by

Dialektika Perasaan

Jangan Jadikan Perasaan sebagai Penguasa

Dalam hidup ini, emosi hadir sebagai tamu yang tiba-tiba, mengetuk tanpa aba-aba, menyelinap tanpa diundang. Marah, senang, sedih, gembira; semuanya datang dan pergi seperti ombak yang menghantam dan mengempas, kadang menghantam kuat, kadang hanya mengelus pantai jiwa kita. Namun, bukankah yang lebih bijak adalah menyambut emosi ini dengan adab, bukan membiarkan mereka menjadi penguasa yang semena-mena?

Rasulullah menuntun kita dengan sabdanya, “Jangan marah,” (HR. Al-Bukhari). Beliau tidak melarang kita untuk merasa marah, tapi agar kita menolak berbuat salah karenanya. Sebab ketika marah menjadi tuan yang memerintah hati dan akal, yang terjadi hanyalah kekacauan. Rasulullah Muhammad mengajarkan, taklukkan marah itu dengan tenang, hingga kita tahu bahwa yang menguasai hati bukanlah bara, tetapi kebeningan jiwa yang mengerti kapan diam adalah keharusan.

Saat Emosi Bergejolak, Tunda dan Renungkan

Emosi sering kali begitu kuat memukul hati hingga nalar kita gemetar. Itulah mengapa para ulama mengingatkan, jika marah, duduklah; jika duduk tidak membuat tenang, berbaringlah, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Berikan waktu bagi pikiran dan hati untuk kembali harmonis.

Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur: 22). Maaf itu hanya hadir dalam hati yang memberi ruang, dalam dada yang menampung segala gejolak dengan keteduhan. Ketenangan itu kita dapati ketika tidak terburu-buru dalam mengambil langkah. Menunda adalah salah satu cara kita menghormati emosi, bukan menekannya, melainkan memberi mereka tempat untuk reda sebelum kita membuat keputusan.

Mengelola Mood: Bekal Menuju Keberkahan Hidup

Ada sebuah sunnatullah yang Allah tetapkan pada diri kita: hidup ini seperti gelombang yang berombak, dan hati kita merasakan semua iramanya. Kadang-kadang semangat itu tinggi, kadang ia meredup perlahan-lahan. Kadang, mood begitu membuncah, dan kita begitu bergairah untuk bekerja, namun ada saat lain di mana hati terasa berat, seakan-akan enggan bergerak.

Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang terus-menerus, walaupun sedikit.” (HR. Muslim). Beliau paham bahwa manusia mudah terhempas oleh perasaan, maka kunci keberkahan amal adalah kestabilan. Mengelola mood bukan berarti menekan perasaan, tetapi mencari cara agar hati tetap berirama meski dalam kondisi yang berubah-ubah. Di sinilah kita perlu menumbuhkan kesabaran, agar mood yang naik-turun tidak mempengaruhi kemurnian niat kita dalam berkarya.

Saat Mood Datang dan Pergi, Jeda Itu Penting

Bayangkanlah kita berada di atas perahu kecil di lautan luas. Gelombang datang silih berganti, kadang tinggi mengombang-ambing, kadang menenangkan. Seperti itulah hati kita, seperti perahu kecil di tengah lautan emosi. Ketika gelombang datang, ada satu seni yang diajarkan Rasulullah: menepi.

Dzikir adalah penyejuk. Rasulullah memberi kita cara, dalam dzikir hati kita menemukan jeda. Dalam jeda, kita belajar untuk kembali pada pusat diri, pada esensi yang tidak bergantung pada rasa suka maupun duka. Dalam dzikir, hati ini menemukan tempat beristirahat di tengah gelombang, agar tidak hanyut begitu saja oleh perubahan mood yang terus bergerak.

“Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam perkelahian, tetapi yang mengendalikan dirinya ketika marah,” sabda Rasulullah dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim. Kekuatan itu lahir bukan dari penindasan perasaan, melainkan dari jeda yang memberi ruang pada kebeningan pikiran untuk memimpin.

Antara Logika dan Emosi: Hikmah dalam Keseimbangan

Logika dan emosi ibarat dua sayap yang Allah titipkan pada kita untuk terbang lebih tinggi. Satu sisi, logika menuntun kita pada kebenaran dengan nalar yang tertib. Di sisi lain, emosi membawa kita pada kehangatan yang membuat kebenaran itu menjadi berarti. Kedua sayap ini harus bergerak bersamaan, agar kita tidak pincang saat berjalan di jalan kebenaran.

Kita lihat perpaduan indah itu dalam hidup Rasulullah. Di setiap tindakannya, ada keseimbangan yang begitu harmonis. Ketika berhadapan dengan Badui yang berkata kasar, Rasulullah menjawab dengan kelembutan, karena beliau tahu logika saja tidak cukup, emosi perlu hadir untuk memahami kondisi orang tersebut. Emosi yang dipegang teguh oleh logika menghasilkan tindakan penuh hikmah. Inilah keindahan dalam keseimbangan.

Menyatu dalam Ketenangan: Keseimbangan yang Menuntun

Di dalam diri kita, selalu ada benturan antara logika dan emosi. Saat marah, logika mungkin terluka, tapi ia belajar untuk menjadi lebih tenang. Saat bahagia berlebihan, logika mungkin khawatir, tetapi ia mengajarkan kita untuk mensyukuri dengan wajar. Allah menjadikan dunia ini berpasang-pasangan, termasuk dalam hati kita.

Allah berkata dalam Al-Qur’an, “Dan Allah menjadikan malam dan siang silih berganti untuk siapa yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan: 62). Dalam pergantian hari, kita diingatkan untuk belajar mengelola pergantian emosi dalam hati. Malam dan siang, suka dan duka, logika dan emosi. Semuanya bergantian dan saling melengkapi.

Menghidupkan Perasaan dengan Tenang

Pada akhirnya, hidup ini bukan soal menghilangkan emosi atau mematikan logika. Keduanya harus hidup bersama, saling mengisi dengan harmoni. Dialektika perasaan mengajarkan kita untuk berjalan di antara keduanya tanpa terlalu condong pada salah satunya. Dengan logika, kita menentukan jalan yang benar, dengan emosi, kita memberikan kehangatan pada langkah kita.

Mari kita jalani hidup ini dengan ketenangan. Setiap perasaan yang datang, kita sambut dengan syukur, setiap logika yang berbisik, kita dengar dengan seksama. Sebab dalam diri yang tenang, Allah membuka hikmah yang melampaui pengetahuan dan perasaan kita. Dialektika perasaan ini adalah perjalanan tanpa akhir, namun penuh hikmah di setiap langkahnya.

Write a Comment

Comment