by

Alergi Kitab Suci Sendiri

Sering saya merasa begitu jauh dari sesuatu yang justru seharusnya sangat dekat dengan kita? Seperti angin yang berbisik di telinga tapi saya pura-pura tuli, seperti Al-Qur’an yang bersandar di rak tapi saya abaikan. Begitulah, saya merasakannya, alergi pada kitab suci sendiri. Bukan karena tak tahu, tetapi karena memilih untuk tidak mau tahu. Saya tahu ini salah, bahkan sangat salah, namun sering kali saya justru memilih jalan yang lebih mudah—melupakan, mengabaikan, menjauh.

Mungkin ini rasa bersalah, atau bahkan malu. Kitab yang memanggil, tetapi saya lebih memilih berpaling. Allah berkata dalam firman-Nya: “Dan sungguh, Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk diingat, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Tapi saya? Seperti memalingkan wajah dari cahaya matahari, saya lebih memilih gelap yang nyaman dalam alasan-alasan dangkal. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Tapi di mana posisi saya jika justru merasa enggan untuk membaca, merasa berat untuk menghafal, merasa canggung untuk merenung?

Saya mencela diri sendiri, bukan orang lain. Bagaimana bisa ada perasaan asing terhadap wahyu yang diturunkan untuk membimbing? Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, lihatlah sejauh mana engkau memposisikan Al-Qur’an dalam hidupmu.” Ah, di mana posisi saya? Di mana posisi anda?

Al-Qur’an ini bukan sekadar kitab. Ia adalah pesan dari Sang Pencipta, sebuah buku manual yang tak ternilai tentang bagaimana hidup dengan bermakna. Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan Al-Qur’an karena sesungguhnya segala sesuatu akan lenyap kecuali Al-Qur’an.” Ironisnya, saya mengabaikan sesuatu yang abadi, hanya untuk mengejar hal-hal yang sementara.

Namun, di ujung kegelapan, saya berharap ada setitik cahaya. Bahwa di sisa umur ini, saya bisa bertobat, menjadi sahabat bagi Al-Qur’an, belajar mencintai firman-Nya karena rindu pada pertemuan dengan-Nya. Seperti seorang pencinta yang menemukan surat cinta lama, saya ingin kembali, ingin menyesap setiap kata dengan makna baru, ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai teman setia, hingga di ujung perjalanan, saya tak lagi merasa asing di hadapan-Nya. Saya ingin bertobat, ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai sahabat sejati. Allah SWT berfirman: “Dan Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. An-Naml: 77). Mungkin masih ada waktu untuk kembali, untuk memulai dari ayat pertama, untuk merasa malu di hadapan Allah karena telah melupakan firman-Nya begitu lama.

Di sisa umur ini, saya berharap dapat memperbaiki diri, menjadi sahabat bagi Al-Qur’an. Bukan hanya dengan membacanya, tetapi dengan memahaminya, dengan hidup bersamanya, sehingga ketika kelak saya berpulang, saya tidak lagi merasa asing di hadapan-Nya. Mari kita semua berharap demikian. Sebab, pada akhirnya, yang kita miliki hanyalah janji Allah Tuhan Yang Maha Esa dan daya upaya untuk mendekat pada-Nya. Ini bukan sekadar ajakan, tapi seruan dari hati yang ingin pulang.

Write a Comment

Comment