by

Jadilah Pelaku, Bukan Pemikir

Unik Tapi Aneh

Manusia itu makhluk aneh. Unik. Diberi anugerah paling mewah bernama akal, tapi sering kali malah menggunakannya untuk menyiksa diri sendiri. Semakin pintar otaknya, semakin canggih pula dia merakit alasan. Alasan untuk tidak memulai. Alasan untuk menunda. Alasan untuk tetap meringkuk di tempat yang disebut ‘zona nyaman’, padahal itu tidak lebih dari sebuah sangkar emas yang indah.

Kita memikirkan seribu satu kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kita melangkah keluar. Tapi kita lupa memikirkan satu kepastian buruk yang akan terjadi jika kita diam: penyesalan. Esai ini bukan ajakan untuk jadi orang nekat tanpa perhitungan. Ini adalah bisikan untuk mereka yang terlalu banyak berpikir hingga lumpuh. Ini adalah pengingat bahwa Islam menuntut kita menjadi pelaku, seorang khalifah yang meninggalkan jejak di bumi, bukan sekadar pemikir yang terpenjara dalam labirin kepalanya sendiri.

Akal, Ikhtiar, dan Jebakan Bernama ‘Nanti Dulu’

Pertimbangan itu penting. Tentu saja. Islam adalah agama yang memuliakan akal dan perencanaan. Lihatlah bagaimana Rasulullah Muhammad mengatur strategi Perang Badar dengan presisi. Atau bagaimana rencana hijrahnya ke Madinah begitu detail dan berlapis, sampai ke urusan siapa yang menggembala kambing untuk menghapus jejak kaki. Itu adalah ikhtiar. Mengambil sebab. Melakukan semua yang manusiawi bisa dilakukan.

Tapi ada garis tipis antara pertimbangan matang dan keraguan yang melumpuhkan. Di satu sisi ada ikhtiar, di sisi lain ada analysis paralysis. Jebakan maut bagi para pemimpi.

Anda punya ide bisnis. Anda riset pasar. Riset kompetitor. Membuat proyeksi keuangan. Lalu Anda riset lagi. Dan lagi. Anda membuat skenario A, B, C, sampai Z. Setiap malam, Anda rapat dengan diri sendiri, membahas kemungkinan gagal yang persentasenya mungkin hanya 0,1%. Otak Anda, yang seharusnya menjadi alat, kini menjelma menjadi majikan yang kejam. Ia terus berteriak, “Bagaimana jika…?” dan “Nanti dulu, belum sempurna.”

Kesempurnaan itu ilusi. Merupakan fatamorgana di padang pasir penundaan.

Allah memberikan resep yang jelas dalam Al-Qur’an. Resep ini bukan untuk orang bodoh, tapi untuk orang pintar yang tahu kapan harus berhenti berpikir dan mulai bertindak.

“…Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159).

Perhatikan urutannya. Pikirkan, diskusikan, rencanakan (syawara). Lalu, bulatkan tekad (‘azamta). Setelah tekad itu bulat seperti bulan purnama, apa langkah selanjutnya? Bukan berpikir ulang. Bukan mencari validasi lagi. Tapi fatawakkal ‘alallah. Bertawakallah. Serahkan sisanya pada Dia yang memegang kendali atas segala sesuatu, sambil kakimu terus melangkah.

Setan, Ketakutan, dan Nekat yang Terpuji

Jika bukan pertimbangan, lalu apa yang sebenarnya menahan kita? Jawabannya sederhana. Ketakutan.

Kita takut gagal. Takut dicemooh. Takut miskin. Takut tidak sekeren yang kita bayangkan. Ketakutan-ketakutan ini seperti hantu di siang bolong. Tampak nyata, padahal hanya permainan bayangan. Dan ada yang meniup-niupkan bayangan itu agar tampak lebih besar dari aslinya. Siapa lagi kalau bukan setan.

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir)…” (QS. Al-Baqarah: 268).

Lihat? Pekerjaan utamanya adalah menakut-nakuti kita dengan prospek kekurangan. Dia berbisik, “Kalau usahamu gagal, kamu mau makan apa?” atau “Kalau kamu keluar dari pekerjaanmu sekarang, siapa yang mau bayar cicilan?” Bisikan itu logis, masuk akal. Karena itulah dia berbahaya.

Maka, kadang kita memang harus sedikit ‘nekat’.

Nekat dalam konteks ini bukanlah tindakan bodoh. Itu adalah keberanian yang lahir dari rahim keimanan. Ia adalah lompatan keyakinan setelah ikhtiar sudah sampai di ujungnya.

Bayangkan posisi Nabi Musa. Di depannya terbentang Laut Merah yang ganas. Di belakangnya, Firaun dan bala tentaranya yang paling bengis di muka bumi siap menyembelih. Logika manusia mengatakan: tamat. Ini jalan buntu. Pengikutnya mulai panik. Tapi apa yang Nabi Musa lakukan? Beliau tidak menggelar rapat analisis SWOT di tepi laut. Beliau melakukan satu hal: menaati perintah Allah yang terdengar paling tidak masuk akal.

“Pukullah laut itu dengan tongkatmu.”

