by

2045: Indonesia Emas, Cemas, atau Lemas?

Kita bicara tentang mimpi. Sebuah visi besar tentang Indonesia yang konon bakal jadi “emas” di usia 100 tahun kemerdekaannya.

Tapi apa itu “emas”? Apa yang dimaksud itu “cemas”? Atau malah membuat kita semakin “lemas”?

Seperti menenun kabut, kita membicarakan visi ini dalam terminologi gemerlap, tapi apa kita benar-benar paham? Mimpi itu bukan sekadar emas, bukan pula sekadar wacana. Mimpi itu soal nurani, soal iman, soal akhlak.

Sebagai seorang ayah dan seorang guru, saya melihat generasi yang akan menempati visi ini bukan sebagai angka atau statistik. Mereka adalah anak-anak dengan mimpi-mimpinya sendiri. Mereka adalah harapan, sekaligus cermin dari segala harapan dan ketakutan kita. Empat pilar menuju Indonesia Emas; SDM berkualitas, ekonomi berkelanjutan, pemerintahan bersih, lingkungan lestari, seharusnya bukan hanya kata-kata di atas kertas. Kita bicara tentang kehidupan yang benar-benar hidup, bukan sekadar hidup yang dipamerkan.

Sumber Daya Manusia yang Berkualitas

Ah, manusia berkualitas. Apa kita bicara angka? Atau kita bicara hati? Pendidikan hari ini terjebak pada kuantitas, pada ranking, pada angka di atas kertas. Tapi Al-Quran mengingatkan, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Bukan orang yang paling pintar, bukan yang paling kaya. Takwa itu soal hati. Kita membangun generasi yang terhormat bukan dari otak mereka saja, tapi dari hati mereka.

Membangun manusia berkualitas adalah amanah besar. Bukan hanya tentang mengejar angka atau mencatatkan prestasi di kertas. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya,” (HR. Ahmad). Ini tentang bagaimana kehadiran seorang manusia bisa membawa cahaya bagi lingkungannya, tentang bagaimana pengetahuannya memperkaya jiwa orang lain, bukan hanya mengangkat dirinya sendiri.

Sebagai guru, saya melihat bagaimana sistem ini terus mendorong anak-anak untuk mengejar nilai, tanpa pernah benar-benar tahu makna dari apa yang mereka pelajari. Mereka belajar untuk ujian, bukan untuk kehidupan. Mereka didorong untuk bersaing, bukan untuk memahami. Dan begitulah cara kita meruntuhkan masa depan, diam-diam, sedikit demi sedikit.

Anak-anak kita perlu lebih dari sekadar ilmu. Mereka perlu jiwa yang mengerti makna kehidupan, yang mengerti bahwa menjadi manusia itu lebih penting daripada sekadar menjadi sukses. “Bangunlah jiwanya,” kata lagu kebangsaan kita. Tanpa jiwa yang dibangun, kita hanya menghasilkan manusia-manusia yang kosong.

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan

Ekonomi adalah topeng, atau mungkin wayang yang kita mainkan di panggung besar. Kita bicara tentang pertumbuhan, tapi apakah itu benar-benar berarti? Lihat sekitar, perhatikan kesenjangan yang makin menganga. Orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin. Dan kita bilang ini kemajuan?

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 219, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan).’” Ini bukan soal akumulasi kekayaan, tapi tentang berbagi. Ekonomi berkelanjutan bukan hanya soal tumbuh, tapi juga soal berbagi, soal adil.

Ekonomi yang adil adalah ekonomi yang membuat setiap orang merasa menjadi bagian dari sebuah bangsa. Ekonomi yang berkelanjutan adalah ekonomi yang rendah hati, yang tahu batas, yang tidak serakah. Anak-anak kita perlu diajarkan untuk memahami ekonomi dari sisi manusia, bukan hanya angka. Mereka perlu tahu bahwa kekayaan itu hanya berarti jika dibagi.

Indonesia 2045 hanya akan layak disebut “emas” jika setiap rakyatnya merasa dihargai, diberi ruang untuk tumbuh, dan merasakan adilnya sebuah bangsa. Ekonomi yang berkelanjutan adalah ekonomi yang berpihak pada seluruh rakyat, yang peduli pada lingkungan, yang tidak merampas lebih dari yang diberikan. Inilah jalan keberkahan yang seharusnya kita tuju.

