Ujian dan Respons
Hidup ini seperti menari di atas tali. Keseimbangan adalah segalanya. Terlalu kaku, kita jatuh. Terlalu lentur, kita kehilangan arah.
Saya teringat percakapan dengan seorang kawan lama. “Mengapa hidup terasa begitu berat?” tanyanya. Saya terdiam. Lalu berbisik, “Mungkin karena kita lupa cara melentur. Mungkin karena kita lupa cara memantul.”
Allah sudah memberi tahu kita sejak awal. “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan” (QS. Al-Baqarah: 155). Ujian itu pasti. Yang tidak pasti adalah respons kita.
Melentur: Seni Menjadi Air
Air itu guru terbaik tentang kelenturan. Dia mengalir mengikuti sungai. Berbelok ketika ada batu. Namun tetap sampai ke laut. Tujuannya tidak pernah berubah. Yang berubah hanya caranya.
Islam mengajarkan kita menjadi “ummatan wasathan” (QS. Al-Baqarah: 143). Umat pertengahan. Bukan di tengah-tengah karena tidak punya pendirian. Tapi di tengah karena memahami keseimbangan.
Saya pernah bertemu seorang dai tua di pelosok. Metodenya sederhana. Tidak banyak mengutip kitab kuning. Tapi masjidnya penuh. “Saya belajar dari Nabi Muhammad,” katanya. “Beliau bicara pada orang Badui dengan cara Badui. Pada pedagang dengan bahasa dagang.”
Rasulullah Muhammad bersabda, “Mudahkanlah, jangan persulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari” (HR. Al-Bukhari Muslim). Ini bukan kompromi pada prinsip. Ini hikmah dalam metode.
Fleksibilitas Bukan Kelemahan
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini sering saya renungkan. Allah yang Maha Kuasa, memilih kemudahan untuk hamba-Nya.
Lihat bagaimana syariat memberi ruang. Musafir boleh jamak dan qashar. Orang sakit boleh berbuka. Tidak ada air? Tayammum jadi solusi. Ini bukan kelemahan sistem. Ini adalah rahmat yang dibungkus dalam fleksibilitas.
Imam Asy-Syafi’i mengubah fatwanya ketika pindah dari Baghdad ke Mesir. Bukan karena tidak konsisten. Tapi karena memahami bahwa konteks yang berbeda membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menulis, “Siapa yang berfatwa dengan satu hukum untuk semua keadaan, dia telah tersesat dan menyesatkan.”
Musyawarah: Ketika Hikmah Bertemu Ego
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imran: 159). Perintah ini datang pada Nabi Muhammad yang ma’shum. Yang tidak butuh pendapat manusia. Tapi Allah perintahkan tetap bermusyawarah.
Kenapa? Karena dalam musyawarah, ego harus duduk di kursi belakang. Hikmah yang menyetir.
Saya ingat kisah Umar bin Al-Khattab. Sang khalifah perkasa yang gemetar mendengar ayat Al-Quran. Tapi dalam musyawarah? Dia dengarkan bahkan kritik dari wanita tua. “Wanita itu benar, Umar salah,” katanya.
Ini seni melentur yang tertinggi. Melenturkan ego demi kebenaran.
Memantul: Filosofi Bola Karet
Sekarang tentang memantul. Tentang bangkit setelah jatuh. Tentang menemukan kekuatan di titik terlemah.
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Perhatikan. Allah ulang dua kali. Satu kesulitan, dua kemudahan. Matematika langit yang selalu untung.
Saya pernah mengalami banyak kegagalan dalam hidup. Impian yang sudah dibangun bertahun-tahun, hancur dalam semalam. Malam itu saya menangis. Tapi pagi harinya? Saya ingat ayat ini. Dan mulai lagi dari nol. Dengan cara berbeda. Dengan hikmah yang lebih dalam.
Nabi-Nabi yang Memantul
Nabi Yusuf dibuang ke sumur oleh saudara sendiri. Dijual sebagai budak. Difitnah dan dipenjara. Tapi lihat ending-nya. Dari dasar sumur ke puncak negeri Mesir. Ini bukan dongeng. Ini pelajaran tentang daya pantul.
