Di tengah riuh rendah politik, ada yang selalu tampak seremonial, tapi begitu menohok; sebuah kitab suci, Al-Qur’an, diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Prosesi yang rutin, penuh wibawa, dan dibungkus janji yang menggetarkan. Tapi, di balik ritual itu, benarkah janji itu sungguh bermakna? Atau Al-Qur’an hanya sekadar alat sumpah yang dipakai ketika masih tersorot kamera wartawan, lalu dilupakan ketika kamera dimatikan?
Sumpah Itu Seharusnya Sakral, Bukan Sekadar Drama
Di zaman yang gegap gempita, sumpah dengan Al-Qur’an seolah jadi puncak dari drama politik. Layar tersingkap, seorang pejabat, sering kali presiden, berdiri dengan tatapan yang serius. Di atas kepala atau di tangannya, Al-Qur’an. Lalu, kalimat-kalimat yang berbunyi sakral mengalir, menyuarakan janji kepada rakyat, kepada negeri.
Tapi, benarkah sumpah ini jujur? Umar bin Al-Khattab, sang khalifah yang tegas dan adil, menangis saat beliau ditunjuk menjadi pemimpin. Bukan tangis bahagia. Bukan tangis kemenangan. Tangis itu adalah beban, rasa takut akan janji yang harus beliau pikul. Umar paham bahwa janji, apalagi dengan nama Allah, bukan sekadar hutang di dunia. Itu hutang di akhirat, hutang yang jauh lebih berat dari segala kekuasaan duniawi.
Sumpah dalam Islam bukan sembarangan. “Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya,” (QS. Al-Isra: 34). Janji itu bukan kalimat biasa. Setiap kata terikat oleh dunia dan akhirat, oleh waktu yang tidak berujung. Tapi, sayangnya, di zaman sekarang, janji sering diucapkan dengan ringan, seolah tanpa konsekuensi. Al-Qur’an menjadi saksi, tapi apa yang terjadi setelahnya?
Al-Qur’an di Atas Kepala: Sekadar Panggung atau Tanda Tunduk?
Beberapa bulan lalu, kita menyaksikan prosesi pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia. Seperti yang sudah-sudah, Al-Qur’an diangkat tinggi di atas kepala, seolah menandakan kesakralan janji. Di depan jutaan mata, sumpah diucapkan dengan khidmat. Tapi, apakah Al-Qur’an itu benar-benar hadir dalam hati? Apakah janji yang diucapkan akan dijaga, ataukah ia hanya alat untuk menciptakan wibawa sesaat?
Kita juga pernah menyaksikan hal yang sama saat Jokowi dilantik. Berbagai janji keluar dari lisannya: menurunkan kemiskinan, mengurangi pengangguran, mendorong pertumbuhan ekonomi, bahkan pembuatan mobil Esemka. Tapi, apa yang kita lihat setelahnya? Kemiskinan masih merajalela, pengangguran tetap tinggi, dan mimpi-mimpi itu lenyap dalam keramaian politik. Janji-janji itu tenggelam seperti riak kecil di lautan kekuasaan.
Sumpah dengan Al-Qur’an seolah jadi panggung, sebuah pertunjukan yang membuat kita terkesima. Tapi, Al-Qur’an tidak dipegang, tidak dijadikan pedoman setelah itu. Al-Qur’an hanya dipinjam untuk sesaat, untuk melegitimasi kekuasaan. Padahal, jika benar janji itu ditepati, jika Al-Qur’an itu benar-benar dijadikan rujukan, kita tidak akan melihat negeri ini terpuruk dalam jurang korupsi, kemiskinan, dan kebejatan akhlak.
Janji Politik: Drama yang Menyisakan Luka
Apa yang lebih memilukan daripada melihat janji yang dikhianati? Janji yang diucapkan di hadapan Al-Qur’an, namun dilanggar dengan begitu mudahnya. Allah dalam Al-Qur’an berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3).
Ayat ini berbicara jelas. Allah tidak hanya membenci kebohongan, tapi juga janji-janji yang tidak dipenuhi. Ketika pemimpin kita mengucapkan janji dengan Al-Qur’an, kita berharap janji itu menjadi janji yang sungguh-sungguh. Tapi, kenyataannya, banyak dari janji itu hanya menjadi drama, menjadi sandiwara yang akhirnya menyisakan luka bagi rakyat yang mempercayainya.