Pemerintahan yang Kuat dan Bersih

Apa yang lebih menyakitkan daripada dikhianati oleh mereka yang memimpin? Pemerintahan yang kuat dan bersih bukan sekadar janji di panggung kampanye. Ia harus berakar pada kejujuran, pada amanah. Nabi Muhammad bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad).

Sebagai seorang guru, saya tahu bahwa kepercayaan adalah segalanya. Murid-murid percaya pada saya, bukan karena saya tahu segalanya, tapi karena saya mencoba jujur. Pemerintah yang dipercaya bukan pemerintah yang sempurna, tapi yang jujur. Pemerintah yang berani mengakui salah, yang berani bertanggung jawab.

Dan pemerintahan itu, kelak, adalah anak-anak kita yang sekarang duduk di bangku sekolah. Kita harus ajarkan mereka bahwa menjadi pemimpin bukan soal kekuasaan, tapi soal melayani. Bukan soal memerintah, tapi soal memikul amanah. Jika kita gagal menanamkan ini, maka bersiaplah untuk menyaksikan masa depan yang penuh kecemasan.

Pemerintahan yang bersih adalah nyala harapan yang nyata bagi rakyat. Ini bukan sekadar utopia, ini adalah keniscayaan yang bisa dicapai jika setiap insan yang memimpin berdiri di atas dasar iman dan akhlak mulia. Tahun 2045 hanya akan menjadi era kejayaan jika mereka yang memimpin memegang teguh amanah dan melayani rakyat dengan sepenuh hati.

Keberlanjutan Lingkungan

Lingkungan adalah saksi bisu dari semua ambisi manusia. Hutan-hutan ditebang, sungai-sungai tercemar, gunung-gunung dikeruk. Kita mengejar pembangunan, tapi apa kita benar-benar tahu apa yang kita bangun? Al-Quran berkata, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Bumi ini adalah amanah, bukan sekadar objek eksploitasi.

Sebagai seorang ayah, saya khawatir dengan apa yang akan diwarisi oleh anak-anak kita. Apa yang tersisa untuk mereka? Udara yang tercemar? Air yang tidak lagi bersih? Pembangunan yang tidak berkelanjutan adalah penghancuran yang tersembunyi. Kita hanya menghancurkan masa depan mereka tanpa pernah sadar.

Anak-anak perlu diajarkan bahwa alam adalah bagian dari diri mereka. Bahwa pohon yang ditebang tanpa henti akan menjadi udara yang makin kotor, bahwa sampah yang dibuang sembarangan akan kembali mencemari. Mereka perlu tahu bahwa mencintai alam adalah bagian dari mencintai diri mereka sendiri.

Refleksi Final: Indonesia Emas, Cemas, atau Lemas?

Dan di sini kita berada, di tengah impian dan kenyataan. Tahun 2045, Indonesia akan berusia 100 tahun. Pertanyaannya tetap sama: apakah kita akan menjadi negara emas, atau kita hanya akan memandangi impian itu dari jauh?

Sebagai seorang ayah dan guru, sudah sepatutnya saya berharap.

Saya berharap bahwa anak-anak kita tidak hanya akan tumbuh cerdas, tapi juga berakhlak. Saya berharap mereka tahu bahwa menjadi manusia lebih penting daripada sekadar menjadi sukses. Bahwa menjadi adil lebih penting daripada sekadar kaya. Bahwa menjadi jujur lebih penting daripada sekadar memimpin.

Saya berharap anak-anak kita mewarisi bangsa yang lebih baik dari apa yang kita miliki sekarang. Saya ingin melihat mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dalam iman, teguh dalam kebenaran, lembut dalam perbuatan. Empat pilar ini; sumber daya manusia, ekonomi, pemerintahan, dan lingkungan, harus kita letakkan di atas pondasi iman, akhlak, dan cinta.

Inilah mimpi kita, doa kita. Dan inilah jalan yang harus kita bangun, tidak hanya dengan ambisi, tetapi dengan hati yang jernih, pikiran yang tulus, dan langkah yang penuh keberanian.

Write a Comment

Comment