by

Dua Pertanyaan untuk Guru

Pembuka Dialog Pendidikan

Sistem pendidikan kita sudah bangkrut secara epistemologis. Guru-guru kita terperangkap dalam ritual mengajar tanpa substansi. Mereka menjalani profesi tanpa refleksi mendalam tentang hakikat pendidikan itu sendiri.

Inilah realitas yang menyakitkan. Guru hanya menjadi mesin pencetak angka-angka statistik untuk kepentingan birokrasi pendidikan yang korup.

Saya akan mengajukan dua pertanyaan fundamental yang akan mengguncang kenyamanan guru-guru yang selama ini merasa sudah benar. Pertanyaan yang akan memaksa mereka keluar dari zona nyaman intelektual yang dangkal.

Pertanyaan Pertama: Bagaimana Anda Tahu Murid Benar-Benar Memahami?

Inilah pertanyaan yang akan membongkar kedangkalan metodologi pengajaran kontemporer. Sebagian besar guru mengira bahwa dengan menyampaikan informasi, tugas mereka sudah selesai.

Absurd!

Pemahaman bukan transfer data. Pemahaman adalah proses transformasi kesadaran yang kompleks dan personal.

Rasulullah Muhammad memberikan paradigma yang revolusioner: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat” (HR. Al-Bukhari). Tapi perhatikan, beliau tidak pernah mengajar dengan tergesa-gesa. Setiap sahabat dipastikan memahami sebelum melanjutkan ke topik berikutnya.

Ini bukan soal efisiensi waktu. Ini soal integritas intelektual.

Dekontruksi Mitos Pemahaman

Sistem evaluasi kita dibangun di atas mitos bahwa ujian dapat mengukur pemahaman. Nonsense! Ujian hanya mengukur kemampuan reproduksi informasi dalam waktu terbatas.

Murid bisa hafal rumus matematika tanpa memahami konsep dasarnya. Mereka bisa mengutip ayat Al-Quran tanpa meresapi maknanya. Mereka bisa menjawab soal sejarah tanpa memahami dinamika peradaban.

Inilah yang disebut simulacrum pendidikan. Penampakan tanpa substansi. Bentuk tanpa isi.

Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” sudah memperingatkan: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”

Artinya, ilmu yang tidak dipahami dan tidak diamalkan adalah bentuk kegilaan intelektual.

Kritik Terhadap Pedagogik Konvensional

Metode pengajaran konvensional adalah warisan kolonial yang sudah usang. Guru berdiri di depan kelas seperti kaisar kecil, mendikte murid-murid yang pasif seperti budak intelektual.

Ini adalah fasisme pendidikan!

Murid dipaksa diam, mendengarkan, mencatat, menghafal, dan mengulang. Kreativitas dibunuh. Kritis ditekan. Inovasi dimatikan.

Bandingkan dengan metode Rasulullah Muhammad yang dialogis dan interaktif. Beliau sering mengajukan pertanyaan kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” (HR. Muslim).

Ini bukan retorika kosong. Ini adalah pedagogi pembebasan.

Indikator Pemahaman Sejati

Pemahaman sejati memiliki tiga karakteristik:

Pertama, kemampuan artikulasi. Murid dapat menjelaskan konsep dengan bahasa mereka sendiri, bukan mengulang perkataan guru.

Kedua, kemampuan aplikasi. Mereka dapat menerapkan konsep dalam konteks yang berbeda dari yang diajarkan.

Ketiga, kemampuan kritik. Mereka dapat mempertanyakan, menganalisis, bahkan mengkritisi apa yang dipelajari.

Tanpa ketiga kemampuan ini, yang terjadi adalah pseudo-learning. Pembelajaran semu.

Pertanyaan Kedua: Bagaimana Anda Menanamkan Adab dan Keimanan?

Inilah pertanyaan yang akan membongkar kepalsuan sistem pendidikan sekuler yang mendominasi Indonesia. Sistem yang mengklaim netral tapi sebenarnya sarat dengan ideologi materialisme Barat.

