by

Menagih Janji Pembukaan UUD 1945

Amanah Konstitusi dan Panggilan Akidah untuk Membela Palestina

Buka lagi kitab itu. Kitab yang dijahit dengan benang merah perjuangan dan ditulis dengan tinta darah para pahlawan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Di paragraf pertamanya, ada sumpah yang terukir di sana. Bukan sekadar kalimat pembuka. Bukan basa-basi politik. Itu adalah sebuah janji. Sebuah ikrar suci.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kalimat itu seharusnya menggetarkan tulang sumsum kita setiap kali kita membacanya. Seharusnya membuat darah kita mendidih. Karena itu adalah DNA bangsa ini. Amanah yang diletakkan di pundak kita semua oleh para kakek-nenek bangsa yang merebut kemerdekaan ini dengan nyawa.

Tapi sekarang, lihat ke sana. Lihat ke arah kiblat pertama umat Islam. Ke Baitul Maqdis. Ke Gaza. Ke tanah para nabi yang kini bersimbah darah. Janji itu seperti menggantung di udara, ditertawakan oleh deru tank dan ledakan bom.

Penjajahan masih ada. Sangat nyata. Dan kita, bangsa yang berjanji akan menghapuskannya, lebih banyak diam. Ini bukan lagi soal politik luar negeri yang rumit. Ini soal harga diri. Soal menepati sumpah. Soal pengingkaran terhadap konstitusi sekaligus pengabaian terhadap panggilan akidah kita sebagai seorang muslim.

Konstitusi dan Akidah, Dua Sisi Koin yang Sama

Orang mungkin berpikir, urusan Palestina adalah urusan bangsa Arab. Urusan politik. Bukan urusan kita. Orang itu keliru besar. Atau pura-pura keliru.

Pembukaan UUD 1945 itu bicara soal “perikemanusiaan dan perikeadilan”. Mari kita bedah dua kata keramat itu dengan pisau syariat kita.

Perikemanusiaan. Dalam Islam, ini adalah tentang menjaga jiwa (Hifdzun Nafs). Menjaga nyawa manusia adalah salah satu tujuan tertinggi syariat. Di Palestina, nyawa manusia menjadi murah. Anak-anak kecil hancur di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri. Perempuan dilecehkan. Orang tua kelaparan karena blokade keji. Di mana perikemanusiaan saat seorang ayah harus mengumpulkan potongan tubuh anaknya di dalam kantong plastik? Diam melihat itu semua berarti kita membiarkan nilai kemanusiaan kita sendiri membusuk.

Lalu perikeadilan. Al-Quran, dalam Surat Al-Ma’idah ayat 8, memerintahkan kita untuk menjadi penegak keadilan karena Allah. Berlaku adillah, bahkan kepada kaum yang engkau benci. Zionis yahudi israel telah melakukan kezaliman paling puncak: merampas tanah, mengusir penduduk, dan membantai mereka yang melawan. Itu adalah ketidakadilan dalam bentuknya yang paling telanjang. Konstitusi kita menyuruh kita menentangnya. Akidah kita mewajibkan kita melawannya.

Jadi, di mana letak pertentangannya? Tidak ada.

Bagi kita, Palestina bukan sekadar titik di peta. Dia adalah bagian dari akidah. Di sanalah Masjidil Aqsa berdiri, tempat Nabi Muhammad singgah dalam perjalanan Isra’ Mi’raj sebelum naik ke Sidratul Muntaha. Tanah itu diberkahi. Setiap jengkalnya adalah saksi sejarah para nabi. Luka Palestina adalah luka di jantung setiap muslim. Jadi, membela Palestina adalah membela kehormatan iman kita sendiri.

Panggung Kezaliman dan Ironi Kita

Setiap hari, layar gadget kita menyajikan pemandangan neraka dari Gaza. Darah anak-anak yang belum sempat mengenal dunia. Jerit ibu-ibu yang kehilangan segalanya. Rumah-rumah yang tinggal puing, seperti nisan raksasa bagi keluarga yang terkubur di dalamnya.

Ini adalah penjajahan. Jangan pakai istilah lain. Bukan konflik, bukan sengketa tanah. Ini penjajahan brutal yang dilakukan oleh entitas zionis yahudi israel yang merasa punya hak untuk merampas dan membunuh.

Dan di sinilah ironi terbesar itu muncul. Kita. Bangsa Indonesia.

