by

Derita Digital

Setiap hari saya sujud di depan layar. Smartphone ini, benda kecil di genggaman, lebih sering saya bawa daripada kitab suci. Lebih setia menemani daripada biji tasbih. Lebih sering saya genggam daripada tangan orang-orang yang saya cintai.

Sungguh ironis, di zaman yang katanya serba maju, saya justru merasa terjebak. Manusia modern yang katanya bebas, malah terbelenggu benda mati. Saya tidak bisa jauh dari benda ini. Seolah-olah jika saya lepas, dunia akan runtuh. Padahal dunia tetap berjalan. Tanpa saya. Tanpa kelap-kelip notifikasi. Layaknya seorang yang kehilangan arah tanpa kompas, saya terjerat dalam siklus endless scrolling dan distraksi tanpa henti.

Ada ketergantungan yang membunuh perlahan-lahan, tanpa saya sadar kapan semua ini dimulai. Keterikatan ini menggerogoti waktu, pikiran, bahkan ruh saya. Saya adalah budak, tidak lebih dari itu. Dan sungguh, ini bukan relasi yang sehat.

Adiksi Distraksi

Distraksi adalah penyakit dunia modern. Dulu, saya mengira kemampuan fokus bisa dilatih dengan tekad. Sekarang? Lima menit tanpa membuka layar smartphone sudah membuat pikiran saya hampir gila. Di dunia yang berisik ini, saya tidak pernah benar-benar hadir. Smartphone membanjiri otak saya dengan informasi yang datang terus menerus. Ada notifikasi grup WA yang memanggil, berita yang harus dibaca, media sosial yang harus dilihat. Satu swipe, satu klik, satu notifikasi; semua itu menyedot perhatian saya tanpa jeda.

Fokus saya terpecah berkeping-keping. Saya tidak lagi bisa duduk tenang dan menatap layar kosong tanpa merasa harus melakukan sesuatu. Dunia ini, yang kecil di layar smartphone, tapi besar di pikiran saya, terus-menerus menggelitik rasa ingin tahu. Seolah dunia nyata kehilangan maknanya, dan dunia online menjadi lebih nyata dari apa yang ada di depan mata. Tapi apa yang saya cari? Apa yang sebenarnya saya inginkan dari semua distraksi ini?

Sebenarnya saya tahu, dalam Surat Al-Asr, Allah telah memperingatkan manusia agar tidak terjebak dalam kebodohan waktu. Tentang betapa manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh. Tapi, di mana iman saya ketika smartphone ini lebih saya utamakan daripada salat atau baca Al-Quran yang hanya lima menit?

Sungguh, Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi). Tapi saya? Setiap hari saya menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Dan saya tahu itu. Saya sadar, tapi tetap terjebak.

Waktu yang seharusnya saya gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, kini terkuras habis oleh distraksi yang tiada akhir. Saya kehilangan momen-momen penting dalam hidup. Kehilangan fokus untuk meraih cita-cita. Dan pada akhirnya, kehilangan diri saya sendiri.

Tapi, bukankah ini kebodohan yang saya ciptakan sendiri?

Menggenggam Dunia, Kehilangan Makna

Sungguh, saya menggenggam dunia di tangan ini. Dengan satu jari, saya bisa mengakses seluruh isi dunia. Namun anehnya, semakin banyak yang saya ketahui, semakin hampa rasanya. Semakin tersesat, semakin terasing. Saya bisa tahu apa yang sedang viral di ujung bumi datar sana, tapi saya lupa apa kabar tetangga saya. Saya bisa lihat wajah seseorang di Instagram, tapi saya lupa bagaimana senyum orang-orang di sekitar saya. Saya kehilangan keintiman dengan diri sendiri. Saya jauh dari yang nyata. Teman-teman yang hadir di depan mata, keluarga yang duduk di sekitar saya, seolah-olah menjadi bayangan belaka. Ada sesuatu yang hilang. Dan itu bukan sekadar perhatian, tapi makna.

