Dalam kehidupan modern, kita dihadapkan pada berbagai narasi yang seakan tak tergoyahkan. Passion adalah segalanya? Lihatlah argumen Cal Newport, dia akan berkata bahwa passion hanyalah mitos jika tidak didukung oleh keterampilan. Bisnis yang berkembang besar adalah segalanya? Paul Jarvis akan memberi tahu kita bahwa bisnis yang tetap kecil juga bisa memberikan kepuasan lebih besar. Bakat adalah takdir? Geoff Colvin menyanggahnya dengan menyatakan bahwa latihan intensif jauh lebih menentukan keberhasilan. Sempurna itu mustahil? Cobalah tonton Free Solo, dan lihat Alex Honnold menari dengan kematian di tebing vertikal tanpa tali.
Namun, di balik setiap klaim tersebut, selalu ada ruang untuk bertanya: benarkah ada kebenaran absolut dalam setiap pernyataan itu? Apa yang mereka katakan terdengar meyakinkan. Tapi dunia tak pernah sesederhana itu. Setiap tesis membawa bayang-bayang anti tesisnya sendiri. Dan di sanalah kita hidup. Di antara tesis dan anti tesis, antara kepastian dan keraguan.
Dunia Tak Pernah Hitam Putih
Manusia sering kali terpaku pada konsep-konsep yang absolut. Seolah-olah hanya ada satu jalan, satu kebenaran yang pasti. Namun, Islam mengajarkan bahwa dunia ini penuh dengan dualitas. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 49). Dalam hidup, tidak ada yang berdiri sendiri. Setiap hal selalu punya lawannya, setiap pemikiran selalu ada tantangannya.
Hidup kita penuh kontradiksi. Apa yang hari ini kita yakini sebagai kebenaran mutlak, besok mungkin terbukti hanya ilusi. Dalam Surat Al-Mulk ayat 2, Allah menyebutkan bahwa kehidupan ini adalah ujian: “Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kamu yang terbaik amalnya.” Dalam ujian ini, kita berhadapan dengan berbagai anti tesis. Setiap keyakinan yang kita genggam, akan ada sesuatu yang menantangnya.
Passion adalah segalanya? Lalu mengapa banyak orang sukses yang tidak pernah menemukan passion dalam pekerjaan mereka? Steve Jobs pernah mengatakan, “You can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards.” Passion mungkin datang belakangan, setelah kesuksesan tercapai, bukan sebaliknya.
Anti Tesis Passion: Bekerja dalam Diam
Ketika kita berbicara tentang passion, kita sering kali melupakan sisi lain: kebosanan. Kita lupa bahwa manusia tidak hidup dalam satu rasa saja. Passion hari ini bisa pudar esok hari. Dan ketika itu terjadi, kita mencari alasan untuk meninggalkan segalanya.
Banyak orang meyakini bahwa menemukan passion adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan. Namun, Cal Newport dalam So Good They Can’t Ignore You menantang pemahaman ini. Dia menyatakan bahwa ketekunan dalam mengembangkan keterampilan lebih penting daripada sekadar mengikuti hasrat.
Islam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya istiqamah, konsistensi dalam setiap amal. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik amalan adalah yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Passion bisa datang dan pergi, tetapi ketekunan yang tak tergoyahkan akan menghasilkan buah yang teramat manis.
Cal Newport, dengan tenang, mengajak kita melihat bahwa terkadang passion datang belakangan. Ia bukan sesuatu yang ditemukan di awal, tapi dibentuk dari usaha yang dilakukan terus-menerus. Mungkin passion itu lebih mirip shalat malam. Awalnya berat, tapi jika terus dikerjakan, ia jadi kebutuhan. Bukankah Rasulullah bersabda: “Lakukanlah amalan yang kamu mampu, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kamu sendiri bosan.” (HR. Al-Bukhari). Artinya, ketekunan dalam hal-hal kecil justru membentuk apa yang kita anggap sebagai “passion” di kemudian hari.
