by

Hilangnya Kalimat Takbir dalam Pekik Kemerdekaan

Pekik yang Kehilangan Jiwanya

Agustus datang lagi, dan bersama dia datang pula riuh rendah perayaan. Di seluruh negeri, dari istana yang megah hingga gang-gang yang lusuh, satu kata diteriakkan serempak: Merdeka! Kata itu, seperti mantra, seharusnya mampu menggetarkan jiwa, membangkitkan memori kolektif tentang darah dan pengorbanan.

Tapi dengarkan lebih seksama. Di balik kebisingan pengeras suara dan tawa perlombaan, ada sebuah keheningan yang aneh. Pekik kemerdekaan kita hari ini terasa seperti tubuh yang gagah namun tanpa ruh. Sebuah ritual yang telah kehilangan mantranya.

Dulu, pekik “Merdeka” tidak pernah berdiri sendiri. Dia memiliki pembuka, sebuah kode sumber spiritual yang memberinya daya ledak kosmik. Allahu Akbar! Kalimat itu bukan sekadar tempelan atau pemanis. Dia adalah jantung yang memompa darah ke seluruh arteri perjuangan. Dia adalah pengakuan fundamental bahwa kemerdekaan bukanlah hasil tawar-menawar politik, melainkan anugerah dari Zat yang Kebesaran-Nya melampaui segala penjajahan.

Kini, jantung itu nyaris tidak berdetak. Kita terjebak dalam amnesia sejarah, merayakan buah tanpa pernah lagi menengok akarnya. Hilangnya takbir dari pekik kemerdekaan adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: kita mulai memandang kemerdekaan sebagai properti duniawi, sebuah trofi yang kita poles setiap tahun, namun lupa bahwa dia adalah amanah suci dari langit.

Menelusuri Jejak Takbir dalam Sejarah Perjuangan

Untuk memahami apa yang hilang, kita harus melakukan sebuah analisis arkeologi jiwa. Kita harus berani menggali kembali fondasi spiritual bangsa ini, yang terkubur di bawah lapisan tebal perayaan seremonial.

Di medan perang yang sesungguhnya, takbir bukanlah teriakan kemarahan. Dia adalah instrumen penyerahan diri. Saat seorang pejuang meneriakkan “Allahu Akbar”, dia sedang mendeklarasikan dua hal secara bersamaan. Pertama, bahwa musuh di hadapannya, dengan segala tank dan senapannya, menjadi kecil dan tidak berarti. Kedua, bahwa dirinya sendiri, dengan segala ego dan rasa takutnya, juga menjadi kecil dan fana. Yang tersisa hanyalah Kebesaran Allah dan perjuangan atas nama-Nya.

Takbir adalah mekanisme ilahiah untuk melampaui rasa takut akan kematian. Takbir mengubah perjuangan merebut tanah menjadi ibadah membebaskan jiwa. Inilah yang tertulis, bukan hanya dalam kitab suci, tapi juga dalam konstitusi kita. Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah pengakuan iman sebuah negara: “…atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” Para pendiri bangsa tidak sedang berbasa-basi. Mereka sedang menuliskan kesaksian teologis bahwa kemerdekaan ini adalah intervensi ilahi. Takbir di medan perang adalah ratifikasi lisan atas pasal sakral itu.

Panglima Besar Jenderal Soedirman: Spiritualitas di Tengah Perang Gerilya

Jika ingin melihat bagaimana teologi itu menjelma menjadi aksi, lihatlah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Beliau adalah paradoks yang berjalan. Jasadnya adalah simbol kerapuhan manusia; ringkih, sakit-sakitan, bergantung pada sebuah tandu. Namun jiwanya adalah benteng ketauhidan yang tidak tertembus.

Logika perang modern akan menertawakan strateginya. Tapi Soedirman tidak berperang dengan logika modern, beliau berperang dengan keyakinan purba. Baginya, hutan lebat bukanlah tempat persembunyian, melainkan sajadah raksasa untuk bermunajat. Dan takbir adalah dzikir konstannya. Itu bukan sekadar komando untuk membangkitkan semangat pasukan. Itu adalah napas spiritualnya sendiri, yang membuat paru-parunya yang rusak tetap mampu menghirup udara perjuangan.

Ucapan beliau, “Perjuangan kita adalah suci karena Allah selalu bersama orang yang benar,” adalah inti dari teologi perangnya. Kata “suci” adalah kuncinya. Perang ini, baginya, bukanlah sekadar urusan politik antara Jakarta dan Den Haag. Ini adalah urusan antara hamba dan Tuhannya. Kemenangan atau syahid, keduanya adalah kesuksesan. Inilah kekuatan yang membuat seorang jenderal yang sakit-sakitan lebih ditakuti daripada satu divisi tentara yang sehat.

Bung Tomo: Gema Takbir yang Membakar Surabaya

Dari keheningan hutan gerilya, kita terbang ke neraka urban di Surabaya. November 1945, kota itu adalah kawah api. Di satu sisi, tentara Sekutu yang pongah dengan segala mesin perangnya. Di sisi lain, arek-arek Suroboyo dengan tulang, daging, dan iman.

