by

Korupsi Triliunan Dimulai dari Korupsi Menitan

Setiap generasi menghadapi tantangan yang akan menentukan masa depan bangsanya. Generasi pendiri bangsa ini berjuang dengan darah dan air mata untuk meraih kemerdekaan. Generasi setelahnya bertanggung jawab untuk membangun pondasi bagi negeri yang baru saja bebas dari penjajahan. Kini, kita menghadapi tantangan yang berbeda, tetapi dampaknya tidak kalah besar: krisis moral dan hilangnya amanah.

Hari ini, kita dikejutkan oleh berita yang seolah tidak masuk akal. Korupsi 300 triliun rupiah di PT Timah. 968 triliun rupiah di PT Pertamina. Angka yang begitu besar, begitu luar biasa, hingga kita bertanya-tanya: bagaimana bisa sebuah bangsa yang memiliki begitu banyak orang cerdas, yang memiliki begitu banyak akademisi, ekonom, dan profesional, tetap terjebak dalam lingkaran korupsi yang seakan tak berujung?

Jawabannya sederhana tetapi sering kali kita abaikan: korupsi besar tidak lahir dalam sekejap. Ia adalah hasil dari pembiaran atas korupsi kecil yang terjadi terus-menerus, dari generasi ke generasi.

Ketika kita melihat fenomena ini, ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Kita bisa memilih untuk sekadar mengutuk dan menyalahkan, atau kita bisa mengambil langkah untuk memahami akar masalahnya, dan lebih penting lagi, mengambil tindakan nyata untuk mengatasinya.

Dan seperti banyak masalah besar lainnya, kita harus kembali kepada amanah.

Amanah: Pilar Peradaban yang Mulai Rapuh

Amanah adalah prinsip fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Ia adalah jantung dari setiap sistem yang sehat, dari rumah tangga, sekolah, pemerintahan, hingga bisnis dan ekonomi. Tanpa amanah, tidak ada institusi yang bisa berjalan dengan baik.

Islam mengajarkan bahwa amanah adalah bagian dari keimanan. Dalam QS. An-Nisa: 58, Allah ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”

Dan Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda dalam HR. Al-Bukhari:

“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya.”

Hari ini, kita melihat bagaimana amanah itu kian langka. Kita melihat bagaimana berbagai sektor dalam kehidupan kita dipenuhi dengan orang-orang yang memegang kekuasaan tanpa rasa tanggung jawab. Kita menyaksikan sendiri bagaimana jabatan lebih sering dipandang sebagai hak istimewa daripada sebagai tanggung jawab.

Tetapi pertanyaannya, apakah kita hanya akan menyalahkan para pejabat?

Kita sering kali lupa bahwa pengkhianatan terhadap amanah tidak hanya terjadi di gedung pemerintahan atau ruang-ruang bisnis. Ia terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam hal-hal yang kecil, dalam perbuatan-perbuatan yang sering kali kita anggap remeh.

Ketika Pendidikan Gagal Mengajarkan Amanah

Di setiap bangsa, pendidikan adalah kunci bagi masa depan. Sekolah adalah tempat di mana anak-anak diajarkan bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai kehidupan, termasuk kejujuran dan tanggung jawab.

Namun, jika kita melihat realitas dunia pendidikan kita hari ini, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: Apakah kita benar-benar sedang mendidik generasi yang amanah?

Mari kita lihat bagaimana dunia pendidikan kita berjalan:

  • Seorang guru mengajarkan disiplin kepada muridnya, tetapi dia sendiri datang terlambat ke kelas.
  • Seorang kepala sekolah mengajarkan integritas, tetapi masih saja ada laporan keuangan yang dimanipulasi.
  • Seorang murid diajarkan untuk menjadi pemimpin yang jujur, tetapi mencontek saat ujian dianggap sebagai hal biasa.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menulis:

“Jika seorang anak dibiasakan dengan kebaikan sejak kecil, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Namun jika dia dibiarkan dalam keburukan, maka keburukan itu akan menjadi kebiasaannya.”

Kita tidak bisa berharap ada pemimpin yang jujur di masa depan jika mereka tumbuh dalam sistem pendidikan yang permisif terhadap kebohongan. Kita tidak bisa berharap ada pejabat yang amanah jika sejak kecil mereka melihat bagaimana ketidakjujuran dibiarkan begitu saja.

