by

Setelah Membaca Buku Teach Like Finland

Sebuah Refleksi Pendidik Muslim tentang Kelas yang Manusiawi dan Penuh Berkah

Saya membuka buku itu. Judulnya Teach Like Finland. Ditulis oleh Timothy D. Walker. Rasanya seperti didorong masuk ke sebuah ruangan yang asing, namun entah kenapa terasa begitu akrab. Buku itu seolah menatap saya, seorang guru, lalu berkata dengan suara pelan: berhenti. Berhenti sejenak. Tarik nafas. Pikirkan lagi, apa sebenarnya mengajar itu?

Ini bukan buku panduan. Ini bukan kumpulan resep teknis untuk menaklukkan kelas. Sama sekali bukan. Ini adalah sebuah perjalanan. Sebuah undangan ke dunia pendidikan yang lebih hangat, lebih punya denyut nadi, lebih manusiawi. Walker tidak menggurui. Dia hanya bercerita tentang sekolah-sekolah di Finlandia. Sekolah-sekolah yang katanya terbaik di dunia itu. Ternyata, kehebatan mereka dibangun di atas prinsip yang begitu sederhana, begitu mendasar.

Membaca setiap lembarnya terasa seperti menikmati sebuah sajak. Lembut, tapi menohok tepat di ulu hati. Sajak yang mengingatkan kita semua, para pendidik yang sering kali lupa, bahwa pendidikan bukan soal angka-angka di rapor. Pendidikan adalah tentang kehangatan tatapan mata antara guru dan murid. Tentang menghargai setiap jeda di antara deru pelajaran. Tentang bagaimana sekolah bisa menjadi sumber kebahagiaan, bukan ladang pembantaian semangat.

Prinsip-prinsip sederhana itu, anehnya, beresonansi dengan sesuatu yang sudah lama saya kenal. Sesuatu yang diajarkan dalam kitab suci saya. Buku Walker seperti cermin. Dia memantulkan wajah pendidikan Finlandia, tapi yang saya lihat adalah nilai-nilai Islam yang mungkin sudah lama saya abaikan.

Keseimbangan Ritme Belajar: Menghargai Waktu Istirahat sebagai Sunnatullah

Kelas kita adalah pacuan kuda. Murid-murid dipaksa berlari. Guru-guru adalah joki yang memegang pecut kurikulum. Kita semua berlomba dengan jam, mengejar target, menyelesaikan materi sebelum bel akhir berbunyi. Waktu adalah musuh. Murid yang lelah adalah murid yang lemah. Tidak ada ruang untuk bernafas.

Lalu Walker datang dan bercerita. Di Finlandia, murid diberi waktu istirahat yang berlimpah. Lima belas menit untuk setiap empat puluh lima menit belajar. Mereka berhenti. Mereka keluar kelas. Mereka bermain, berlarian, atau sekadar menatap langit. Mereka menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru mereka dengan udara segar, bukan dengan kecemasan.

Betapa sebuah gagasan yang indah sekaligus radikal. Di tengah dunia yang menuntut kecepatan, mereka justru menghargai jeda.

Lalu saya teringat firman-Nya. Allah berfirman, “Dan Dia menjadikan siang untuk mencari penghidupan dan malam sebagai waktu untuk beristirahat” (QS. Al-Furqan: 47). Ayat itu tiba-tiba terasa begitu relevan, begitu nyata. Istirahat bukanlah kemalasan. Istirahat adalah ritme alam, sebuah sunnatullah yang Allah ciptakan. Siang dan malam. Bekerja dan berdiam. Belajar dan berhenti sejenak. Itu adalah sebuah siklus suci.

Kita telah merusaknya. Kita mengubah sekolah menjadi pabrik yang beroperasi tanpa henti, memeras setiap tetes energi dari anak-anak kita. Walker, melalui ceritanya tentang Finlandia, seolah mengingatkan saya untuk kembali kepada fitrah. Menghargai istirahat bukan sebagai waktu yang terbuang, tetapi sebagai momen penting untuk meresapi ilmu, untuk membiarkan otak mengendap, sama seperti Allah memberi kita malam untuk membiarkan tubuh beristirahat.

Membangun Hubungan: Ukhuwah antara Guru dan Murid sebagai Inti Pendidikan

Siapa murid-murid saya? Saya merenung. Saya tahu nama mereka. Saya tahu nilai ulangan mereka. Saya tahu siapa yang sering terlambat dan siapa yang paling cepat mengangkat tangan. Tapi, apakah saya benar-benar mengenal mereka?

Apakah saya tahu apa yang membuat mereka tertawa? Apa yang membuat mata mereka berbinar? Apa ketakutan terbesar yang mereka sembunyikan di balik senyum tipis mereka? Mungkin tidak. Bagi saya, dan mungkin bagi banyak guru lain, mereka hanyalah barisan nama di daftar hadir. Kumpulan angka di buku nilai.

Walker berbicara tentang sesuatu yang lain. Di Finlandia, guru bukan mesin penyampai materi. Dia adalah pendamping. Dia adalah kawan dalam perjalanan belajar. Hubungan antara guru dan murid begitu dekat, begitu tulus. Guru tidak hanya mengajar matematika, dia mengajar manusia.

Lalu sebuah sabda Rasulullah Muhammad seolah menampar saya. “Tidaklah seseorang mencintai saudaranya sehingga dia mencintainya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari).

