Ada kisah dalam hadis yang selalu menyelinap di kepala saya. Tentang seorang wanita penjaja kelamin. Seorang lonte, seorang pelacur. Hidupnya dianggap kotor oleh dunia, dijauhi oleh mulut-mulut yang berdoa, dihakimi oleh mata-mata yang tajam. Tapi pada suatu hari, di tengah panasnya kehidupan, dia melihat seekor anjing. Lidah anjing itu menjulur, nyaris putus napas, kehausan di tepi sumur. Wanita itu, yang hidupnya dianggap hina, berhenti. Dengan sepatu di tangannya, dia mengambil air dan memberi minum anjing itu. Dan begitulah, Nabi Muhammad berkata bahwa dosa-dosa wanita itu terampuni dan Allah menerima taubatnya. Surga terbuka untuknya.
Di sini saya mulai berpikir, logika macam apa ini? Jika pelacur yang hanya memberi minum seekor anjing, hewan yang air liurnya saja najis, bisa masuk surga, bagaimana dengan seorang ibu? Seorang ibu yang setiap hari, setiap jam, memberi minum dari tubuhnya sendiri kepada anak-anaknya. Bukankah mereka lebih pantas untuk surga?
Surga di Telapak Kaki atau di Pelukan Bayi?
Kita ini seringkali terjebak dalam cerita yang dilapisi moralitas. Surga itu katanya ada di bawah telapak kaki ibu. Tapi, bagaimana kalau ibu itu terpaksa bekerja? Bagaimana jika dia harus meninggalkan anak-anaknya untuk bertarung dengan dunia? Apakah telapak kakinya masih mengandung surga? Atau surga itu terselip dalam pelukan bayi yang ditinggalkannya setiap pagi?
Rasulullah bersabda, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad). Tapi jangan kita sempitkan sabda ini hanya pada ibu yang duduk di rumah. Seorang ibu yang bekerja juga membawa surga dalam tangannya, dalam setiap langkah yang dia ambil untuk anak-anaknya. Dan yang saya pelajari dari hadis itu, rahmat Allah bisa datang dari mana saja, dari siapa saja, bahkan dari tangan pelacur yang memberi minum seekor anjing.
Pengorbanan seorang ibu lebih besar dari sekadar tindakan heroik sesaat. Ibu memberikan hidupnya untuk anak-anaknya. Kita berbicara tentang ibu yang begadang setiap malam karena anaknya menangis, ibu yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan impian pribadi untuk memastikan anak-anaknya tumbuh dengan baik. Bagaimana mungkin surga tidak lebih dekat bagi mereka?
Jika pelacur dengan satu tindakan penuh belas kasih bisa meraih surga, seorang ibu yang setiap hari menumpahkan kasih sayang dalam bentuk susunya, perhatiannya, dan pelukannya, tentunya lebih layak mendapatkan rahmat yang lebih besar. Mereka layak mendapatkan surga di akhirat karena mereka telah memberikan surga kecil di dunia bagi anak-anak mereka.
Logika Cinta yang Tidak Berhitung
Ibu yang bekerja sering kali kita anggap terpisah dari anak-anaknya. Kita bilang, dia kurang perhatian. Tapi tunggu dulu, apakah kita pernah benar-benar melihat cinta seorang ibu? Cinta itu seperti air yang mengalir tanpa henti, dari dirinya untuk anak-anaknya. Dari air susunya hingga peluh di dahinya ketika mencari nafkah. Apakah kita, dengan semua logika rasional kita, bisa menakar cinta itu?
Ibu adalah manifestasi dari pengorbanan. Mereka yang terus memberi, tak pernah meminta kembali. Siang malam bekerja, mengurus anak, mengelap air mata mereka, dan menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu tidak hanya memberi air, tetapi memberi kehidupan. Tubuh mereka adalah sumber kehidupan, dari rahim hingga payudara, semua dirancang untuk memberi. Inilah pengorbanan yang tidak ada bandingnya.
Cinta, seperti yang Allah tunjukkan dalam kisah pelacur dan anjing, adalah tindakan kecil yang bisa menjadi gerbang rahmat. Dan rahmat Allah itu begitu luas. “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156). Jadi, jika seorang ibu setiap hari memberikan cinta dalam bentuk yang tak terlihat, siapa yang bisa meragukan bahwa surga menunggu di ujung perjalanannya?