Saat sumpah diucapkan, rakyat menaruh harapan. Mereka percaya bahwa Al-Qur’an yang diangkat tinggi akan membawa keadilan. Tapi, apa yang terjadi? Janji diucapkan, tetapi korupsi tetap merajalela, pengangguran tetap tinggi, dan akhlak generasi muda makin semrawut. Janji yang diucapkan seolah hanyut dalam kekuasaan yang rakus, dalam politik yang tidak pernah benar-benar berpihak pada keadilan.
Antara Janji dan Realisasi: Jurang yang Semakin Menganga
Janji politik, seperti sungai yang mengalir deras di awal, tapi kemudian surut di tengah perjalanan. Kita sering kali dibuat terkesima oleh sumpah yang diucapkan di hadapan Al-Qur’an, tapi kemudian kecewa ketika melihat tindakannya. Di mana Al-Qur’an dalam kebijakan yang mereka buat? Apakah janji hanya diucapkan untuk kepentingan sesaat, lalu dilupakan ketika kekuasaan sudah di tangan?
Rasulullah bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berkata, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tiga tanda itu sudah begitu jelas. Dan ironisnya, banyak dari pemimpin kita yang jatuh dalam ketiga tanda tersebut. Janji diucapkan di depan rakyat, tapi dikhianati dengan begitu mudahnya.
Jurang antara janji dan realisasi semakin menganga. Seolah sumpah dengan Al-Qur’an hanya menjadi formalitas. Setelah kekuasaan di tangan, Al-Qur’an disimpan kembali di rak, tidak lagi menjadi pedoman. Jika janji dengan Al-Qur’an dilanggar, apakah para pemimpin ini tidak takut akan Hari Pembalasan di akhirat?
Al-Qur’an: Bukan Sekadar Simbol, Tapi Pedoman
Al-Qur’an bukan sekadar simbol, bukan hanya kitab yang diangkat saat sumpah jabatan. Ia adalah pedoman hidup. Jika Al-Qur’an benar-benar diterapkan dalam kehidupan bernegara, Indonesia akan menjadi negeri yang jauh berbeda. Tidak akan ada kemiskinan, karena zakat akan dikelola dengan adil. Tidak akan ada korupsi, karena para pemimpin sadar bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Tidak akan ada pornografi-pornoaksi, karena generasi muda terkontrol dengan pendidikan islami.
Seorang ulama pernah berkata, “Keadilan adalah pilar kekuasaan.” Tapi, keadilan itu hanya akan terwujud jika pemimpin benar-benar menjalankan janji mereka. Al-Qur’an bukan hanya alat sumpah; tapi panduan yang harus diikuti, dipatuhi, dan dijadikan landasan dalam setiap keputusan.
Pemimpin: Antara Dunia dan Akhirat
Ketika seorang pemimpin bersumpah dengan Al-Qur’an, dia memikul tanggung jawab yang besar. Bukan hanya di hadapan rakyat, tapi juga di hadapan Allah. Mereka akan dihisab atas setiap janji yang mereka ucapkan. Al-Qur’an adalah saksi, dan saksi ini tidak akan diam di hadapan Allah kelak.
Ahli hikmah pernah berkata, “Keadilan adalah wujud tertinggi dari cinta.” Cinta kepada rakyat, cinta kepada kebenaran, dan cinta kepada keadilan. Tapi, bagaimana keadilan bisa terwujud jika janji hanya diucapkan di hadapan rakyat, tanpa pernah benar-benar merasuk dalam hati?
Mengembalikan Makna Al-Qur’an dalam Sumpah
Sudah saatnya kita mengembalikan Al-Qur’an ke tempat yang sebenarnya dalam kehidupan bernegara. Al-Qur’an bukan hanya instrumen penyumpah. Ia adalah pedoman yang harus dipegang teguh oleh setiap pemimpin. Para pemimpin harus memahami bahwa sumpah di atas Al-Qur’an adalah janji yang tidak boleh dilanggar. Rakyat harus menuntut agar Al-Qur’an bukan hanya diangkat di atas kepala saat sumpah, tapi juga dijadikan landasan dalam setiap kebijakan.
Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang digunakan dalam upacara. Al-Qur’an adalah cahaya yang harus menerangi setiap langkah pemimpin dalam menunaikan amanah. Semoga Allah memberikan kita pemimpin yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, yang menjalankan sumpahnya dengan penuh keikhlasan, dan yang takut kepada Allah dalam setiap keputusannya.