Ada sebuah momen yang begitu sederhana, namun sarat makna—momen ketika saya memutuskan untuk mematikan smartphone. Dalam keheningan yang tiba-tiba hadir, saya menemukan kehidupan yang sebenarnya. Aneh memang, bagaimana sebuah perangkat kecil bisa begitu menguasai kita, hingga ketika ia dimatikan, terasa ada beban yang terangkat, pikiran yang selama ini terbelenggu tiba-tiba terbebas, dan produktivitas yang lama tertunda mendadak bersemi.
Smartphone, benda yang kita anggap sebagai sumber kebebasan informasi, ternyata bisa menjadi penjara pikiran yang tak kasat mata. Ketika layar itu padam, dunia menjadi lebih nyata. Saya merasa lebih hidup, lebih hadir dalam setiap momen yang biasanya terlewat begitu saja karena sibuk mengurusi notifikasi yang tak ada habisnya. Aneh memang, bagaimana kebisingan digital selama ini menutup akses kita pada kedamaian batin yang sejati.
Dalam keheningan tanpa smartphone, saya merasakan ketenangan yang begitu langka di era ini. Waktu yang tadinya terasa begitu sempit, mendadak meluas, memberi ruang bagi pikiran untuk merenung, serta kesempatan bagi hati untuk merasakan. Entah bagaimana, produktivitas saya meningkat. Pekerjaan yang tertunda lama, satu per satu mulai terselesaikan tanpa gangguan. Pikiran yang tadinya penuh dengan hal-hal tak penting, kini terfokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna. Saya merasa lebih ringan, lebih bebas, seolah-olah sebuah beban besar telah terangkat dari bahu saya.
Rasulullah SAW bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi). Mematikan smartphone adalah cara saya meninggalkan hal-hal yang tak berguna—hal-hal yang selama ini hanya membebani pikiran tanpa memberi manfaat nyata. Dalam ketiadaan notifikasi, saya menemukan ruang untuk berkarya, untuk merenung, dan untuk menemukan kembali apa yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Dalam QS. Al-Mu’minun: 3, Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” Ayat ini seakan menjadi petunjuk, bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan, dalam menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak membawa manfaat. Ketika smartphone dimatikan, saya merasakan bagaimana rasanya kembali kepada fitrah manusia—hidup tanpa beban pikiran yang berasal dari kebisingan dunia maya.
Dalam diam, saya menemukan diri saya sendiri. Dalam kesunyian tanpa gangguan, saya merasakan bagaimana pentingnya mengembalikan kontrol atas hidup kita dari teknologi yang seharusnya melayani kita, bukan menguasai kita. Ini bukan soal menolak teknologi, tetapi soal menempatkan teknologi pada tempatnya—sebagai alat, bukan tuan.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, “Waktu adalah kehidupan, dan kehidupan adalah modal. Jika tidak digunakan untuk kebaikan, akan terbuang sia-sia.” Mematikan smartphone adalah cara saya mengembalikan modal kehidupan itu, menggunakannya untuk hal-hal yang benar-benar bermakna. Esai ini adalah sebuah perjalanan menuju kesederhanaan, sebuah renungan tentang bagaimana kita bisa menemukan hidup yang lebih bermakna dengan memutuskan hubungan sementara dari dunia digital. Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tentang seberapa banyak kita terhubung dengan dunia luar, tetapi tentang seberapa dalam kita terhubung dengan diri kita sendiri dan dengan Allah Sang Pencipta.