Dunia yang Tak Pernah Ramah pada Ibu
Ada ironi di sini. Ibu-ibu yang seharusnya mendapatkan penghargaan tertinggi sering kali justru tersingkirkan oleh kehidupan. Mereka, yang seharusnya punya waktu lebih banyak untuk anak-anaknya, malah terjebak dalam roda ekonomi. Mereka harus pergi pagi-pagi, meninggalkan bayi yang masih menyusui, bekerja sepanjang hari. Pulang malam, lelah, tapi tetap memeluk anak-anak mereka dengan cinta yang sama. “Tiap-tiap dari kamu adalah pemimpin, dan tiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya…” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Kita seringkali gagal melihat bahwa perjuangan seorang ibu yang bekerja adalah bentuk lain dari kasih sayang. Bukankah Rasulullah pernah berkata, “Barang siapa yang tidak mengasihi, maka dia tidak akan dikasihi.” (HR. Al-Bukhari). Para ibu ini, meskipun sibuk bekerja, tidak pernah berhenti mengasihi. Setiap detik yang mereka habiskan di luar rumah, mereka jalani untuk masa depan anak-anak mereka.
Bekerja bukan dosa. Tapi dunia ini tidak adil bagi ibu yang terpaksa bekerja meninggalkan anak-anaknya. Mereka, yang sudah memberikan segalanya—darah, air mata, waktu—dalam merawat dan membesarkan anak, harus pula memikul beban dunia kerja. Seharusnya negara hadir dan membantu sehingga para ibu tidak harus memeras air susunya setiap pagi, sebelum pergi mencari rupiah.
Lonte yang Menyentuh Surga, Ibu yang Menyentuh Kehidupan
Kisah pelacur dan anjing itu bukan sekadar tentang pengampunan. Itu adalah kisah tentang bagaimana tindakan kecil, yang mungkin kita remehkan, bisa membuka pintu rahmat yang sangat besar. Dan seorang ibu? Dia setiap hari melakukan tindakan-tindakan kecil itu, memberi minum, menggendong, menyusui, memeluk, tanpa pamrih, tanpa meminta imbalan.
Rahmat Allah itu luas. Mungkin itu yang hendak disampaikan oleh cerita ini. Allah tidak bertindak dengan kalkulasi manusia yang selalu memandang dari hitam-putih. Seorang pelacur yang dalam hitungan manusia adalah sosok hina bisa saja mendapatkan pengampunan hanya karena sebuah tindakan kecil penuh kasih. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156).
Jika seorang pelacur yang hanya memberi minum seekor anjing bisa mendapatkan rahmat, maka seorang ibu yang sepanjang hidupnya memberi cinta dan kehidupan pastilah lebih dekat ke surga. Mereka menyentuh kehidupan dengan tangan mereka, dengan tubuh mereka, dengan hati mereka.
Surga Itu Ada, Tepat di Depan Mata
Dalam hidup ini, kita sering terlalu sibuk mencari surga di tempat yang jauh. Padahal, surga itu ada di depan mata kita. Ia hadir dalam pelukan seorang ibu kepada anaknya, dalam tetesan susu yang memberi kehidupan. Surga itu ada di langkah-langkah ibu yang meninggalkan rumah pagi-pagi buta untuk mencari nafkah, di tangan yang lelah tapi tetap membelai kepala anaknya saat malam tiba.
Jika lonte yang hanya memberi minum seekor anjing bisa masuk surga, maka seorang ibu yang setiap hari mencurahkan hidupnya untuk anak-anaknya tentu lebih layak lagi masuk surga. Surga tidak buta. Rahmat Allah tidak hitam-putih. Ia meliputi semua yang hidup dalam cinta. Dan cinta itu, setiap hari, mengalir dari seorang ibu.
Itulah surga.
Dan kita? Sudahkah kita mengingat cinta itu? Sudahkah kita menghargai surga yang ada di telapak kaki ibu kita?
Masya Allah ,,Jazakallahu khairan katsiran atas pencerahannya🙏
Terima kasih bunda, wa iyyaki 🙂
Nice.
Thanks!