Pertumbuhan yang Diukur dengan Ketenangan
Narasi modern selalu menggiring kita untuk percaya bahwa pertumbuhan -khususnya dalam bisnis- harus selalu ke atas, selalu lebih besar. Namun, Paul Jarvis dalam Company of One menawarkan pandangan berbeda: bahwa terkadang mempertahankan bisnis kecil dengan nilai yang mendalam lebih baik daripada mengejar ekspansi besar-besaran yang menguras tenaga dan pikiran.
Dia mengingatkan kita, ada kebijaksanaan ketika memilih untuk “menjadi kecil”. Ketika kita membesar, kita kehilangan kendali, kehilangan diri. Bisnis yang besar kadang hanya menambah beban, bukan kebahagiaan.
Dalam Islam, pertumbuhan yang seimbang dan berkah lebih diutamakan daripada sekadar mengejar angka. Al-Qur’an memperingatkan: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak-anak.” (QS. Al-Hadid: 20). Pertumbuhan material tanpa keseimbangan ruhani adalah fatamorgana yang hanya membawa kita menjauh dari ketenangan.
Al-Qur’an juga memberi kita pelajaran: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46). Kita dituntun untuk melihat bahwa yang benar-benar berharga bukanlah pertumbuhan fisik, tapi pertumbuhan ruhani. Mengukur hidup dengan ukuran materi, hanyalah sebuah fatamorgana lain yang akan membawa kita jauh dari makna.
Menolak Dogma Bakat
Bakat sering kali dielu-elukan sebagai sesuatu yang luar biasa. Namun anti tesisnya: kerja keras dan ketekunan lebih penting. Kita sering kali terlalu cepat memuji orang berbakat, tapi tak pernah benar-benar melihat proses panjang mereka di belakang layar. Padahal apa yang kita sebut sebagai bakat sering kali tidak lebih dari kerja keras yang tak terlihat.
Dalam studi Geoff Colvin di buku Talent is Overrated, disebutkan bahwa “deliberate practice” adalah kunci untuk mencapai keunggulan dalam bidang apa pun. Dalam Islam, kita diajarkan tentang usaha terus-menerus. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ini menunjukkan bahwa keberhasilan adalah hasil dari usaha manusia, bukan semata-mata karena bakat bawaan.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata, “Jika engkau tidak mampu menanggung penatnya belajar, maka engkau akan menanggung perihnya kebodohan.” Bakat tanpa usaha adalah ilusi. Dalam dunia nyata, usaha mengalahkan bakat setiap harnyai. Maka, ketika kita memuja bakat, kita lupa bahwa usaha keras yang membawanya hingga ke puncak.
Kesempurnaan Itu Sebuah Proses
Kesempurnaan adalah ilusi yang sering kali membuat manusia terjebak dalam ketidakpuasan. Namun, manusia selalu tergerak untuk mendekati kesempurnaan. Alex Honnold di film dokumenter Free Solo menunjukkan bahwa meski kesempurnaan itu mustahil dicapai secara absolut, usaha manusia untuk mendekatinya adalah sebuah perjalanan yang penuh makna. Dia memanjat tebing tanpa pengaman, mencapai kesempurnaan fisik dan mental dalam menghadapi bahaya yang ekstrem. Dia memperlihatkan bahwa kesempurnaan adalah sesuatu yang bisa disentuh.
Dalam Islam, kesempurnaan tidak diukur dari hasil, tetapi dari niat dan usaha. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Thabrani). Kesempurnaan dalam pandangan Allah terletak pada ikhtiar yang tulus dan ikhlas, bukan pada hasil yang sempurna di mata manusia.
Dialektika Kehidupan: Tesis dan Anti Tesis
Hidup ini bukanlah tentang satu jalan yang mutlak. Setiap pernyataan memiliki lawannya, setiap pemikiran memiliki tantangannya. Kita hidup dalam dialektika antara tesis dan anti tesis. Di sanalah letak hikmah, karena dari sana kita belajar untuk merenung lebih dalam, menilai setiap gagasan dengan jernih, dan mencari keseimbangan yang hakiki.
Allah berfirman: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6). Setiap kesulitan membawa peluang, setiap tantangan membawa pelajaran. Inilah cara Allah mengajarkan kepada kita untuk selalu menemukan keseimbangan di tengah berbagai kontradiksi yang kita hadapi.