Dan beliau pun memukulnya. Sebuah aksi tunggal yang didasari keyakinan kuat pada Tuhannya. Laut terbelah. Ketakutan terbesar mereka, ditangkap Firaun, tidak terjadi. Ketakutan terbesar kita pun seringkali begitu. 99% dari apa yang kita khawatirkan tidak pernah menjadi kenyataan. Ia hanya monster yang hidup dari makanan bernama overthinking.

Impian di Kepala vs. Jejak di Bumi

Setiap dari kita punya impian. Itu fitrah. Ada yang ingin membangun sekolah gratis. Ada yang ingin punya bisnis yang memberdayakan banyak orang. Ada yang ingin menjadi penghafal Al-Qur’an. Impian-impian itu indah. Tapi impian yang hanya mengendap di kepala tidak lebih dari angan-angan kosong. Bunga tidur yang tidak akan pernah mekar di dunia nyata.

Aksi adalah pembeda.

Ia adalah garis demarkasi yang memisahkan antara orang yang sedang menjalani kehidupan impiannya dan orang yang hanya bisa menatap dari kejauhan dengan tatapan iri. Orang pertama adalah pelaku. Orang kedua adalah penonton.

Mengapa begitu banyak yang memilih menjadi penonton? Ada dua penjara utama: zona nyaman dan takut gagal. Zona nyaman adalah narkotika paling legal di dunia. Gajinya cukup. Posisinya aman. Hidupnya datar. Tidak ada gejolak. Terlena. Padahal seorang muslim tahu bahwa dunia ini adalah mazra’atul akhirah, ladang untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dipanen di akhirat. Mana bisa bercocok tanam sambil tiduran di sofa yang empuk?

Lalu penjara kedua: takut gagal. Kita melihat kegagalan sebagai kiamat kecil. Padahal dalam kamus seorang mukmin, tidak ada yang namanya kegagalan murni. Yang ada hanyalah proses belajar dan pelebur dosa. Selama niat kita lurus karena Allah, setiap tetes keringat, setiap detik usaha, sudah dicatat sebagai pahala. Bahkan jika hasilnya nol besar.

Al-Hasan al-Basri, seorang ulama tabi’in, pernah berkata, “Iman itu bukanlah angan-angan, tetapi apa yang terpatri kokoh di dalam hati dan dibuktikan oleh amalan.”

Iman tanpa amal itu omong kosong. Impian tanpa aksi itu halusinasi. Aksi adalah cara kita membuktikan iman kita. Aksi adalah cara kita berkata pada Allah, “Ya Allah, ini ikhtiarku sebagai hamba-Mu yang lemah. Aku gunakan tangan, kaki, dan otak yang Engkau berikan untuk meninggalkan jejak kebaikan di bumi-Mu.”

Orang yang iri pada kesuksesan orang lain sebenarnya tidak iri pada hasilnya. Dia iri pada keberanian orang itu untuk memulai.

Di Ujung Jalan Bernama Penyesalan

Hidup ini singkat. Lebih singkat dari yang kita kira. Hari ini Sabtu 9 Muharrom 1447 Hijriyah, rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru Islam. Waktu berlari seperti kuda pacu, dan kita seringkali hanya termangu di garis start.

Penyesalan selalu datang di akhir. Tidak ada penyesalan yang datang di awal. Jika ada, namanya pendaftaran.

Kita mungkin akan menyesali banyak hal di usia senja. Menyesal karena kurang berbakti pada orang tua. Menyesal karena kurang bersedekah. Tapi ada satu penyesalan yang rasanya paling getir: penyesalan karena tidak pernah mencoba. Menyesal karena membiarkan impian-impian kita mati perlahan di dalam kepala, dibunuh oleh keraguan kita sendiri.

Penyesalan di dunia ini belum ada apa-apanya. Ada penyesalan yang jauh lebih abadi dan menyakitkan, yaitu penyesalan di Hari Kiamat. Hari yang salah satu namanya adalah Yaumul Hasrah, Hari Penyesalan. Hari di mana manusia akan menggigit jarinya sendiri hingga putus saking besarnya sesal. Menyesali setiap detik yang dihabiskan untuk menunda kebaikan. Menyesali setiap potensi yang dikubur hidup-hidup karena takut.

Maka, pilihlah! Apakah kita mau menjadi pelaku yang mungkin sesekali jatuh dan terluka, tapi terus bangkit dan berjalan? Atau menjadi pemikir sempurna yang rekornya bersih karena tidak pernah ikut bertanding?

Mulai saja.
Langkah pertama tidak harus sempurna.

Bisnis pertama mungkin akan bangkrut. Tulisan pertama mungkin akan jelek. Dakwah pertama mungkin akan gagap. Tidak apa-apa. Allah tidak menilai hasil akhirmu, Dia menilai kesungguhan prosesmu.

Luruskan niat. Jadikan setiap langkah untuk mengejar impianmu sebagai ibadah. Maka, lelahmu akan menjadi lillah.

Jadilah pelaku. Bukan sekadar pemikir. Jadilah hamba yang meninggalkan jejak amal, bukan hanya tumpukan angan. Sebab waktu tidak akan pernah menunggu, dan penyesalan terberat bukanlah karena gagal setelah mencoba, melainkan karena tidak pernah berani memulai sama sekali.

Write a Comment

Comment