Perempuan dengan Luka dan Harapan
Aku menemukannya, perempuan yang sama patahnya denganku. Tubuh yang ringkih, jiwa yang bergetar, dan mata yang menyimpan rahasia yang terlalu kelam untuk diungkapkan. Kami adalah dua jiwa yang runtuh, tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kami selain patahan demi patahan yang tercecer di sepanjang jalan. Dan, di persimpangan yang absurd itu, kami bertemu. Bukan untuk saling menyembuhkan, tetapi untuk saling menemani, berbagi luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Pernikahan, seharusnya adalah perihal kebahagiaan, namun kami mengikat diri dengan simpul yang tidak sederhana. Aku menyebutnya Pandora. Dia adalah kunci. Namun, aku tahu, bahkan dengan seluruh kekuatan yang dia punya, kotak ini masih terkunci. Dia tidak memaksaku membuka, hanya memberiku dua kotak baru. Utsman, si anak yang penuh tawa, dan satu lagi, Fatimah, si putri yang masih mungil.
Kehadirannya Mengusir Iblis yang Bercokol dalam Diri
Dia adalah tabib tanpa ramuan. Kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat semua iblis dalam diriku tercerai-berai. Mereka memang tidak pernah pergi, tetapi setiap kali dia dekat, mereka menyusut, meredup, melemah. Kadang, mereka kembali, mencoba mencabik-cabik ketenangan yang dia tanamkan dengan susah payah. Namun, perempuan ini, dia tetap ada, mengusir setiap bayangan hitam yang menghantui.
Dalam hidup yang penuh kegelapan ini, dia menjadi satu-satunya lentera. Rasulullah ﷺ pernah berkata, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya.” Aku tidak tahu apakah aku sudah menjadi yang terbaik, tetapi aku tahu satu hal: keberadaannya adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku.
Kecemburuan yang Berakar dalam Kegilaan
Aku seringkali tertawa sendiri. Pikiranku berkelana, membayangkan hal-hal yang mengoyak realita. Membayangkan jika dia pergi. Jika dia menyerah, atau lebih buruk lagi, berpaling. Di dunia ini, kecemburuan adalah bentuk cinta yang paling purba, yang berakar sangat dalam pada ketakutan. Jika dia menghilang, mungkin aku akan meruntuhkan dunia ini. Sebab dia bukan hanya istri, bukan hanya kekasih. Dia adalah rahasia yang kusembunyikan dalam dada.
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 1,
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Kami adalah dua keping dari satu jiwa yang dipecah dan disatukan kembali dalam ketidaksempurnaan. Bukan untuk selalu bersama, tetapi untuk saling melengkapi.
Aku, Pecinta yang Paling Berantakan
Maafkan aku, sayang. Aku tahu aku bukan kekasih terbaik. Barangkali, aku ini kekasih terburuk yang pernah kau temui. Setiap inci dari diriku dipenuhi kekurangan, kelemahan, dan kepicikan yang kadang mengoyak batinmu. Tapi kau tetap memilihku. Kau melihat sesuatu dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak pernah mengerti. Ada kehangatan dalam setiap tatapmu, yang membuatku merasa bahwa aku pantas untuk terus berjuang.
Ada kebahagiaan yang tak sederhana dalam perasaan terpilih ini. “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18). Engkau adalah salah satu nikmat itu, nikmat yang tak terukur.
Membingkai Janji di Antara Langit dan Bumi
Perjalanan ini masih panjang, cinta. Kita mungkin tidak akan mencapai semua mimpi yang pernah kita bicarakan. Mungkin aku tidak akan mampu membangun istana di langit untukmu, mungkin kita tak akan pernah benar-benar terbang ke bulan. Tetapi aku berjanji akan selalu bersamamu, menjagamu, melindungimu dalam setiap hela napas yang kumiliki.
Karena cinta ini bukan tentang mengejar kesempurnaan. Ia adalah keberanian untuk bertahan dalam ketidaksempurnaan, merangkai makna dalam setiap retakan. Terima kasih, istriku, karena telah memilihku, untuk kesetiaan yang tak pernah habis, untuk cinta yang tak pernah usang.