Titik Tengah di Antara Dua Dunia
Masa depan adalah teka-teki. Orang-orang menebaknya, berdebat tentang bentuknya, merencanakannya seperti itu milik mereka. Tapi masa depan tidak datang dari kekosongan.
Generasi muda sering disebut sebagai jawaban. Mereka digadang-gadang membawa cahaya, padahal mereka hanya melihat. Melihat siapa?
Mereka melihat generasi tua. Yang bukan kakek-nenek dengan rambut perak, tapi mereka yang berdiri di puncak usia. Usia maksimal 40 tahun, usia di mana kekuatan dan kebijaksanaan seharusnya bertemu.
Angka itu tidak acak. Usia ini adalah kematangan yang disinggung dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15, saat manusia diminta bersyukur dan berbuat baik. Ini adalah panggilan untuk dewasa, untuk jadi teladan.
Dan di situlah persoalan bermula. Jika generasi tua gagal menjadi teladan, apa yang tersisa bagi generasi muda? Kegelapan di ujung lorong.
Generasi Tua: Kisah Sebuah Pondasi
Generasi muda tidak pernah lahir sendirian. Mereka tidak muncul begitu saja, tumbuh seperti rumput liar. Mereka adalah hasil dari apa yang diberikan generasi tua.
Anak-anak bukan pendengar yang baik. Tapi mereka adalah pengamat yang luar biasa. Seperti yang dikatakan Ibnul Qayyim, anak-anak adalah cermin dari orang tua mereka.
Generasi tua adalah cerita yang mereka baca. Jika ceritanya penuh celah, penuh kebohongan, penuh kekosongan, itulah yang mereka serap. Sebuah drama tanpa akhir.
Dan usia 40 tahun seharusnya berbeda. Rasulullah Muhammad ﷺ diangkat menjadi nabi pada usia ini, ketika pikiran sudah matang, tubuh masih kuat, dan hati penuh kepastian. Usia ini adalah usia untuk menjadi jangkar.
Tapi jangkar yang goyah tidak menahan apa pun. Jika generasi tua tidak kokoh, mereka hanya mengalir bersama arus. Generasi muda, melihat itu, akan mengapung tanpa arah.
Kenapa Generasi Tua Harus Dididik?
Generasi tua adalah arsitek. Mereka mendesain dunia yang akan ditempati oleh generasi muda. Tapi bagaimana jika mereka tidak tahu cara membangun?
Rasulullah MUhammad ﷺ berkata, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Al-Bukhari). Itu bukan sekadar kata-kata, itu tuntutan. Sebuah kewajiban yang melekat.
Jika mereka gagal, dunia ikut runtuh. Generasi muda tumbuh di atas reruntuhan itu. Mereka mencoba membangun ulang, tapi pondasinya sudah retak.
Pendidikan generasi tua harus mendalam. Bukan hanya keterampilan teknis, tapi nilai-nilai moral. Sebagaimana Imam Al-Ghazali berkata, “Ilmu tanpa akhlak adalah bencana.”
Tanpa itu, generasi tua adalah cerita kosong. Mereka hidup, tapi tidak benar-benar ada. Dan anak-anak mereka tumbuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.
Strategi: Membangun Jangkar yang Kokoh
Generasi tua tidak butuh ceramah panjang. Mereka butuh latihan, aksi, pengalaman yang membentuk. Pendidikan harus bergerak ke arah itu.
Pemerintah harus hadir dengan kebijakan. Program pelatihan untuk usia produktif, bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk hidup. Ini adalah investasi jangka panjang.
Komunitas juga harus bergerak. Tradisi lokal yang mengajarkan nilai-nilai harus dirawat. Majelis ilmu, diskusi keluarga, dan tradisi berkumpul adalah ruang belajar yang hilang.
Islam memberikan kita contoh. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad). Ini adalah misi yang harus dihidupkan kembali.
Generasi tua harus menyadari peran mereka. Mereka bukan hanya bagian dari cerita, mereka adalah inti dari cerita itu. Dan tanpa mereka, cerita menjadi tidak lengkap.
Membentuk Masa Depan Lewat Masa Kini
Generasi tua adalah poros. Mereka adalah titik di mana masa depan dan masa kini bertemu. Jika titik itu goyah, seluruh poros runtuh.
Usia 40 tahun bukan sembarang angka. Allah memberikan usia ini sebagai tanda kematangan. Rasulullah Muhammad ﷺ membuktikan itu.
Tanpa generasi tua yang kokoh, tidak ada harapan bagi generasi muda. Mereka hanya akan tersesat, mencoba mencari arah tanpa petunjuk. Ini adalah mimpi buruk yang bisa kita hindari.
Jadi, fokuslah pada mereka. Didiklah mereka, bentuk mereka, dan kuatkan mereka. Karena dari generasi tua, masa depan dilahirkan.
Dan masa depan itu tidak akan menunggu. Seperti sungai, ia mengalir. Dan kita harus memastikan alirannya membawa kebaikan, bukan kehancuran.