Surga Tanpa Ayah?
Rumah, semestinya, adalah surga. Baiti jannati. Begitu Nabi Muhammad mengajarkan. Sebuah tempat di mana lelah dunia luruh di depan pintunya. Di dalamnya ada sakinah, ada tawa renyah anak-anak, ada kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun. Di pusat surga kecil itu, ada pilar-pilar yang menopangnya. Ibu sebagai madrasah pertama, dan ayah sebagai kepala sekolahnya.
Tapi hari ini, banyak surga yang terasa lowong. Dingin. Kepala sekolahnya ada, tapi ruang kerjanya kosong.
Dia pulang. Tentu saja dia pulang. Dia meletakkan tas kerjanya di atas meja. Dia melonggarkan dasi yang mencekik lehernya seharian. Mungkin dia bertanya, “Sudah makan?” atau “PR sudah selesai?” Pertanyaan-pertanyaan mekanis, seperti mesin yang menjalankan protokol standar. Setelah itu, dunianya pindah. Ke layar televisi. Ke layar ponsel. Ke seruputan kopi panas di beranda belakang.
Jasadnya ada di sana. Duduk di sofa yang sama, menghirup udara yang sama. Tapi jiwanya tertinggal di kantor, di jalanan, di warung kopi tempat dia bercerita hebat dengan teman-temannya.
Inilah krisis besar itu. Krisis yang kita sebut fatherless. Bukan hanya tentang anak-anak yang ayahnya benar-benar pergi karena takdir atau pilihan. Ini tentang jutaan anak yang tumbuh bersama ayah, tapi merasa yatim dalam bimbingan dan teladan. Esai ini bukan tuduhan. Anggap saja ini sebuah otokritik. Sebuah upaya kita, para lelaki, untuk bercermin dengan jujur.
Potret Kekosongan di Dalam Rumah
Ada dua wajah ketiadaan.
Wajah pertama jelas. Ayah yang memang tidak ada. Meninggal dunia, berpisah, atau sengaja meninggalkan. Lukanya nyata, bisa diraba. Semua orang bisa melihatnya. Doa dan simpati mengalir untuk anak-anak ini.
Tapi ada wajah kedua yang lebih samar, lebih sunyi. Ayah yang hadir tapi tiada. Dia yang menyediakan atap di atas kepala, tapi tidak menyediakan langit untuk tempat anaknya bermimpi. Dia yang memberi uang jajan, tapi tidak pernah memberi waktu untuk mendengarkan cerita tentang jajan itu dipakai untuk apa. Suaranya terdengar di rumah, tapi hanya dalam bentuk perintah atau gerutuan.
Kehadirannya tidak membawa ketenangan. Kadang justru menciptakan ketegangan. Anak-anak belajar berjalan jinjit di sekitarnya, takut mengusik lelahnya, takut mengganggu dunianya.
Dan di tengah keheningan itu, jiwa anak-anak menjerit tanpa suara.
Seorang anak laki-laki butuh kompas. Dia butuh melihat bagaimana seorang lelaki seharusnya bersikap. Bagaimana cara menghormati ibu, bagaimana cara menjadi pemimpin yang lembut namun tegas, bagaimana cara memperbaiki genteng bocor atau sekadar memasang bohlam. Ketika ayahnya hanya bayangan di sofa, dia mencari kompas itu di tempat lain. Di layar gadget, di teman sepermainan, di tokoh-tokoh fiksi. Dia meraba-raba maskulinitas dalam gelap.
Seorang anak perempuan butuh standar. Dia perlu tahu bagaimana rasanya dilindungi oleh cinta pertama yang tulus dan tanpa syarat. Cinta seorang ayah adalah benteng yang membuatnya merasa berharga. Dari ayahnya, dia belajar tentang seperti apa lelaki baik yang kelak pantas mendampinginya. Jika benteng itu tidak pernah dibangun, jika singgasana pahlawan itu kosong, dia akan mencari pengakuan di luar sana. Dengan standar yang mungkin rapuh dan berbahaya.
Alasan-Alasan yang Melenakan
Lalu, di mana para ayah ini? Mengapa mereka hilang?
Tanya saja, dan jawaban-jawaban itu akan meluncur deras, terdengar begitu logis, bahkan mulia.
“Aku bekerja keras siang dan malam. Untuk siapa? Untuk kalian juga.”
Benar. Mencari nafkah adalah jihad. Setiap tetes keringat seorang ayah yang jatuh demi keluarganya bernilai ibadah di hadapan Allah. Tidak ada yang menyangkal itu. Niatnya suci, tujuannya luhur.
Tapi, otokritik ini bertanya: kapan niat suci itu menjadi selimut yang terlalu tebal hingga kita lupa ada amanah lain di baliknya? Kapan dalih mencari nafkah materiil menjadi pembenaran untuk meninggalkan nafkah batin? Anak tidak hanya butuh makan dan sekolah. Mereka butuh dididik, butuh didengar, butuh dipeluk. Rezeki itu amanah, tapi jiwa anak-anak adalah amanah yang akan ditanya paling pertama.
