya dijadikan pajangan, tanpa bukti nyata kontribusi atau karya yang berkualitas, seharusnya digugurkan. Sebab, bukankah gelar yang abadi hanyalah sebuah ilusi? Ibnul Qayyim al-Jawziyyah pernah berkata, “Ilmu adalah sesuatu yang harus dipraktekkan, jika tidak, ilmu itu hanya akan menjadi hujjah/argumen yang memberatkan pemiliknya.” Jika gelar akademik tidak lagi didukung oleh keberlanjutan, maka gelar itu perlu dianggap kadaluarsa. Sebab yang seharusnya melekat adalah kemampuan dan manfaat, bukan sekadar embel-embel huruf di belakang nama. Dunia ini bergerak, dan kita dituntut untuk terus berkontribusi, tidak hanya puas dengan gelar yang didapat di masa lalu.
Gelar seharusnya dipertanyakan kembali, diuji, dan diperbarui oleh pemiliknya. Jika tidak, gelar itu hanya akan menjadi bagian dari masa lalu yang usang. Bagaimana mungkin kita menghormati gelar yang tidak pernah dipertahankan oleh karya dan usaha nyata? Sebagaimana ilmu itu hidup dengan amal, gelar akademik juga harus hidup dengan karya dan manfaatnya.
Jadi, apa gunanya gelar tanpa karya, tanpa manfaat? Gelar bukanlah identitas abadi. Ia harus terus diperbarui dengan amal dan karya, dengan manfaat yang dirasakan oleh banyak orang. Jika tidak, biarkan ia hilang ditelan waktu. Karena esensi dari ilmu bukanlah pada gelarnya, tapi pada kebermanfaatannya. Gelar akademik, seperti waktu, harus diuji dan dipertanggungjawabkan. Dan jika tak lagi relevan, ia seharusnya dilepaskan, dengan penuh kerendahan hati.