Suatu sore, dua sahabat -Sulay dan Iman- terlibat dalam percakapan yang tidak biasa. Di tengah obrolan ringan tentang hidup dan pencarian makna, topik tentang dakwah dan dosa tiba-tiba mencuat ke permukaan, menyentuh titik sensitif yang seringkali diabaikan.
Sulay: “Kamu banyak dosa. Gak pantes buat dakwah!”
Iman: “Gak papa. Tinggal tobat aja.”
Sulay: “Iya, tobat aja dulu. Gak usah dakwah. Malu tuh sama dosa!”
Iman: “Jangan perfeksionis. Dakwahin aja yang kamu bisa.”
Sulay: “Siapa juga yang mau denger kamu dakwah? Mereka tau aibmu semua!”
Iman: “Jika yang boleh dakwah hanya orang yang gak punya dosa, tentu gak akan ada yang dakwah selain para Nabi dan Rosul.”
Sulay: …
Iman: “Hanya karena kita melakukan satu dosa, kita tidak bebas dari kewajiban mencegah orang lain dari dosa itu.”
Sulay: “Yee, itu namanya munafik, bro!”
Iman: “Kita punya dua kewajiban terkait dosa: tidak atau berhenti melakukannya, dan mencegah orang lain darinya.”
Sulay: “Ribet ama sih! Udah, hidup aja kayak biasanya. Jangan sok suci.”
Iman: “Lebih baik jadi orang sok suci daripada jadi orang sok munafik. Yoi, bro?”
Sulay: “#%&^$!”
Dialog ini mungkin sederhana, namun mengandung pergulatan besar dalam diri setiap Muslim yang mengerti tanggung jawab dakwah. Apa makna dakwah bagi seorang yang sadar bahwa dirinya adalah pendosa? Dan lebih dalam lagi, apakah dosa otomatis menyingkirkan seseorang dari hak dan kewajiban menyampaikan kebenaran?
Dosa dan Dakwah: Siapakah yang Layak Berdakwah?
Setiap manusia tak lepas dari dosa, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Dosa adalah bagian dari diri manusia. Namun, yang menjadi pertanyaan: apakah dosa menjadi penghalang seseorang untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan?
Jika kita mengandaikan bahwa hanya orang yang bersih dari dosa yang boleh berdakwah, maka tak seorang pun akan memenuhi syarat itu kecuali para Nabi dan Rasul. Kita tahu bahwa manusia, secara alami, adalah makhluk yang lemah, yang seringkali tergelincir dalam dosa. Namun, Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah menetapkan kesempurnaan sebagai syarat untuk menyampaikan kebaikan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125). Seruan ini ditujukan kepada semua, tanpa pengecualian. Ia adalah panggilan bagi setiap orang yang beriman, tanpa menuntut mereka menjadi suci terlebih dahulu.
Dakwah dan Tobat: Dua Jalan yang Beriringan
Mungkin kita sering mendengar, “Tobat dulu, baru dakwah.” Pernyataan ini mungkin terdengar logis, tetapi apa sebenarnya esensi dari dakwah? Dakwah bukan hanya soal menyampaikan kebenaran kepada orang lain, tetapi juga tentang proses memperbaiki diri. Ketika Iman berkata, “Jangan perfeksionis. Dakwahin aja yang kamu bisa,” ia sedang mengingatkan kita bahwa dakwah tidak harus menunggu kesempurnaan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi ﷺ: “Sampaikan dariku walau satu ayat.” (HR. Al-Bukhari).
Dakwah adalah cermin diri. Ketika kita mengajak orang lain kepada kebaikan, sejatinya kita juga sedang berbicara pada diri kita sendiri. Setiap nasihat yang kita sampaikan adalah pengingat, bukan hanya bagi mereka yang mendengarnya, tetapi juga bagi jiwa kita yang sering terlupa. Sebuah riwayat dari Sahl bin Sa’d menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta yang sangat banyak).” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Jadi, mengapa harus menunggu sempurna, jika menyampaikan kebaikan justru bisa menjadi bagian dari tobat kita?
