Bermula dari Gelisah yang Tidak Bisa Lagi Ditahan
Ada kalanya kita tidak bisa menjelaskan apa yang sedang kita rasakan, tetapi hati kita terus mengeluh dalam diam. Seperti itulah rasanya ketika rakyat melihat keadilan yang dipermainkan, hukum yang dijungkirbalikkan, dan kekuasaan yang menindas dengan wajah tersenyum. Maka lahirlah tagar #IndonesiaGelap dan #IndonesiaDarurat. Itu bukan sekadar keluhan digital. Itu adalah jeritan hati yang tidak tahu lagi harus mengadu ke mana.
Namun bagi seorang muslim, gelap bukan berarti tidak ada cahaya. Gelap bisa jadi karena kita memalingkan wajah dari cahaya itu sendiri. Kita lupa pada Al-Qur’an. Kita menjauh dari masjid. Kita tinggalkan rumah dalam keadaan kosong dari dzikir. Maka tak heran jika hidup kita terasa gelap, meski lampu-lampu terang benderang.
Allah ﷻ telah mengingatkan:
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124)
Kita Bukan Lemah, Kita Hanya Sedang Lupa
Indonesia tidak sedang kekurangan kekuatan. Kita hanya sedang lupa arah. Umat Islam di negeri ini jumlahnya besar. Masjid tersebar di mana-mana. Al-Qur’an dibaca setiap hari. Tapi mengapa kita belum bangkit?
Jawabannya sederhana. Kita sedang melupakan apa yang dulu membuat umat ini jaya. Kita sibuk memperindah tampilan, tapi lupa memperkuat jiwa. Kita semangat membangun masjid, tapi lalai menghidupkan fungsinya. Kita bangga dengan banyaknya hafizh, tapi sedikit yang menjadikan hafalannya sebagai panduan hidup.
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat baik generasi awalnya.”
Kita perlu kembali. Kembali kepada Islam yang hidup dalam keseharian, bukan hanya dalam simbol. Kembali kepada Al-Qur’an yang menjadi petunjuk, bukan hanya pajangan. Kembali ke masjid sebagai pusat peradaban.
Masjid: Titik Awal, Bukan Tempat Akhir
Dalam sejarah Islam, masjid adalah awal dari segalanya. Bukan tempat akhir untuk orang yang sudah renta. Nabi Muhammad ﷺ membangun Masjid Nabawi sebagai pusat segala aktivitas: ibadah, pendidikan, diplomasi, bahkan strategi militer. Di masjid, Rasulullah Muhammad ﷺ membangun peradaban. Di masjid pula lahir para pemimpin, mujahid, dan ulama.
Namun kini, banyak masjid menjadi tempat paling sunyi. Ramai saat Ramadhan, tapi sepi setelahnya. Penuh saat Jumat, tapi kosong sepanjang pekan. Apakah hanya itu fungsi masjid?
Padahal Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Maka jadikanlah masjid kembali ke fungsinya. Hidupkan shalat berjamaah. Adakan halaqah. Bangun komunitas ilmu. Jadikan masjid tempat orang-orang beriman menata hidup dan memperbaiki masyarakat.
Wali Songo Mengajarkan Kita untuk Bersabar dan Berstrategi
Islam datang ke Nusantara bukan dengan pedang. Bukan dengan kekuasaan. Tapi dengan cinta, keteladanan, dan ilmu. Para wali tidak membenturkan Islam dengan budaya, tetapi memasukkan nilai-nilai tauhid ke dalam budaya yang ada. Masjid dan pesantren menjadi pusat pembinaan umat. Dari sanalah tumbuh generasi muslim yang kuat imannya dan lembut akhlaknya.
Kita perlu meneladani mereka. Jangan buru-buru menyalahkan keadaan. Jangan tergesa-gesa menuntut perubahan. Bangunlah dari akar. Mulailah dari lingkungan terdekat. Hidupkan kembali fungsi masjid dan rumah sebagai pusat perubahan.
