by

Euforia Agustusan: Penutupan Jalan Raya Sekaligus Jalan Pikiran

Setiap Agustus tiba, bendera merah putih berkibar di mana-mana, jalan raya ditutup untuk karnaval, dan suara musik riuh menendang udara. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang seharusnya menjadi inti dari peringatan kemerdekaan: rasa syukur yang tulus dan penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan. Euforia Agustusan sering kali hanya menjadi ajang hura-hura, jauh dari napak tilas perjuangan dan semangat pengorbanan yang para pahlawan tunjukkan. Di tengah gegap gempita, makna kemerdekaan itu sendiri kerap tertinggal, tenggelam dalam pesta pora yang dangkal.

Lomba-lomba tradisional dan karnaval memang menyenangkan, tapi apakah ini yang diinginkan para pahlawan ketika mereka bertaruh nyawa untuk kemerdekaan? Seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ironi ini terlihat jelas dalam perayaan Agustusan yang seringkali melupakan esensi perjuangan itu sendiri—sebuah perjuangan untuk memerdekakan bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa dan pikiran.

Namun, ironi ini tak berhenti di situ. Di saat yang sama, kita terdiam, bungkam ketika melihat penderitaan rakyat Gaza yang terus terjajah. Suara kita yang begitu lantang di jalanan, tiba-tiba hilang ketika harus membicarakan ketidakadilan yang dialami saudara-saudara kita di bumi Al-Quds Palestina. Jika bicara saja kita enggan, bagaimana kita bisa berharap untuk membantu mereka? Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tapi di mana cinta itu ketika kita lebih memilih diam dalam kenyamanan sementara darah serta air mata terus mengalir di Gaza?

Ini adalah penutupan jalan raya sekaligus jalan pikiran. Jalan raya ditutup untuk perayaan, tapi jalan pikiran kita juga tertutup oleh ketidakpedulian. Kita asyik dalam euforia, lupa bahwa kemerdekaan yang sejati bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, tapi juga tentang keberanian untuk berdiri melawan ketidakadilan di mana pun itu terjadi.

Sebagai bangsa yang merdeka, kita punya tanggung jawab lebih dari sekadar merayakan. Kita harus ingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati ini dibayar dengan darah dan air mata. Maka, sudah sepatutnya perayaan kemerdekaan ini diisi dengan refleksi, bukan sekadar hiburan. Kita harus kembali pada makna asli dari kemerdekaan: keberanian, pengorbanan, dan keadilan. Jika kita terus larut dalam euforia tanpa makna, maka kita bukan hanya menutup jalan raya, tapi juga menutup jalan pikiran kita dari hakikat perjuangan yang sebenarnya.

Kemerdekaan bukanlah ilusi, tapi tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu termasuk berdiri untuk mereka yang masih terjajah, seperti saudara-saudara kita di Gaza. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Hatta, “Kemerdekaan hanyalah jembatan; tujuan kita adalah kemakmuran.” Mari kita pastikan bahwa kemerdekaan ini tidak hanya menjadi jembatan untuk diri kita sendiri, tapi juga bagi saudara-saudara kita yang masih terjajah, agar mereka juga bisa merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Write a Comment

Comment