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya kumpulan hari. Ketika satu hari berlalu, bagian dari dirimu juga ikut pergi.” Berapa banyak kesempatan yang terlewat hanya karena saya lebih memilih dunia maya daripada kehidupan nyata? Saya sibuk dengan hal-hal yang sebenarnya tidak menambah apa-apa untuk hidup saya, kecuali kebingungan.

Saya terjebak dalam ilusi koneksi, padahal yang saya rasakan hanyalah kesepian yang samar-samar.

Smartphone: Kitab Suci Baru?

Saya sering bercanda dengan diri sendiri, “Ini smartphone kayak kitab suci yang harus saya bawa ke mana-mana.” Mungkin candaan itu terlalu tepat hingga menjadi kenyataan. Saya bawa benda ini ke mana-mana, bahkan ketika saya tidur. Seolah-olah, ada rasa takut yang mendalam kalau saya tertinggal sesuatu. Padahal, apa yang saya takutkan? Kehilangan informasi? Kehilangan koneksi? Atau kehilangan jati diri?

Dalam hadis Nabi, disebutkan, “Ada dua kenikmatan yang seringkali dilalaikan oleh banyak manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari). Ketergantungan saya ini bukan hanya merusak kesehatan mental, tapi juga membunuh kesempatan berharga untuk menikmati waktu luang yang sebenar-benarnya. Alih-alih memanfaatkan waktu untuk refleksi atau memperdalam pemahaman agama, saya malah sibuk mengecek media sosial tanpa henti. Saya sibuk mengisi kepala dengan informasi digital, namun mengabaikan ruh yang butuh asupan ketenangan dan kedekatan dengan Allah, Tuhan saya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang mengutamakan dunia, maka Allah akan membuat kesibukannya berlarut-larut dan menjadikan kefakiran di depan matanya, padahal dunia datang kepadanya hanya sesuai apa yang telah ditetapkan baginya.” (HR. At-Tirmidzi). Begitulah, ketika saya terus-menerus fokus pada hal duniawi, pada notifikasi dan hal-hal yang tidak penting, hati saya kehilangan ketenangan. Kehidupan terasa kacau.

Padahal Allah berfirman dalam Surat Al-Hadid ayat 20: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan, serta bermegah-megahan di antara kamu.” Saya tahu semua ini hanya permainan. Tapi kenapa saya terus memainkannya?

Jalan Keluar atau Jalan Buntu?

Lalu, apa solusinya? Haruskah saya membuang smartphone ini? Tidak. Masalahnya bukan pada alat, tapi pada bagaimana saya memakainya. Saya yang harus berubah, bukan bendanya. Smartphone ini hanya alat, tapi saya yang memberinya kuasa untuk mengendalikan hidup saya.

Rasulullah ﷺ mengajarkan tentang keseimbangan. Tentang bagaimana kita harus bijak dalam memanfaatkan dunia. “Tidak ada kebaikan pada hal-hal yang berlebihan,” sabda beliau. Saya perlu membatasi waktu yang saya habiskan di depan smartphone.

Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah kunci agar hidup tenang. “Barangsiapa yang memulai harinya dengan perasaan puas terhadap apa yang dimilikinya, sungguh dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi).

Jalan keluar dari derita digital ini adalah dengan kembali kepada hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Saya harus mengisi waktu-waktu luang dengan dzikir, ibadah, dan interaksi nyata dengan orang-orang di sekitar. Saya harus belajar puas dengan hidup offline, tanpa aktivitas online setiap saat.

Mencari Jalan Pulang

“Gunakanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, kesehatanmu sebelum datang sakitmu, kekayaanmu sebelum datang kefakiranmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim).

Derita digital ini bukanlah sekadar masalah teknologi. Ini adalah masalah jiwa yang hilang arah. Saya harus berani melepaskan diri dari perbudakan elektronik ini. Mulai lagi melihat dunia di sekitar saya tanpa perantara layar. Hidup yang sebenarnya ada di sini, di antara orang-orang yang saya abaikan karena terlalu sibuk menunduk pada smartphone.

Write a Comment

Comment