by

Fantasia-Sia

Ada semacam nostalgia yang aneh dalam hati kita. Sebuah penyesalan kecil-kecil, seperti pasir yang terselip di sela-sela jemari kaki, menggelitik tiap langkah, mengingatkan kita pada kenangan yang seharusnya terlupa. Seperti menatap pantulan bulan di air keruh, masa lalu itu menggoda untuk disentuh, tapi hanya meremang, buyar saat jari mencoba meraih.

Melangkah Keluar dari Kubangan Penyesalan

Kita sering terjebak dalam labirin tanya yang tidak berkesudahan, bukan? Seandainya adalah mantra sihir yang kita ucapkan berulang kali, seakan hidup bisa berubah dengan satu kata itu. Apa yang kita dapat dari mengulang-ulang tanya itu? Kepuasan? Ketenangan? Tidak ada, kawan. Yang ada hanyalah rasa hampa yang berbisik, bahwa semua ini, fantasia-sia ini, tidak punya ujung.

Dari perspektif yang lain, ada yang lebih besar daripada rasa kesal dan kecewa pada diri sendiri. Allah, dalam surah Al-Hadid ayat 22-23, menuturkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi dan pada diri kita sudah tertulis, jauh sebelum kita diciptakan. “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” Menarik bukan? Langit tidak pernah meminta kita menangisi apa yang hilang atau memaki apa yang akan datang. Semua sekadar proses. Dan tugas kita? Menjalani dengan kepala tegak, bukan dengan wajah murung.

Penyesalan memang manusiawi. Bahkan Al-Qur’an mengakui keinginan manusia untuk menyesali masa lalu. Dalam Surah Al-Mulk, Allah menyinggung betapa orang-orang yang ingkar akan menyesal di akhirat, berharap mereka diberi kesempatan lagi. Tetapi kita, yang masih hidup, memiliki kesempatan untuk lebih dari sekadar menyesal. Kita punya pilihan untuk keluar dari kubangan itu.

Nabi Muhammad bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, meski pada keduanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu yang menimpamu, jangan berkata, ‘Seandainya aku melakukan begini, tentu akan begini.’ Tapi katakanlah, ‘Qadarullah wa maa syaa’a fa’al’ (ini sudah takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki, itulah yang terjadi). Karena berandai-andai itu akan membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim)

Sederhana, tapi sulit. Mengapa sulit? Karena kita sering menggenggam masa lalu seakan itu milik kita. Padahal, justru kita yang terpenjara di dalamnya.

Mengapa Harus yang Lalu?

Kita semua tahu, dunia ini selalu berputar. Jika terus menengok ke belakang, bagaimana bisa melihat jalan di depan? Sering kita berasumsi bahwa hidup yang lebih baik itu tertinggal di belakang, tersembunyi di sudut keputusan yang dulu tidak kita ambil. Padahal, itu hanya jebakan dari pikiran kita sendiri. Penyesalan itu tidak pernah nyata. Ia hanya imajinasi yang menggeliat seperti ular, menyelinap ke dalam hati untuk menggugah kesedihan yang sebenarnya tidak perlu.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 216, Allah menjelaskan bahwa apa yang kita benci bisa jadi justru baik bagi kita. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Pernyataan yang tegas, tapi di situlah misteri dan rahmat Allah. Apa yang tidak kita ketahui itulah yang menjadi rahasia besar di balik segala hal yang terjadi dalam hidup kita.

Teringat satu nasihat dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’in besar, “Dunia ini hanya tiga hari. Kemarin yang telah berlalu dan tidak akan kembali, hari ini yang kita jalani, dan besok yang belum tentu kita temui.” Penyesalan yang kita tumpuk dari kemarin itu tidak lagi bisa disentuh. Hidup ada di hari ini. Besok? Itu domain kuasa-Nya.

Dendam dan Amarah Adalah Musuh yang Tak Terlihat

Dendam masa lalu seperti air kotor dalam kendi yang kita seruput setiap hari. Air itu tidak membuat kita hidup, malah membuat kita makin haus. Kita menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, menyalahkan nasib. Namun semua itu tidak ada gunanya. Lalu, mengapa kita tetap meminum air kotor itu? Karena kita terlalu takut untuk mengosongkannya.

Dendam dan amarah hanya akan membuat kita tersesat dalam fantasi yang menyesatkan. Mereka yang mengerti akan hakikat hidup, yang memahami bahwa setiap kejadian sudah ditentukan oleh Allah, mereka tidak akan berlama-lama dalam dendam. Mereka mengosongkan kendi mereka, lalu membiarkannya terisi dengan air segar berupa ketundukan pada kehendak Allah.

Seorang ahli hikmah pernah berkata, “Keridhaan terhadap takdir Allah adalah surga dunia. Barangsiapa yang belum memasukinya, dia tidak akan pernah merasakan surga akhirat.” Betapa kedalaman kata-kata ini mengingatkan kita bahwa semua ini hanyalah skenario terbaik dari Zat Yang Maha Mengetahui.

Berdamai Itu Bukan Menyerah, Tapi Menerima

Dalam dunia yang terus menuntut lebih, berdamai dengan takdir sering dianggap kalah. Tetapi ini bukan sekadar soal siapa yang menang atau kalah. Ini soal bagaimana kita menjaga hati tetap tenang dalam perjalanan panjang. Al-Qur’an memberikan penjelasan menarik dalam Surah Al-Baqarah ayat 216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Berdamai bukan berarti menyerah. Ini soal membuka hati, merelakan semua yang sudah terjadi, dan menerima hidup apa adanya. Kita bisa berkarya dalam ruang yang tersisa, tidak terkungkung pada ilusi masa lalu yang menyedot tenaga kita. Justru mereka yang benar-benar memahami takdir akan menemukan kebebasan dalam hidup. Mereka tidak lagi menggantungkan harapan pada sesuatu yang telah hilang, tetapi pada apa yang kini ada di depan mata.

Allah berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 22-23: “Tidak ada suatu bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”

Mengapa Allah mengingatkan kita agar tidak terlalu bersedih atas apa yang telah berlalu dan tidak terlalu berlebihan atas apa yang kita peroleh? Karena hidup adalah perjalanan antara takdir dan upaya. Menggenggam terlalu erat pada masa lalu hanya akan membuat kita tidak siap untuk menerima masa depan.

Fantasia-Sia Itu Sudah Saatnya Usai

Inilah kesimpulannya. Fantasia-sia hanya akan menjadi beban yang melilit. Waktu terus berputar, dan setiap detik yang kita habiskan untuk mengkhayalkan “seandainya” hanyalah menunda langkah kita menuju ketenangan. Maka jangan biarkan imajinasi mengambil alih hidup. Lepaskan, kawan. Genggam erat realita yang ada di tanganmu sekarang.

Alangkah indahnya hidup ketika kita belajar melihat dunia dari sudut yang baru. Sudut yang tidak lagi menyesali, tidak lagi menuntut lebih, tetapi penuh rasa syukur. Dan di situlah, kita menyadari bahwa takdir Allah adalah sesuatu yang lebih baik dari apa pun yang bisa kita khayalkan.

Write a Comment

Comment