Nabi Ayyub kehilangan segalanya. Harta, anak, kesehatan. Tapi imannya? Malah makin kuat. “Sesungguhnya aku ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang” (QS. Al-Anbiya: 83). Doanya singkat. Tapi penuh kepasrahan. Dan Allah kembalikan semuanya. Berlipat ganda.
Nabi Muhammad mengalami “Tahun Kesedihan”. Khadijah wafat. Abu Thalib tiada. Perlindungan hilang. Di Thaif dilempari batu. Tapi beberapa tahun kemudian? Fathu Makkah. Dari titik terendah ke puncak kemenangan.
Sabar: Bukan Sekadar Menunggu
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153). Sabar bukan duduk pasif menunggu keajaiban. Sabar adalah tetap bergerak meski dalam kesulitan. Tetap tersenyum meski hati terluka. Tetap bersyukur meski ujian bertubi.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Sabar itu ada dua: sabar atas apa yang tidak kau sukai, dan sabar untuk menahan diri dari apa yang kau sukai.”
Saya belajar ini dari seorang ibu yang kehilangan anak. “Saya tidak berhenti menangis,” katanya. “Tapi saya juga tidak berhenti bersyukur.” Ternyata air mata dan rasa syukur bisa berdampingan. Menangis karena kehilangan sang buah hati. Bersyukur atas momen-momen indah bersamanya.
Tawakkal: Ikhtiar Plus Pasrah
Tawakkal bukan fatalis. Tawakkal adalah usaha maksimal dengan hati yang pasrah. Seperti petani yang menanam benih terbaik, merawat dengan telaten, tapi tahu bahwa yang menumbuhkan adalah Allah.
Umar ibnul Khattab pernah tegur orang yang malas dengan dalih tawakkal. “Langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak!” bentaknya.
Integrasi Daya: Lentur dan Pantul
Daya lentur dan daya pantul itu seperti dua sayap burung. Butuh keduanya untuk terbang.
Lentur membuat kita adaptif. Pantul membuat kita tegar. Lentur menghindarkan kita dari patah. Pantul mengangkat kita dari jatuh.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11). Perubahan dimulai dari dalam. Dari cara kita memandang ujian. Dari cara kita merespons tekanan.
Praktik di Keseharian
Di ruang rapat, hadapi perbedaan pendapat dengan kepala dingin. Dengar dulu. Pahami dulu. Baru bicara dengan hikmah. Ini seni melentur.
Gagal dalam usaha? Bangkit. Evaluasi. Coba lagi dengan strategi baru. Ini seni memantul.
Dikecewakan orang? Maafkan. Bukan untuk mereka. Untuk kedamaian hati sendiri. Ini gabungan melentur dan memantul.
Dzikir dan Doa: Charger Spiritual
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Dzikir itu bukan ritual kosong. Dzikir itu charger untuk jiwa yang letih. Doa itu bukan sekadar permintaan. Doa itu percakapan dengan Yang Maha Mendengar.
Saat tertekan, dzikir membuat kita lentur. Saat terjatuh, doa membuat kita memantul.
Menjadi Manusia Utuh
Hidup akan terus menguji. Dengan cara yang tidak terduga. Di saat yang tidak tepat. Tapi kita punya dua senjata: daya lentur dan daya pantul.
Al-Quran memberi resep lengkap dalam surat Al-‘Asr. Iman sebagai fondasi. Amal saleh sebagai bukti. Saling menasihati dalam kebenaran, ini latihan melentur. Saling menasihati dalam kesabaran, ini latihan memantul.
Jadilah seperti pohon bambu. Lentur saat badai, tegak saat reda. Jadilah seperti pegas. Makin ditekan, makin kuat dorongan untuk bangkit.
Suatu saat nanti, ketika kita menoleh ke belakang, kita akan mensyukuri setiap tekanan yang membuat kita lentur. Setiap jatuh yang mengajarkan kita memantul.
Karena dari sanalah kita belajar menjadi manusia. Manusia yang utuh. Manusia yang siap menghadapi apa pun yang Allah takdirkan.
Ya Allah, ajarkan kami seni melentur tanpa kehilangan prinsip. Ajarkan kami cara memantul tanpa dendam pada takdir. Jadikan kami hamba yang kuat tapi tidak keras. Yang lembut tapi tidak lemah. Aamiin.