by

Keperawanan Anak SD

Mari kita bicara soal keperawanan anak SD, dan ini memang tema yang tabu. Ini tentang jerit hati seorang ayah sekaligus guru yang melihat fenomena miris di depan mata: anak-anak yang mestinya polos, kini sudah kenal pacaran, joget di media sosial mengumbar aurat, bahkan terlibat dalam adegan (zina) yang seharusnya jauh dari usia mereka. Anak-anak kecil yang seharusnya menghafal ayat suci, malah sibuk dengan dunia yang penuh ilusi.

Lihatlah, bagaimana mereka bisa pacaran sedari SD, seolah dunia ini menawarkan segala kebebasan tanpa batas. Seolah-olah setiap gadget adalah pintu gerbang menuju dunia yang penuh godaan, yang menggerogoti moral mereka. Apa yang sebenarnya kita ajarkan pada anak-anak kita? Apa yang kita biarkan terjadi di lingkungan kita?

Bibir yang masih belajar membaca, mata yang masih belajar melihat dunia dengan polos, kini seakan dipaksa matang sebelum waktunya. Dulu kita percaya, anak-anak adalah kain putih, seperti yang disebutkan dalam hadis, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Namun, kini kain putih itu tampak penuh coretan yang tak kita pahami. Coretan yang berawal dari ketidaktahuan, dari kurangnya pengawasan, dari kelalaian kita.

Rasulullah pernah bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka kita sebagai orang tua, sebagai guru, sebagai masyarakat, harus bertanya: Apa yang kita lakukan saat anak-anak kita terseret arus kebebasan yang menghancurkan ini?

“Anak-anak kecil yang sudah bisa bikin anak.” Ungkapan ini terdengar kasar, tapi begitulah kenyataannya. Mereka menjadi dewasa sebelum waktunya, dipaksa memahami sesuatu yang tidak seharusnya. Ini bukan salah mereka semata; ini salah kita yang terlalu sibuk, terlalu diam, terlalu lupa akan pentingnya menjaga adab dan akhlak dalam setiap langkah mereka. Ibarat biduk di lautan tanpa nakhoda, mereka terombang-ambing dalam ombak zaman yang semakin ganas.

Mari kita renungkan lagi, seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Hiburlah hatimu dengan sedikit menahan, sebab dunia ini tidak layak menjadi impian.” Kita perlu mengajarkan anak-anak kita bahwa ada yang lebih penting dari sekadar mengejar kesenangan sesaat, bahwa ada nilai-nilai yang lebih luhur daripada sekadar kebebasan tanpa batas. Beliau juga pernah berkata, “Hati itu seperti tanah, apa yang kau tanam di dalamnya, akan tumbuh dan berbuah.” Tanah ini, hati anak-anak kita, tampaknya sedang ditanami benih-benih yang salah. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita bisa memperbaiki ladang ini, sebelum semuanya terlambat?

Ada urgensi di sini. Urgensi untuk kembali memikirkan cara kita mendidik, cara kita menjaga mereka, dan lebih dari itu, cara kita membimbing mereka untuk kembali kepada fitrah, agar kain putih itu tetap suci, tetap indah, tetap bersih. Kita perlu kembali menanamkan nilai adab, akhlak, dan iman yang kuat, sebelum anak-anak kita benar-benar hilang dalam dunia yang tidak mengenal batasan. Sebab jika tidak, mungkin kita akan menyaksikan generasi yang hilang, generasi yang tersesat di jalan yang tak pernah kita bayangkan. Dan saat itu, penyesalan sudah terlambat.

Write a Comment

Comment