Ketidakadilan di muka bumi adalah cerita lama yang terus berulang, dan Palestina, atau lebih tepatnya Baitul Maqdis, menjadi panggung yang tak henti-hentinya berdarah. Sejarah dunia mencatat dengan jelas, siapa yang merdeka dan siapa yang terjajah? Rakyat Palestina yang diwakili Mujahidin Hamas dan yang lain, meski dikepung dari segala penjuru, memiliki kebebasan yang jarang dimiliki oleh bangsa lain: kebebasan untuk melawan, untuk memperjuangkan hak yang telah dirampas. Mereka terjajah, tetapi jiwa mereka merdeka. Mereka bebas untuk berjuang, meski dengan segala keterbatasan.
Tapi bagaimana dengan negara-negara yang mengaku merdeka dan berdaulat? Mereka berdiri di atas ilusi kemerdekaan yang hanya tampak di permukaan, seolah kuat, tapi sebenarnya rapuh karena hanya mampu mengecam dari kejauhan. Tentara mereka tersimpan rapi di barak-barak militer, siap diaktifkan untuk menghadapi rakyat sendiri, namun enggan bergerak ketika ketidakadilan dihadapkan pada kemanusiaan yang zalim dan biadab.
Ironi kemanusiaan ini terasa begitu pedih ketika kita menyaksikan negara-negara yang menyebut diri mereka merdeka, hanya bisa melontarkan kata-kata kecaman yang hambar. Mereka terjebak dalam pernyataan-pernyataan kosong yang tak pernah berujung pada tindakan nyata. Seakan lupa bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal teritori, tetapi juga soal moralitas. Mereka merdeka dari penjajahan fisik, tapi terjajah oleh kepentingan ekonomi, politik, dan diplomatik yang menumpulkan keberanian untuk bertindak.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Sabda ini seharusnya menjadi pemicu bagi mereka yang mengaku merdeka, untuk tidak sekadar berbicara, tapi juga bertindak. Namun, ironisnya, banyak yang memilih untuk diam dan nyaman dalam kebebasan yang dangkal.
Al-Qur’an dalam QS. Al-Ma’idah: 32 juga mengingatkan kita, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” Ayat ini menyuarakan kebenaran yang sering kali kita abaikan: setiap nyawa yang diambil secara zalim adalah luka bagi seluruh umat manusia. Namun, di dunia yang katanya merdeka ini, kita hanya bisa mengecam, membiarkan luka itu terus menganga.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini mengingatkan kita bahwa perubahan harus dimulai dari dalam. Jika dunia benar-benar ingin mengakhiri penderitaan di Palestina, maka dunia harus berani mengubah sikapnya, dari sekadar mengecam menjadi bertindak nyata. Dunia harus keluar dari ilusi kemerdekaan yang memenjarakan keberanian dan membiarkan ketidakadilan terus melenggang.
Palestina adalah cermin bagi kita semua—cermin yang memantulkan sejauh mana kita telah terjebak dalam ilusi kemerdekaan. Bangsa yang terjajah, seperti Palestina, mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati terletak pada keberanian untuk melawan, bukan sekadar memiliki teritori. Sementara itu, bangsa-bangsa yang mengaku merdeka, jika terus terperangkap dalam ilusi ini, hanya akan menjadi saksi bisu dari tragedi kemanusiaan yang tak pernah usai.
Ironi ini akan terus hidup selama kita, sebagai umat manusia, membiarkan ilusi kemerdekaan ini menguasai pikiran kita. Jika kita ingin melihat dunia yang benar-benar adil, kita harus berani mematahkan rantai ketakutan dan kepentingan sempit yang mengikat kita. Hanya dengan begitu, kita bisa membuktikan bahwa kemerdekaan bukan sekadar ilusi, tetapi kenyataan yang diperjuangkan dengan tindakan nyata.