by

Hikayat Sang Pemberontak

Mengenali Diri

Ada bagian dalam diri yang terpecah-pecah, seperti potongan cermin yang memantulkan berbagai wajah. Sebagai seorang anak, suami, ayah, dan muslim, aku menjalani setiap peran, berusaha sebaik mungkin meski sering goyah. Di dalam hatiku, selalu ada tanya yang berbisik: siapa aku sebenarnya?

Dalam Al-Quran, Allah berkata, “Dan janganlah kamu merasa hina dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman.” (QS Ali Imran: 139). Mungkin saatnya mengangkat kepala, melihat diri di cermin dengan pandangan baru.

Tentang Air Mata yang Pernah Jatuh

Banyak air mata yang tumpah, tak terhitung. Setiap tetesnya adalah cerita, setiap luka adalah jalan yang ditempuh. Dulu, aku adalah pemberontak, pemuda dengan amarah yang membara. Tapi dalam setiap pemberontakan, aku tak pernah mendapati apa pun selain kehampaan. Seperti yang pernah dikatakan orang bijak, “Jika engkau mengenal dirimu, engkau akan mengenal Tuhanmu.” Dalam setiap tetes air mata, kutemukan percikan diri, bukan untuk tenggelam dalam sesal, tapi untuk bangkit kembali.

Menjadi Lebih Baik, Perlahan

Mengubah diri bukan perkara cepat atau mudah. Perjalanan ini seperti mendaki bukit yang tinggi. Setiap langkah terasa berat, namun perlahan, puncak mulai terlihat. Seperti kata Nabi, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” Niatku sederhana: menjadi lebih baik dari kemarin. Tidak perlu sempurna, hanya langkah kecil menuju kebaikan yang terus berlanjut.

Menghadapi Godaan di Setiap Langkah

Ada bisikan setan yang datang, menawarkan jalan pintas, kadang bahkan memintaku menyerah. Tapi aku percaya, bahwa Allah menginginkan aku tetap berdiri, meski sering terjatuh. Allah berkata dalam Al-Quran, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS Al-Baqarah: 45). Jika harus jatuh, aku jatuh di jalan ini, dengan keyakinan akan bangkit lagi.

Dunia Tak Butuh yang Sempurna

Dunia ini, pada akhirnya, tidak butuh aku yang sempurna. Cukup aku yang mau berproses, yang bersedia mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Mungkin itulah yang bisa kuberikan, sepotong hati yang telah retak, namun masih tetap berdetak. Hadits Nabi mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” Tidak perlu sempurna, cukup sedikit berguna. Maka, inilah aku, sang pemberontak yang kini belajar berdamai dengan hidup.

Sebuah Akhir yang Sederhana

Aku menutup cerita ini tanpa kesimpulan yang besar. Hanya secuil harapan untuk diri sendiri, bahwa esok aku bangun dengan hati yang lebih baik. Mungkin aku tidak akan pernah benar-benar sempurna, tapi dalam langkah-langkah kecil ini, ada keinginan untuk berbuat lebih baik. Sebuah perjalanan panjang, dalam diam dan riuhnya dunia.

Write a Comment

Comment