Ada alasan lain. Yang ini lebih berkilau.
“Aku sedang membangun bisnis. Membesarkan organisasi. Memberi manfaat untuk umat.”
Lagi-lagi, sebuah niat yang hebat. Menjadi lelaki berpengaruh, dihormati di masyarakat, menjadi ketua panitia acara besar, menjadi penceramah yang ditunggu-tunggu, menjadi profesional yang namanya jadi jaminan mutu. Semua itu tampak agung.
Tapi mari kita menunduk sejenak dan bertanya pada diri sendiri. Apa artinya menjadi pahlawan bagi seribu orang di luar sana, jika kita menjadi orang asing bagi tiga atau empat orang di dalam rumah kita sendiri? Kepemimpinan seorang lelaki muslim, kata Allah, diuji pertama kali dari perannya sebagai qawwam, pelindung dan pemimpin, bagi keluarganya. Apa gunanya membangun istana megah di mata publik, jika benteng pertahanan di dalam rumah sendiri keropos dan nyaris rubuh?
Bercermin pada Cermin Terbesar
Jika alasan-alasan kita terasa begitu kuat, mari kita letakkan di hadapan cermin yang paling jernih: teladan para nabi.
Lihatlah Nabi Dawud ‘alaihissalam. Coba kita bayangkan sejenak kesibukannya. Dia bukan sekadar kepala keluarga. Dia adalah seorang Raja yang memimpin sebuah kerajaan besar. Dia adalah seorang Panglima Perang yang menyusun strategi. Dia adalah seorang Hakim Agung yang keputusannya ditunggu rakyat. Dan di atas semua itu, dia adalah seorang Nabi, yang hatinya senantiasa terhubung dengan langit untuk menerima wahyu. Tanggung jawabnya membentang dari urusan negara hingga urusan umat.
Jika ada orang yang paling pantas berkata “Aku sibuk,” dialah orangnya.
Tapi apa yang diabadikan Al-Qur’an? Di tengah semua amanah raksasa itu, Allah merekam dialognya dengan sang putra, Nabi Sulaiman. Dia mendidik, memberi nasihat, menyiapkan generasi penerus. Dia tidak hanya mewariskan tahta, dia mewariskan hikmah. Dia hadir sepenuhnya sebagai seorang ayah.
Sekarang, mari kita letakkan kesibukan kita di samping kesibukan Nabi Dawud. Pekerjaan kita, proyek kita, organisasi kita.
Jika amanah memimpin kerajaan dan umat saja tidak cukup menjadi alasan bagi Nabi Daud untuk lalai dari peran sebagai ayah…
Lalu, apa alasan kita?
Jika cermin itu masih kurang besar, mari kita tengok pemimpin para nabi, Muhammad ﷺ. Manusia paling agung, yang di pundaknya ada beban risalah untuk seluruh alam semesta. Tapi sejarah mencatat, punggungnya adalah tempat bermain favorit cucu-cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain, bahkan ketika dia sedang sujud dalam shalat. Dia berhenti di tengah jalan untuk mendengarkan curahan hati seorang budak perempuan. Dia adalah orang yang paling lembut dan paling hangat bagi keluarganya. Spiritualitas tertinggi tidak membuatnya menjadi kaku dan jauh, justru melembutkan hatinya hingga seluas samudra.
Jalan Pulang Seorang Ayah
Jadi, otokritik ini sampai pada kesimpulannya. Fenomena fatherless seringkali bukan karena ayah tidak punya waktu. Ini tentang ayah yang tidak menyediakan waktu. Ini bukan tentang lelahnya fisik. Ini tentang prioritas yang tergeser. Alasan-alasan kita, yang terdengar gagah di telinga kita sendiri, ternyata begitu rapuh saat disandingkan dengan teladan sejati.
“Pulang” bagi seorang ayah, ternyata bukan hanya soal menembus macet dan tiba di rumah sebelum malam.
Pulang adalah membawa serta hati kita saat melintasi ambang pintu. Meletakkan sejenak beban dunia bersama sepatu di rak. Mengganti topeng wibawa di kantor dengan wajah ramah seorang ayah. Pulang adalah mematikan notifikasi hape untuk menyalakan percakapan di meja makan.
Warisan terhebat seorang ayah bukanlah rumah mewah yang dia bangun atau jabatan mentereng yang dia tinggalkan. Warisan sejatinya adalah jejak teladan yang terukir di benak anak laki-lakinya, dan standar kelembutan yang terpatri di hati anak perempuannya.
Itulah jalan pulang yang sesungguhnya. Semoga Allah meringankan setiap langkah kita, para ayah, untuk menempuh jalan itu.