Bagaimana mungkin saya bisa mencintai mereka, jika saya bahkan tidak mengenal mereka? Hadis ini bukan hanya tentang hubungan antar teman. Ini tentang kemanusiaan. Mengajar, pada intinya, adalah wujud cinta. Sebuah upaya untuk memberikan yang terbaik dari diri kita kepada orang lain. Dan cinta menuntut pengenalan. Cinta menuntut kita untuk melihat mereka sebagai individu yang utuh, sebagai amanah dari Allah, bukan sekadar objek yang harus diisi dengan pengetahuan. Buku Walker memaksa saya bertanya: sudahkah saya membangun jembatan hati, atau hanya jembatan informasi?

Kesejahteraan Guru: Menjaga Amanah Diri untuk Memberi yang Terbaik

Ada sebuah klise yang menyakitkan: guru yang bahagia melahirkan murid yang bahagia. Klise, tapi benar. Lalu pertanyaannya menjadi lebih tajam: apakah kita, para guru, sudah bahagia?

Saya melihat sekeliling. Rekan-rekan saya tenggelam dalam tumpukan kertas administrasi yang tidak pernah habis. RPP, silabus, laporan, evaluasi. Energi kami terkuras di meja kerja, jauh sebelum kami melangkah masuk ke kelas. Kami lelah. Kami tertekan.

Di Finlandia, kata Walker, profesi guru dijaga kehormatannya. Mereka diberi otonomi. Mereka diberi waktu. Keseimbangan antara tugas dan kehidupan pribadi mereka dijaga dengan baik. Negara percaya pada mereka. Masyarakat menghormati mereka. Guru yang sejahtera secara mental dan spiritual adalah aset terbesar negara.

Ini bukan kemewahan. Ini adalah kebutuhan. Allah berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al-Qasas: 77).

Ayat ini adalah pengingat yang kuat. Menjaga kewarasan, menjaga kesehatan mental, mengambil hak kita untuk beristirahat dan berbahagia, itu bukan tindakan egois. Itu adalah bagian dari menunaikan amanah. Diri kita adalah amanah. Bagaimana mungkin sebuah cangkir yang kosong bisa menuangkan air untuk orang lain? Bagaimana mungkin seorang guru yang jiwanya kering bisa menyirami taman pengetahuan di benak murid-muridnya?

Pembelajaran Bermakna: Mengaitkan Ilmu dengan Realitas Kehidupan

Pelajaran di kelas seringkali terasa mengambang. Rumus fisika yang entah untuk apa. Tanggal-tanggal sejarah yang terasa seperti dongeng dari negeri antah berantah. Nama-nama latin tumbuhan yang asing di telinga. Semuanya adalah data-data mati yang terlepas dari denyut nadi kehidupan murid sehari-hari.

Walker menunjukkan sebuah jalan yang berbeda. Di Finlandia, setiap pelajaran diupayakan untuk berlabuh di dunia nyata. Belajar biologi adalah pergi ke hutan. Belajar ekonomi adalah membuat proyek bisnis kecil-kecilan. Ilmu tidak lagi menjadi sesuatu yang dihafal, tetapi sesuatu yang dialami.

Ini membuat saya berpikir tentang konsep “ar-rasikhuna fil-‘ilm” atau “orang-orang yang mendalam ilmunya” yang disebut dalam Al-Quran (QS. Ali-Imran: 7). Ilmu yang sejati bukanlah ilmu yang dangkal dan mengawang-awang. Ilmu yang sejati adalah ilmu yang relevan, yang mengakar kuat dalam realitas, yang bisa diterapkan untuk memecahkan masalah nyata. Pendidikan seharusnya membuat murid merasa lebih dekat dengan dunia mereka, bukan menjauhkan mereka darinya. Dengan mengaitkan pelajaran pada kehidupan, kita tidak hanya membuat ilmu lebih mudah dipahami, kita juga menunjukkan kebesaran Sang Pencipta dalam setiap detail ciptaan-Nya.

Kekuatan Kesederhanaan dan Panggilan untuk Perubahan

Buku ini tidak mengajarkan kejaiban. Dia hanya membisikkan sebuah kebenaran purba: dalam kesederhanaan, ada kekuatan. Perubahan besar tidak selalu membutuhkan revolusi yang rumit. Perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal kecil.

Memberi waktu istirahat yang cukup. Menjalin hubungan yang erat dengan murid. Menjaga kesehatan mental guru. Membuat pelajaran lebih relevan. Sesederhana itu. Namun sekuat itu pula dampaknya.

Dalam Islam, kami diajarkan untuk selalu berada di tengah, untuk menjaga keseimbangan. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (ummatan wasathan)” (QS. Al-Baqarah: 143). Pendidikan juga harus menjadi wasathan. Seimbang antara ilmu dan akhlak. Seimbang antara mengejar karir dan mencari kebahagiaan. Seimbang antara urusan dunia dan persiapan untuk akhirat.

Saya tidak tahu apakah saya bisa mengubah sistem. Mungkin tidak. Tapi setelah menutup buku Teach Like Finland, saya tahu satu hal. Saya bisa memulai dari ruang kelas saya. Saya bisa memulai dengan memberikan lima menit tambahan bagi murid untuk sekadar bercerita. Saya bisa memulai dengan bertanya, “Apa kabarmu hari ini?” dan benar-benar menunggu jawabannya. Saya bisa memulai dari sana. Menciptakan sebuah oase kecil yang manusiawi di tengah padang pasir pendidikan yang terkadang terasa begitu gersang.

Write a Comment

Comment