Kita ini bangsa yang pernah merasakan sepatu lars tentara asing di tengkuk kita selama ratusan tahun. Kita tahu persis bagaimana rasanya menjadi budak di tanah sendiri. Kita tahu bau mesiu, rasa lapar, dan perihnya kehilangan orang yang dicintai karena kekejaman penjajah. Sejarah kita adalah sejarah perlawanan terhadap penindasan.

Lalu kenapa sekarang kita seperti gagap? Kenapa sikap kita sering kali hanya sebatas formalitas diplomatik? Mengutuk di media, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Apakah kita sudah lupa rasa sakitnya dijajah? Apakah kemerdekaan yang nyaman ini telah membuat ingatan kita tumpul?

Melihat penderitaan Palestina dan tidak merasakan getaran perlawanan yang sama seperti yang dirasakan para pejuang kemerdekaan kita dulu adalah sebuah pengkhianatan sejarah. Kita menjadi bangsa yang amnesia.

Cukup Beretorika, Saatnya Bertindak

Janji di Pembukaan UUD 1945 tidak berbunyi “penjajahan harus dikutuk”. Dia berbunyi “penjajahan harus dihapuskan”. Dihapuskan! Itu kata kerja aktif. Menuntut tindakan, bukan sekadar opini.

Kutukan dan keprihatinan itu murah. Siapapun bisa melakukannya. Tapi kita bukan siapapun. Kita adalah Indonesia, yang konstitusinya mengandung amanah anti penjajahan. Politik luar negeri kita yang “bebas aktif” harus berarti aktif membela yang tertindas, bukan aktif mencari posisi aman.

Jadi apa yang harus kita lakukan?

Pemerintah harus berhenti bermain aman. Pimpin gerakan global di PBB, di OKI. Jangan hanya mengusulkan resolusi yang akan diveto. Galang kekuatan negara-negara di bagian selatan untuk menjatuhkan sanksi nyata kepada Israel. Boikot produknya. Putuskan hubungan dengan negara mana pun yang mendanai mesin perang mereka. Ini bukan soal keberpihakan buta, ini soal keberpihakan pada kemanusiaan dan keadilan yang kita janjikan.

Kita, sebagai rakyat, juga punya kekuatan.

Jangan biarkan mimbar-mimbar Jumat sepi dari nama Palestina. Ajarkan anak-anak kita tentang kebiadaban penjajahan dan pentingnya membela Masjidil Aqsa. Gemakan doa. Langit masih mendengar, dan doa adalah senjata orang beriman. Qunut Nazilah harus menjadi tradisi di setiap masjid saat saudara kita dibantai.

Harta kita juga bisa menjadi senjata. Hentikan membeli produk dari perusahaan yang terang-terangan mendukung Zionisme. Arahkan zakat, infak, dan sedekah kita melalui lembaga terpercaya yang bisa menyalurkannya menjadi makanan, obat-obatan, dan harapan bagi rakyat Gaza. Setiap rupiah yang kita belokkan dari kantong penjajah adalah sebuah perlawanan kecil.

Amanah atau Khianat? Pilih satu!

Pada akhirnya, ini adalah sebuah pilihan. Sebuah muhasabah besar bagi sebuah bangsa.

Menagih janji Pembukaan UUD 1945 bukanlah tindakan memberontak. Justru ini adalah tindakan paling patriotik dan paling agamis yang bisa kita lakukan. Kita sedang mengingatkan diri kita sendiri, dan para pemimpin kita, akan sumpah yang mengikat kita semua. Sumpah untuk berdiri bersama mereka yang merindukan kemerdekaan.

Pembelaan terhadap Palestina adalah titik di mana kewajiban kita sebagai warga negara bertemu dengan panggilan jiwa kita sebagai seorang muslim. Konstitusi memberi kita mandat. Akidah memberi kita kewajiban. Keduanya menunjuk ke arah yang sama: lawan kezaliman, bela Palestina.

Kita sedang diadili oleh sejarah. Diadili oleh arwah para pendiri bangsa yang menulis janji itu. Dan yang terpenting, kita akan diadili di hadapan Allah. Apakah kita akan menjadi generasi yang menunaikan amanah itu, atau generasi yang namanya tercatat sebagai pengkhianat?

Pilihannya ada di tangan kita. Dan diam, dalam hal ini, adalah bentuk pengkhianatan yang paling pengecut. Baunya busuk, sampai ke langit ketujuh.

Write a Comment

Comment