Mayoritas yang Tidak Merasa Bertanggung Jawab
Sering kali kita berbangga menyebut bahwa umat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Tapi adakah tanggung jawab yang kita pikul sebagai mayoritas? Apakah kita menjadi pelopor kebaikan di tengah masyarakat? Apakah kita menjadi penegak keadilan, pembela yang lemah, dan pelindung kebenaran?
Apakah kita menjadi umat yang marah ketika Al-Qur’an diinjak dan dibakar, tapi diam saja ketika Al-Qur’an tidak menjadi opsi dari gaya hidup kita? Sampai kapan level kita serendah itu?
Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Kita tidak bisa lagi hanya diam. Kita harus mulai bergerak. Setidaknya, mulai dari diri sendiri dan keluarga.
Islam Bukan Hanya Nama, Tapi Jalan Hidup
Menjadi muslim tidak cukup hanya dengan nama. Islam adalah jalan hidup. Islam mengatur cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak. Islam bukan hanya ibadah formal, tapi juga akhlak dalam keseharian. Islam bukan hanya tentang shalat dan puasa, tapi juga tentang jujur, amanah, dan tanggung jawab sosial.
Dalam banyak hal, kita telah menjauh dari substansi Islam. Kita menjadikan agama sebagai simbol, tapi lupa pada intinya. Kita bangga dengan penampilan islami, tapi masih berbohong dalam bisnis, curang dalam kerja, dan lalai dalam amanah.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Bukan yang paling keras bicara. Bukan yang paling banyak pengikut. Tapi yang paling bersih hatinya, paling lembut lisannya, dan paling taat pada Allah dalam sunyi dan ramai.
Bangkit Itu Dimulai, Bukan Ditunggu
Kita sering berharap ada tokoh besar yang muncul. Seseorang yang akan menyelamatkan negeri ini. Tapi sejarah Islam mengajarkan bahwa perubahan tidak dimulai dari tokoh besar, melainkan dari komunitas kecil yang istiqamah.
Rasulullah Muhammad ﷺ memulai dari keluarga. Kemudian dari sahabat-sahabat terdekat. Mereka membangun peradaban besar dalam waktu 23 tahun. Tanpa modal kekuasaan. Tapi dengan iman, ilmu, dan kesungguhan.
Maka kita pun bisa, insya Allah. Mulailah dari rumah. Bangun keluarga yang cinta Al-Qur’an. Ajak anak-anak ke masjid. Jadikan rumah sebagai tempat belajar dan berdiskusi. Jangan tunggu orang lain. Mulailah dari kita.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Seorang ayah yang istiqamah mengajak anaknya shalat berjamaah bisa melahirkan generasi pemimpin. Seorang ibu yang sabar membacakan kisah sahabat bisa membentuk jiwa yang teguh. Sebuah masjid yang rutin mengadakan kajian keislaman bisa menumbuhkan komunitas yang berpengaruh.
Maka jangan remehkan amal kecil. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bersihkan niat. Luruskan langkah. Dan mulailah sekarang juga.
Ciptakan Zaman Emas, Jangan menunggunya
Jangan tunggu zaman berubah. Jangan tunggu politik membaik. Jangan tunggu semua orang sadar. Kitalah yang harus membawa zaman emas itu kembali. Dengan ilmu. Dengan keteladanan. Dengan amal yang nyata.
Zaman keemasan Islam dahulu tidak lahir dari generasi yang banyak bicara. Tapi dari generasi yang mencintai ilmu, mengagumi amal, dan takut kepada Allah lebih dari segalanya.
Umar bin Abdul Aziz memulai reformasi besar dari istananya, tapi dasarnya adalah ilmu dan ketakwaan. Kita pun bisa memulai dari rumah dan masjid kita.
Harapan Selalu Ada, Jika Kita Dekat dengan Allah
Tidak peduli seberapa gelap dan darurat kondisi negeri ini, harapan akan selalu ada. Bukan karena kita kuat. Tapi karena kita punya Allah Yang Maha Kuat.
Bangkitlah dari masjid. Bangkitlah dari rumah. Bangkitlah dari air mata yang tumpah dalam sujud. Karena di sanalah kemenangan dimulai.
“Jika kalian menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad: 7)