3,4 Juta Guru yang Lupa Membaca
Ada yang bergetar di dada saat kita bicara tentang guru. Gelar yang dibanggakan, disematkan di nama, berkilau dalam lencana. Tapi, apakah ada yang lebih penting dari itu? Guru bukan sekadar gelar, bukan sebatas titel yang menggema di ruang kelas. Guru adalah ruang bagi pengetahuan itu sendiri, jembatan antara ketidaktahuan dan makna. Namun, ada yang tergores dalam catatan perjalanan pendidikan ini. Banyak guru, yang seharusnya menjadi penimba ilmu, justru menjauh dari buku, alergi terhadap halaman-halaman pengetahuan.
Di negeri yang mengalir sungai sejarah dan adat ini, ada 3,4 juta guru. Bayangkan, satu guru untuk setiap lekuk bukit, untuk setiap titik di peta Nusantara. Tapi dari jutaan itu, coba tanyakan, “Kapan terakhir kali mereka membaca buku?” Jawabannya sering menyakitkan, berbisik seolah tertahan. Mungkin terakhir kali mereka membaca, saat menyusun skripsi. Ya, dulu sekali. Kini, halaman-halaman buku hanya tinggal bayang-bayang.
Pulsa Lebih Berharga daripada Buku?
Kita hidup dalam zaman di mana pulsa mungkin lebih berharga dari pengetahuan. Buku menjadi sesuatu yang aneh, menjadi objek yang tidak tersentuh. Guru kita, dengan segala hormat, terkadang menukar halaman buku dengan layar ponsel, menukar lembaran kata-kata dengan hiburan tanpa makna. Coba tanyakan, “Kapan terakhir kali membeli buku?” Dan jawaban yang terucap kadang membuat kita terdiam. “Entah kapan, entah di mana.”
Seolah-olah kita lupa, bahwa ilmu itu tidak berhenti saat titel didapat. Ilmu itu ibarat air yang mengalir, meneteskan kebijaksanaan bagi yang haus. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat,” (QS. Al-Mujadilah: 11). Lantas, mengapa mereka yang seharusnya menjadi teladan malah tenggelam dalam kemalasan?
Ketika Guru Tak Lagi Mencintai Buku, Apa yang Tersisa untuk Muridnya?
Jika guru, yang seharusnya menjadi sumber inspirasi, justru kehilangan sentuhan terhadap buku, bagaimana dengan para muridnya? Bukankah guru adalah cerminan pertama dari pendidikan itu sendiri? Saat seorang guru berdiri di hadapan murid-muridnya tanpa bekal pengetahuan baru, dia membawa keheningan ke dalam kelas, bukan kebijaksanaan. Seperti padang kering tanpa air, seperti malam tanpa rembulan.
Maka, pendidikan kehilangan ruhnya. Murid-murid menjadi sosok yang gamang, melihat sosok yang seharusnya membimbing justru tersesat di lorong-lorong ketidaktahuan. Seorang guru yang berhenti membaca adalah tanda kesedihan pendidikan itu sendiri.
Di Tengah Kegelapan, Ada Cahaya: Indonesia Masih Produktif Menerbitkan Buku
Namun, di tengah gelapnya kisah ini, ada titik cahaya yang berkilauan. Indonesia adalah negara yang produktif dalam penerbitan buku di ASEAN. Hampir 30.000 judul baru dilahirkan setiap tahunnya. Di Singapura, jumlah itu hanya sepertiganya, 10.000 judul. Lantas, mengapa buku-buku ini tidak sampai di tangan para guru? Mengapa lembaran-lembaran baru ini seperti tersesat di tengah belantara data dan gawai?
170 Ribu Perpustakaan yang Berbisik Kesunyian
Lebih dari itu, Indonesia punya lebih dari 170 ribu perpustakaan, dengan 42 ribu di antaranya perpustakaan umum. Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi guru-guru, tempat mereka mencari inspirasi, mengurai pengetahuan yang tidak berujung. Tapi perpustakaan-perpustakaan ini sunyi, seperti berbisik dalam kesendirian. Padahal, di dalamnya tersimpan serpihan keajaiban dunia, menunggu untuk disentuh, untuk diselami.
Seorang ahli ilmu pernah berujar, “Aku lebih suka membaca daripada mengerjakan sesuatu yang lain.” Lantas, mengapa pesan ini tidak sampai pada hati para pendidik kita? Mereka yang seharusnya menjadi penjaga ilmu, pembawa cahaya bagi generasi berikutnya.
Solusi: Merajut Kembali Cinta Pada Buku
Tidak ada yang lebih manis daripada melihat guru kembali jatuh cinta pada buku. Memasuki perpustakaan bukan sekadar ritual, tetapi perjalanan batin menuju wawasan yang luas. Mulailah dengan satu buku, satu halaman, satu cerita. Dan biarkan itu berkembang, seperti bunga yang tumbuh di musim semi, mekar dalam ruang hati.
Pendidikan adalah amanah, bukan pekerjaan yang dimulai dan diakhiri setiap hari. Ia adalah tugas mulia yang bertahan seumur hidup. Rasulullah ﷺ berkata, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Maka membaca bukan sekadar tugas, tetapi ibadah, bentuk syukur terhadap akal yang diberikan Allah, Sang Pemilik Ilmu.
Mimpi tentang Guru yang Menginspirasi
Bayangkan seorang guru yang membawa cerita dari buku-buku yang dia baca, yang dengan semangat membagikan keajaiban halaman-halaman itu pada murid-muridnya. Inilah wajah pendidikan yang hidup, yang memancarkan harapan, bukan sekadar rutinitas tanpa makna. Pendidikan adalah nyawa bangsa, dan guru adalah detak jantungnya.
Jika guru mencintai buku, murid akan mencintai ilmu. Dan ketika itu terjadi, Indonesia tidak lagi berjalan dalam bayang-bayang ketidaktahuan, tetapi melangkah maju, penuh keyakinan, menuju masa depan yang cerah.