by

Dicari: Guru Yang Menyenangkan

Ada yang hilang dalam perjalanan pendidikan kita, sesuatu yang seharusnya tumbuh dari dalam universitas keguruan tetapi nyatanya tak pernah benar-benar matang. Sesuatu itu adalah kemampuan mencetak guru yang tidak hanya pandai mengajar, tetapi juga pandai menyentuh hati murid. Universitas keguruan terlalu sering terjebak dalam formalitas, menekankan pada teori yang kaku dan melupakan esensi pendidikan yang lebih lembut, lebih manusiawi. Mereka mengajarkan bagaimana cara mengajar, tetapi lupa mengajarkan bagaimana cara merasakan.

Guru yang baik adalah guru yang mampu menjadikan kelas sebagai ruang yang hidup, di mana murid-muridnya merasa nyaman untuk bertanya, berpendapat, bahkan bermimpi. Tapi realita yang kita hadapi sering kali jauh dari harapan. Murid-murid datang ke kelas bukan karena ingin belajar, tetapi karena terpaksa. Mereka duduk mendengarkan bukan karena tertarik, tetapi karena takut. Universitas keguruan yang seharusnya melahirkan sosok-sosok guru yang menyenangkan, justru gagal memahami satu hal mendasar: pendidikan adalah soal hati, bukan sekadar soal akal.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memudahkan jalan bagi murid untuk memahami, bukan yang justru membuat mereka merasa terbebani. Namun sayangnya, banyak guru yang dilahirkan oleh universitas keguruan malah menjadi beban bagi murid-muridnya. Mereka mengajar dengan target, bukan dengan cinta. Mereka menilai dengan angka, bukan dengan pengertian.

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, pernah berkata, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa ilmu yang diajarkan tanpa pemahaman yang mendalam tentang bagaimana menjadikannya bermakna bagi orang lain, adalah sesuatu yang sia-sia. Universitas keguruan seharusnya menjadi tempat di mana calon guru belajar untuk tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menghidupkannya. Sayangnya, yang sering terjadi adalah mereka keluar dengan kepala penuh teori, tetapi dengan hati yang kosong dari kasih sayang.

Al-Qur’an dalam QS. An-Nahl: 125 mengajarkan kita, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu. Tetapi, di mana kebijaksanaan itu ketika pendidikan hanya menjadi soal mengejar kurikulum dan target nilai? Murid bukanlah objek yang harus dicetak sesuai dengan standar, mereka adalah jiwa yang harus disentuh dan dipahami.

Esai ini bukanlah kritik tanpa dasar, tetapi sebuah renungan bahwa pendidikan harus berubah, dimulai dari universitas keguruan. Kita butuh lebih dari sekadar guru yang pandai berbicara di depan kelas. Kita butuh guru yang mampu menciptakan ruang di mana murid merasa aman untuk bertanya, merasa dihargai ketika berpendapat, dan merasa didukung ketika mereka jatuh. Pendidikan adalah tentang membangun manusia, bukan hanya mencetak lulusan.

Universitas keguruan harus mulai mengajarkan bahwa menjadi guru bukan hanya soal memenuhi standar akademik, tetapi juga soal membangun hubungan yang tulus dengan murid-muridnya. Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengubah hidup seseorang, bukan hanya mencerdaskan pikiran mereka, tetapi juga menyentuh hati mereka.

Write a Comment

Comment