by

Impotensi Abad 21

Mengotopsi Dunia

Jadi, Anda merekam sebuah pembantaian. Anda menekan tombol upload. Lalu apa? Anda pikir denyut jantung Anda yang berdebar saat merekam itu akan memicu denyut jantung dunia? Pikiran yang naif. Itulah problem mendasar abad ke-21: kita punya teknologi untuk menyiarkan kebenaran secara real-time, tapi kita kehilangan kapasitas untuk mencerna kebenaran itu.

Kita hidup dalam era impotensi. Impotensi intelektual, impotensi moral, dan yang paling parah, impotensi spiritual. Gaza bukan lagi sekadar nama tempat di peta. Dia adalah panggung di mana impotensi global itu dipertontonkan setiap hari, dengan sponsor dari para penjaga moral dunia.

Esai ini adalah otopsi. Otopsi atas nalar yang sekarat dan iman yang dikomodifikasi. Pertanyaannya bukan lagi “mengapa ini terjadi?”, tapi “apa gunanya akal sehat jika kita hanya jadi penonton?”.

Delusi Mengetuk Pintu Barat

Apa gunanya melaporkan kejahatan ini? Agar dunia Barat melihat kebrutalan para proksinya? Serius?! Anda sedang mencoba menjelaskan air kepada ikan. Mereka tidak perlu laporan dari Anda; mereka yang menulis skenarionya, membiayai produksinya, dan mengirimkan senjatanya.

Lalu Anda lari ke hukum internasional? Absurditas macam apa ini? Hukum internasional adalah fiksi yang ditulis oleh para perompak untuk melegitimasi rampasan mereka. Dia adalah instrumen kolonial yang didesain untuk memastikan bahwa keadilan hanya berlaku bagi mereka yang punya privilege. Dia adalah produk akal yang cacat karena fondasinya adalah kuasa, bukan etika.

Padahal, 14 abad yang lalu, sebuah postulat sederhana sudah diberikan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56). Logika yang begitu elementer, tapi gagal dipahami oleh peradaban yang membanggakan modernitasnya.

Paradoks Umat yang Membisu

Baik, lupakan Barat. Mungkin laporan itu untuk umat Islam. Agar mereka melihat masjid rata dengan tanah dan saudara seiman mereka diburu seperti binatang.

Mereka sudah melihat. Piksel demi piksel, video demi video. Mereka melihat, lalu mereka mengetik komentar penuh emosi, mungkin ditambah emoji menangis. Setelah itu? Mereka kembali ke rutinitas. Aktivisme jempol tidak mengubah realitas geopolitik.

Ada sebuah hadis yang sering dikutip, bunyinya indah sekali: “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai… laksana satu tubuh.” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Hari ini, tubuh itu ada secara demografis, tapi dia tidak punya sistem saraf pusat. Satu organnya diamputasi tanpa anestesi, tapi sisa tubuhnya tidak merasakan apa-apa. Ini bukan lagi soal selemah-lemahnya iman dengan mengingkari di dalam hati. Ini soal apakah hati itu masih berfungsi atau tidak.

Lalu kita persempit lagi. Untuk orang Arab. Agar mereka melihat darah Arab tumpah di tanah Arab. Mereka melihatnya dengan sangat jelas dari balkon-balkon mewah mereka. Mereka melihat, lalu mereka sibuk meneken perjanjian dagang dengan si penjagal. Di mana logika kaum Anshar yang lebih mementingkan saudaranya daripada dirinya sendiri? Logika itu sudah digantikan oleh kalkulus untung-rugi. Firman Allah “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al-Hujurat: 10) telah menjadi artefak sejarah, bukan panduan moral yang aktif.

Ironi Sang Pemberani dan Hipokrisi Sang Pengecut

Lalu apa lagi? Agar kita semua terpukau oleh heroisme perlawanan di Gaza? Kita melihatnya. Para pejuang yang dikepung, dengan logistik seadanya, menunjukkan kecerdasan tempur yang seharusnya dipelajari di West Point. Mereka mengubah medan yang mustahil menjadi teater keunggulan taktis.