Di tengah kekacauan itu, satu suara membelah udara dari corong radio. Suara Bung Tomo. Beliau tidak menawarkan strategi jitu atau bantuan logistik. Beliau melakukan sesuatu yang jauh lebih fundamental: dia menyuntikkan bahan bakar takbir langsung ke jantung rakyat.

Perhatikan struktur pidatonya. Dia membangun narasi tentang harga diri, tentang pilihan antara merdeka atau mati. Lalu, tepat di klimaksnya, sebelum pekik pamungkas itu, beliau menggemakan kalimat yang menjadi sumber segala kekuatan. “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Tiga kali! Seolah takbir pertama adalah untuk menghancurkan rasa takut dalam diri. Takbir kedua untuk menyatukan hati ribuan pejuang yang mendengarkan. Dan takbir ketiga adalah permohonan agar langit menurunkan pertolongannya. Baru setelah fondasi spiritual itu dipancangkan dengan kokoh, dia meneriakkan: “MERDEKA!!!”

Kesaksiannya bertahun-tahun kemudian adalah bukti paling telak: “Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.” Bung Tomo, sang orator ulung, mengakui bahwa kata-katanya sendiri tidak punya daya tanpa energi ilahiah dari kalimat takbir.

Mengapa Takbir Kini Meredup?

Lalu, mengapa api itu kini hampir padam? Mengapa bahan bakar revolusi itu kini dianggap usang? Mungkin karena kita telah menjadi bangsa yang terlalu nyaman, yang mengubah memori perjuangan menjadi karnaval tahunan. Lomba makan kerupuk dan panjat pinang memang menyenangkan, tapi itu adalah pengkerdilan dari sebuah pengorbanan suci.

Ada juga sebuah alergi spiritual yang aneh. Di era ini, ekspresi keimanan di ruang publik sering kali dicurigai. Ada fobia terhadap segala hal yang dianggap berbau “fanatisme”. Meneriakkan takbir bisa membuatmu dicap sebagai kaum ekstremis oleh mereka yang tidak memahami sejarahnya sendiri. Ketakutan akan stigma sosial ini membuat kita memilih diam, memilih jalur “aman” tapi sekuler, dan tanpa sadar memotong kabel yang menghubungkan kita dengan sumber kekuatan historis kita.

Dampaknya bukan lagi pendangkalan makna, melainkan pemutusan total. Kita menjadi seperti lampu yang indah namun terputus dari sumber listriknya. Kemerdekaan dimaknai sebatas kebebasan berpendapat atau berbisnis, lupa bahwa esensi kemerdekaan adalah kebebasan untuk bersujud hanya kepada satu Tuhan, yakni Allah.

Mengembalikan Takbir ke dalam Pekik Kemerdekaan

Mengajak untuk mengingat kembali ruh takbir bukanlah seruan untuk menjadikan negara ini eksklusif atau teokratis. Justru sebaliknya. Ini adalah panggilan untuk menjadi jujur pada sejarah kita. Ini adalah upaya restorasi sebuah mahakarya yang warnanya mulai pudar.

Takbir, dalam konteks kebangsaan, adalah sebuah pernyataan eksistensial sebelum menjadi pernyataan politis. Dia adalah pengingat bahwa di atas segala kekuasaan manusia, ada Kekuasaan Mutlak yang mengatur takdir bangsa-bangsa. Kesadaran ini justru menumbuhkan kerendahan hati, bukan kesombongan kelompok.

Pekik “Merdeka” adalah teriakan raga bangsa yang berhasil melepaskan belenggu fisik. Pekik “Allahu Akbar” adalah seruan jiwa bangsa yang mengakui sumber kebebasannya. Raga tanpa jiwa adalah mayat. Jiwa tanpa raga adalah hantu. Keduanya harus menyatu untuk menciptakan kehidupan yang utuh.

Merdeka dengan Takbir, Merdeka karena Anugerah-Nya

Pada akhirnya, ini adalah tentang pilihan bagaimana kita ingin mengingat. Apakah kita ingin mengingat perjuangan ini sebagai sebuah kisah heroik manusia semata, atau sebagai sebuah drama semesta di mana campur tangan langit begitu nyata?

Soedirman dan Bung Tomo telah memberikan jawabannya. Mereka tidak berjuang agar kita bisa merayakan kemerdekaan dengan cara yang dangkal. Mereka mempertaruhkan nyawa agar kita menjadi bangsa yang merdeka lahir dan batin. Merdeka dari penjajah, dan merdeka dalam pengabdian kepada Sang Pencipta.

Maka, saat pekik “Merdeka!” itu kembali menggema, biarkan sebuah pekik lain bergetar di relung hati kita. Sebuah pekik pengakuan, syukur, dan penyerahan diri. “Allahu Akbar!” Karena kita tidak merdeka karena kehebatan kita, tapi karena Allah Yang Maha Hebat berkenan menganugerahkannya. Dulu, sekarang, dan selamanya.

Write a Comment

Comment