Dosa Bukan Penghalang Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ada satu bagian dalam percakapan itu yang sangat mengena: “Hanya karena kita melakukan satu dosa, kita tidak bebas dari kewajiban mencegah orang lain dari dosa itu.” Pernyataan ini mengingatkan bahwa dosa tidak membebaskan kita dari kewajiban menyampaikan kebenaran.
Dalam Islam, amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif yang melekat pada setiap Muslim. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110). Tidak ada syarat bahwa hanya mereka yang sempurna boleh melakukan ini.
Kewajiban untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak berhenti hanya karena seseorang pernah tergelincir dalam dosa. Seorang yang bertaubat dari dosa sejatinya lebih memahami betapa pentingnya menjauhi perbuatan itu, dan ia punya tanggung jawab moral untuk mencegah orang lain dari kesalahan yang sama. Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Setiap mukmin, meskipun dia sendiri tidak mampu mengamalkan seluruh perintah agama, tetap wajib untuk mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran.”
Munafik atau Jujur pada Kelemahan?
Dalam percakapan itu, Sulay menuduh Iman sebagai munafik. Ini adalah tuduhan yang sering muncul ketika seseorang mencoba berdakwah meskipun dirinya belum sempurna. Tapi, mari kita luruskan pengertian tentang kemunafikan. Munafik, dalam istilah syariat, adalah orang yang menyembunyikan kekufuran di balik topeng keimanan. Sedangkan Iman, dalam percakapan ini, jujur terhadap dirinya. Ia tidak menutupi dosa-dosanya, tetapi ia juga tidak ingin dosa itu menjadi alasan untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa kewajiban untuk mencegah kemungkaran ada dalam setiap tingkatan keimanan, tidak terbatas hanya pada para ustadz atau kyai. Maka, jujur pada kelemahan diri, tetapi tetap berusaha menyeru kepada kebaikan, jauh lebih baik daripada diam dan membiarkan kemungkaran terjadi.
Sok Suci atau Sok Munafik?
Pada akhir percakapan, Iman menutup dengan pernyataan yang menohok: “Lebih baik jadi orang sok suci daripada jadi orang sok munafik.” Pernyataan ini bukan pembelaan kosong, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang pilihan yang kita hadapi. Menjadi sok suci, dalam konteks ini, berarti berusaha untuk menjadi lebih baik meskipun kita tahu diri masih penuh dosa. Sedangkan menjadi sok munafik adalah mereka yang tahu akan dosanya, tetapi memilih untuk tidak berbuat apa-apa, bahkan enggan untuk mengajak orang lain kepada kebaikan.
Dalam konteks dakwah, kita tidak sedang berbicara tentang kesempurnaan, tetapi tentang proses. Proses ini yang membawa kita dari gelap menuju terang, meskipun langkah kita tertatih-tatih di sepanjang jalan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Jika engkau tidak bisa menjadi orang yang sempurna, setidaknya berusahalah untuk menjadi orang yang lebih baik setiap harinya.” Dan dakwah adalah salah satu cara untuk terus memperbaiki diri.
Kesimpulan: Dakwah Adalah Perjalanan Bersama
Pada akhirnya, dakwah bukan soal siapa yang suci dan siapa yang berdosa. Dakwah adalah perjalanan bersama, di mana setiap orang punya peran untuk saling mengingatkan. Sebagaimana Iman dalam percakapan itu mengingatkan kita, kesempurnaan bukanlah syarat untuk berdakwah. Setiap langkah kita menuju kebaikan, bahkan di tengah dosa, adalah bagian dari perjalanan dakwah itu sendiri.
Dosa tidak harus menghentikan langkah kita untuk menyeru kepada kebenaran. Justru, dalam setiap nasihat yang kita sampaikan, kita sedang mengingatkan diri sendiri bahwa kita juga masih punya banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dakwah bukanlah tentang menjadi sok suci, tetapi tentang menjadi seseorang yang lebih baik, meski langkah itu masih jauh dari sempurna.
Dan mungkin, dalam setiap nasihat yang kita ucapkan, kita sedang membuka pintu taubat bagi diri kita sendiri. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133). Maka, jangan pernah ragu untuk berdakwah, meski diri ini masih penuh dosa.