Karena sebuah bangsa tidak dibangun dalam sehari, tetapi ia dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang tertanam sejak dini.

Dari Jam Karet ke Budaya Korupsi

Sering kali, kita mengasosiasikan korupsi dengan uang. Kita berpikir bahwa selama kita tidak mengambil uang negara, maka kita tidak korup.

Tetapi, korupsi bukan hanya tentang uang. Korupsi adalah ketika kita mengkhianati amanah dalam bentuk apa pun.

Dan salah satu bentuk korupsi yang paling sering terjadi, tetapi jarang kita sadari, adalah korupsi waktu.

Di negeri ini, keterlambatan sudah menjadi budaya. Janji pukul 8 pagi sering kali dimulai pukul 9. Rapat yang dijadwalkan pukul 2 siang baru benar-benar dimulai satu jam kemudian.

Rasulullah Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa waktu adalah bagian dari amanah. Dalam HR. Al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:

“Dua nikmat yang sering dilalaikan oleh manusia adalah kesehatan dan waktu luang.”

Tetapi kita hidup dalam masyarakat yang tidak menghargai waktu.

Dan jika seseorang terbiasa mencuri waktu, terbiasa mengabaikan janji, terbiasa menganggap keterlambatan sebagai hal biasa, bagaimana mungkin kita berharap mereka akan jujur dalam urusan yang lebih besar?

Karena korupsi dalam angka triliunan tidak lahir dalam semalam. Ia dimulai dari korupsi kecil yang dibiarkan.

Islam Sebagai Solusi: Membangun Budaya Amanah

Kita sering kali melihat korupsi sebagai masalah sistem, tetapi sesungguhnya, korupsi adalah masalah budaya.

Dan solusi dari masalah budaya bukan hanya regulasi atau pengawasan ketat, tetapi perubahan pola pikir.

1. Memulai dari Diri Sendiri

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang jika melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (kesungguhan dan ketelitian).” (HR. Thabrani)

Jika kita ingin mengubah bangsa ini, maka kita harus mulai dari diri kita sendiri.

  • Datang tepat waktu sebagai bentuk penghormatan terhadap amanah.
  • Bekerja dengan jujur, meskipun tidak diawasi.
  • Menghargai waktu dan tidak membiarkan keterlambatan menjadi kebiasaan.

2. Mendidik Generasi dengan Keteladanan

Seorang anak tidak belajar dari kata-kata, tetapi dari contoh nyata.

Dalam Kitab Adab al-Mufrad, Imam Al-Bukhari meriwayatkan:

“Sesungguhnya akhlak yang baik lebih berharga daripada emas dan perak.”

Jika kita ingin membangun generasi yang amanah, maka kita harus memberikan contoh dalam keseharian kita.

3. Menanamkan Rasa Malu

Salah satu alasan mengapa korupsi terus berkembang adalah karena kita tidak lagi memiliki rasa malu terhadap dosa. Kita takut ketahuan, tapi kita tidak malu kepada Allah.

“Jika engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari)

Jika seorang Muslim memiliki rasa malu yang kuat terhadap dosa, dia tidak akan tergoda untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Kesimpulan: Perubahan Dimulai dari Langkah Kecil

Korupsi dalam skala triliunan bukanlah misteri. Ia adalah konsekuensi logis dari budaya permisif terhadap penyimpangan kecil. Jika kita ingin negara ini bersih dari korupsi besar, maka kita harus mulai dengan memberantas korupsi kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Jangan bicara tentang perubahan jika kita masih memaklumi keterlambatan. Jangan bicara tentang antikorupsi jika kita masih berbohong dalam hal-hal kecil. Jangan bicara tentang integritas jika kita masih santai melihat kebiasaan manipulasi di sekitar kita.

Negara ini bisa berubah. Tapi perubahan itu tidak akan datang dari pejabat. Ia akan datang dari kesadaran individu bahwa amanah bukan pilihan, tapi kewajiban.

Karena membersihkan korupsi triliunan, dimulai dari menghentikan korupsi menitan.

Write a Comment

Comment