Kita kagum. Lalu apa? Kekaguman kita tidak menghentikan satu peluru pun. Ini adalah demonstrasi janji ilahi yang paling gamblang: “…Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40). Ini adalah pengulangan logika Perang Badar. Tapi para pahlawan itu kini bertempur dalam kesunyian, dikelilingi oleh kekaguman yang impoten.

Di sisi lain, orang-orang Barat dipaksa melihat wajah asli “nilai-nilai” mereka. Kebebasan, demokrasi, HAM. Semua slogan itu menjadi sampah di bawah puing-puing Gaza. Mereka tahu persis bagaimana negara mereka dibangun di atas genosida dan bagaimana militer mereka beroperasi. Mereka tidak terkejut. Mereka hanya tidak suka kemunafikan mereka dipertontonkan secara vulgar. Tapi kebenaran punya wataknya sendiri. “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’: 81). Kebatilan itu akan lenyap, tapi dia tidak akan menyerah tanpa pertarungan.

Media: Aparatus Kebohongan

Mengharapkan objektivitas dari media Barat? Itu sama dengan mengharapkan serigala menjadi vegetarian. Media bukan entitas independen. Dia adalah aparatus ideologis. Corong negara. Tugasnya bukan menyampaikan fakta, tapi mengonstruksi realitas yang sejalan dengan kepentingan tuannya.

Perang ini, di atas segalanya, adalah perang narasi. Dan mereka memonopoli persenjataannya. Itu sebabnya mereka begitu histeris dengan platform seperti TikTok. Karena di sana, narasi bisa lepas dari kontrol. Di sana, seorang anak di Khan Younis punya daya ledak informasi yang sama besarnya dengan seorang pembawa berita di New York.

Akal sehat menuntut kita untuk skeptis. Sebuah prinsip intelektual yang sudah diajarkan ribuan tahun lalu: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6). Hari ini, tabayyun atau verifikasi bukan lagi sekadar anjuran moral, dia adalah syarat untuk menjaga kewarasan.

Gaza sebagai Anomali Terakhir

Pahamilah ini: Gaza bukan soal geografi. Ini soal ontologi. Dia adalah anomali. Dia adalah sebidang tanah terakhir yang menolak tunduk pada tatanan dunia yang dirancang oleh para pemenang Perang Dunia II. Semua rezim di sekitarnya sudah menjadi klien, menjadi satelit. Tapi sepetak tanah miskin yang terkepung itu menolak untuk patuh.

Inilah dosanya yang tidak terampuni. Keberadaannya adalah cacat dalam sistem. Perlawanannya adalah virus yang bisa menular. Karena itu dia harus dilenyapkan, eksistensinya harus dihapus dari sejarah. Jika Gaza jatuh, maka eksperimen penundukan total telah berhasil.

Jadi, Apa Gunanya?

Kita kembali ke premis awal. Serius, apa gunanya melaporkan sebuah holocaust?

Jawabannya bukan untuk mengubah kebijakan luar negeri AS atau membangkitkan nurani PBB. Itu delusi. Gunanya adalah untuk menolak berpartisipasi dalam kebohongan. Untuk menjaga agar akal sehat tidak ikut mati terkubur di bawah reruntuhan.

Melaporkan, berbicara, dan menulis adalah jihad intelektual paling minimal. Itu adalah cara kita berkata di hadapan Allah, “Ya Rabb, kami tidak diam. Inilah kesaksian kami.” Tugas kita bukan memenangkan pertempuran; itu prerogatif Ilahi. Tugas kita adalah memastikan kita tidak berdiri di pihak yang salah.

Impotensi ini bisa diobati. Tapi obatnya bukan sentimentalitas atau donasi online. Obatnya adalah dengan mengaktifkan kembali akal dan iman kita. Allah telah menjanjikan kekuasaan bagi mereka yang beriman dan beramal saleh (QS. An-Nur: 55). Tapi janji itu bersyarat. Dia menuntut kita berhenti menjadi buih di lautan. Dia menuntut kita berhenti menjadi penonton yang dungu.

Leave a Reply for Abdul Hakim S.Ag. M.Pd Cancel Reply

Write a Comment

Comment