by

Balada Karyawan dan Politik Kantor

Kawan, dalam dunia kerja, sehebat-hebatnya seorang karyawan, dia tetap punya atasan. Mau secerdas apa pun, pasti ada yang lebih tinggi, yang lebih berkuasa. Di situlah letak dilema: karyawan sering harus siap disalahkan meskipun dirinya benar. Dalam hiruk-pikuk kehidupan kantor, kebenaran sering kali tidak begitu penting, karena ada yang lebih kuat dari kebenaran itu sendiri—yaitu kuasa atasan. Realita ini, suka atau tidak, adalah sebuah permainan yang sudah ditentukan sejak lama.

Lalu ada ungkapan menarik yang pernah saya dengar, “Lebih baik jadi bos meski kecil daripada jadi karyawan tapi besar.” Ya, menjadi bos, meski usahanya kecil, menawarkan kebebasan yang tak bisa dirasakan saat bekerja kantoran. Ketika seseorang memilih menjadi bos, dia bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Pilihan ini memang tidak selalu mudah, tapi setidaknya menawarkan kendali atas hidup sendiri. Ini adalah pilihan bagi mereka yang tak ingin selamanya menjadi bawahan, yang tak mau selalu tunduk pada aturan yang bukan miliknya.

Tapi di kantor, politik itu memang nyata adanya, kawan. Banyak kepala, banyak ego, banyak kepentingan. Seperti pasar malam yang penuh riuh suara dan warna, ada yang datang dengan senyum, ada yang datang dengan amarah tersembunyi. Namun, semua itu tidak jadi masalah besar jika pemimpin kantor tegas dan adil. Rasulullah mengingatkan kita dalam sabdanya, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari). Pemimpin yang adil tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus bertindak. Dialah yang bisa meredam ego-ego itu menjadi satu harmoni.

Gesekan antara sesama rekan kerja, atau antara atasan dan bawahan, adalah hal yang lumrah. Ada ego yang bersinggungan, ada kepentingan yang berbenturan. Namun, kedewasaan memainkan peran penting di sini. Kedewasaan adalah ketika kita bisa berkata, “Maaf, saya salah,” dan punya kelapangan hati untuk berkata, “Saya memaafkanmu.” Allah dalam QS. Al-A’raf: 199, menyebutkan, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” Menjadi pemaaf, sabar, dan berlapang dada, itulah yang membuat suasana kantor tetap kondusif meskipun banyak perbedaan dan gesekan.

Di dalam setiap kantor, di antara kubikel-kubikel itu, ada drama yang tak henti-hentinya bermain. Ada tawa, ada tangis, ada ketidakadilan, ada kekecewaan. Tapi juga ada pelajaran, ada ruang untuk tumbuh, ada kesempatan untuk memahami bahwa di balik semua politik itu, kita belajar tentang hidup. Jadi, kawan, mari kita renungkan: apa yang sebenarnya kita cari di sana? Karena mungkin, dalam balada karyawan dan politik kantor, kita menemukan diri kita yang sebenarnya.

Write a Comment

Comment