by

Indonesia Darurat Membaca

Ada sebuah kerisauan yang menghantui, sebuah keresahan yang pelan-pelan menyelinap ke dalam hati ketika melihat data dari UNESCO yang menyatakan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Ini bukan sekadar angka, tapi seperti tanda tanya besar yang menggantung di langit nusantara. Sebagai seorang ayah sekaligus guru, saya bertanya-tanya, apakah literasi sudah benar-benar mati di negeri ini?

Di Amerika Serikat, rakyatnya membaca 17 buku setahun. Sedangkan di India, 16 buku setahun. Sementara kita, yang katanya kaya akan budaya, kearifan lokal, dan beragam tradisi lisan, hanya menjadi penonton yang pasif dalam perlombaan literasi dunia. Teringat pada ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , “Iqra'” — “Bacalah!” (QS. Al-Alaq: 1). Sebuah perintah yang sederhana namun bermakna dalam. Membaca adalah gerbang menuju ilmu, adalah cara untuk memaknai dunia.

Membaca adalah perjalanan dalam diam. Sebuah dialog sunyi antara diri dan kata-kata yang tak terucapkan. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, “Ilmu itu bukan apa yang dihafal dalam otak, tapi apa yang bermanfaat bagi hidup.” Dan, betapa ironisnya jika kita hidup di tengah lautan informasi namun memilih untuk tidak menyelam, memilih untuk tidak membuka buku. Ibnul Qayyim al-Jawziyyah mengatakan, “Ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kegelapan, dan kekuatan tubuh dari kelemahan.” Membaca adalah jembatan menuju ilmu, dan ilmu adalah jendela untuk memahami dunia. Jika kita abai terhadap ini, maka jangan heran jika negeri ini kehilangan arah.

Literasi bukan sekadar statistik atau angka. Ini adalah tentang bagaimana kita menempatkan diri kita sebagai umat yang dihormati karena ilmu, seperti yang disabdakan Rasulullah, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Kita perlu menghidupkan semangat ini, agar tak sekadar jadi negeri yang kaya budaya, tapi juga negeri yang cerdas dan bijaksana.

Mungkin, kita perlu menyadari bahwa membaca bukan sekadar kegiatan, tetapi kebutuhan. Ini adalah langkah kecil yang bisa mengubah cara kita melihat dunia, mengubah cara kita berinteraksi dengan sesama, dan mengubah cara kita memandang diri kita sendiri. Mari bangkit, membuka kembali lembaran yang tertutup, menghidupkan kembali semangat membaca yang barangkali telah lama terbenam di negeri ini. Sebab, dalam setiap kata yang kita baca, ada makna yang menunggu untuk ditemukan, ada kehidupan yang menanti untuk dihidupkan kembali.

Write a Comment

Comment