Pendidikan tanpa dimensi spiritual adalah barbarisme intelektual. Model pendidikan ini hanya akan menghasilkan monster-monster cerdas tanpa nurani.

Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam: 4).

Ayat ini menunjukkan bahwa akhlak adalah tujuan tertinggi pendidikan. Bukan prestasi akademik. Bukan ranking internasional. Bukan statistik kelulusan.

Dekonstruksi Sekularisme Pendidikan

Sistem pendidikan kita telah dijangkiti virus sekularisme yang memisahkan ilmu dari akhlak. Agama dimarjinalkan menjadi mata pelajaran sampingan yang tidak penting.

Ini adalah kolonialisme intelektual!

Barat berhasil menanamkan dikotomi palsu antara sacred dan profane, antara religious dan scientific. Padahal dalam Islam, semua ilmu adalah suci karena berasal dari Allah.

Imam Malik berkata: “Ayahku mengajariku adab selama 30 tahun, baru kemudian mengajariku ilmu.”

Bayangkan! Tiga puluh tahun untuk adab. Ini menunjukkan bahwa adab adalah fondasi, bukan ornamen.

Krisis Karakter Generasi Digital

Generasi muda kita sedang mengalami krisis karakter yang akut. Mereka pandai mengoperasikan teknologi tapi tidak bisa menghormati orang tua. Mereka hafal teori-teori sains tapi tidak kenal etika.

Ini adalah produk sistem pendidikan yang sakit.

Media sosial membombardir mereka dengan nilai-nilai hedonis. Individualisme ekstrem. Relativisme moral. Nihilisme eksistensial.

Guru-guru kita kalah dalam perang narasi ini. Mereka tidak memiliki worldview yang kuat untuk melawan invasi kultural Barat.

Paradigma Pendidikan Holistik

Islam menawarkan paradigma pendidikan yang holistik dan integratif. Tidak ada dikotomi antara ilmu dan akhlak, antara dunia dan akhirat, antara rasional dan spiritual.

Rasulullah Muhammad bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad).

Misi pendidikan adalah penyempurnaan akhlak. Bukan pengisian otak dengan informasi.

Guru Muslim harus menjadi intellectual warrior yang melawan hegemoni sekularisme dalam pendidikan.

Strategi Penanaman Nilai

Pertama, integration. Integrasikan nilai-nilai Islam dalam setiap mata pelajaran. Jangan biarkan sekularisme memisahkan ilmu dari akhlak.

Kedua, exemplification. Jadilah teladan hidup. Murid akan lebih terpengaruh oleh apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar.

Ketiga, contextualization. Kaitkan nilai-nilai Islam dengan realitas kontemporer. Tunjukkan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, problematization. Ajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang memaksa murid berpikir tentang makna hidup, tujuan eksistensi, dan tanggung jawab moral.

Resistensi Terhadap Sistem

Guru-guru yang sadar harus melakukan resistensi intelektual terhadap sistem pendidikan yang rusak. Jangan menjadi zombie yang menjalankan kurikulum tanpa kritik.

Mulailah revolusi kecil di kelas masing-masing. Ciptakan ruang dialog. Bangun kesadaran kritis. Tanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

Visi Transformatif

Pendidikan sejati adalah praxis transformatif. Pendidikan semacam ini akan mengubah kesadaran, membebaskan pikiran, dan memberdayakan jiwa.

Guru sejati adalah organic intellectual yang tidak hanya mengajar tapi juga menginspirasi. Yang tidak hanya mentransfer informasi tapi juga mentransformasi karakter.

Kesimpulan: Revolusi atau Stagnasi?

Dua pertanyaan yang saya ajukan bukan sekedar refleksi akademis. Ini adalah call for revolution dalam dunia pendidikan.

Guru-guru kita harus memilih: menjadi agen transformasi atau tetap menjadi budak sistem yang korup.

Masa depan peradaban ada di tangan mereka. Pilihan ada di depan mata.

Revolution or stagnation?

Wallahu a’lam.

Write a Comment

Comment