by

Falsafah Tukang Parkir dan Pelancong

Menemukan Ketenangan dan Ketegaran dalam Perjalanan Hidup

Lihatlah dia. Lelaki dengan rompi oranye pudar di depan lobi hotel yang menyilaukan. Ferrari merah berhenti, mesinnya menggeram pelan. Si lelaki sigap membuka pintu. Kunci berpindah tangan. Dia memarkir mobil seharga miliaran itu tanpa getar di hati. Nanti malam, atau besok pagi, pemiliknya akan kembali. Mobil itu akan pergi. Dia tahu itu. Dia tidak pernah berpikir mobil itu miliknya.

Sekarang lihat yang lain. Seorang pengembara dengan ransel usang, duduk di warung pinggir jalan sebuah kota yang asing. Dia makan dengan lahap, memandang lalu-lalang. Kota ini indah, mungkin. Tapi dia tidak akan membangun rumah di sini. Dia hanya singgah. Mengisi perut, menghela napas, lalu melanjutkan perjalanan. Kampung halamannya menunggu.

Dua orang ini, tukang parkir dan pelancong, adalah kita. Atau setidaknya, bagaimana seharusnya kita memandang hidup. Di dalam gerak-gerik mereka yang sederhana, tersimpan falsafah paling dalam untuk menavigasi dunia yang bising ini. Falsafah yang jika kita pegang erat, akan melahirkan ketenangan baja dan ketegaran batu karang.

Falsafah Tukang Parkir: Semua Hanya Titipan

Tukang parkir itu jenius. Bukan karena dia bisa memarkir mundur sebuah Lamborghini tanpa sensor, tapi karena dia paham hakikat kepemilikan. Baginya, semua mobil itu sama: barang titipan. Tugasnya hanya menjaga. Bukan memiliki. Dia tidak merasa hebat saat memegang kunci Rolls-Royce, dan tidak merasa kehilangan saat mobil itu melesat pergi.

Begitulah seharusnya kita melihat dunia.

Rumah yang kau cicil dua puluh tahun. Jabatan yang kau rebut dengan sikut-sikutan. Anak-anak yang kau banggakan di media sosial. Pasangan yang kau sebut belahan jiwa. Semuanya bukan milikmu. Itu semua adalah mobil mewah yang diparkirkan Allah di garasi hidupmu. Titipan. Amanah.

Allah sudah bilang, dengan sangat jelas, tanpa basa-basi.

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 284)

Titik. Tidak ada ruang untuk debat. Maka ketika kita diberi harta dan keluarga, itu bukan hadiah untuk dimiliki, melainkan ujian untuk dikelola. Sebuah fitnah, kata Al-Qur’an. Sebuah cobaan. Apakah kita akan menjadi tukang parkir yang amanah, atau justru pencuri yang congkak?

Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat terkaya, pernah menangis tersedu-sedu di depan hidangan berbuka puasa. Kenapa? Beliau takut. Takut semua kemewahan yang beliau “miliki” ini adalah kenikmatan yang disegerakan di dunia, hingga tidak ada sisa untuknya di akhirat. Beliau paham. Beliau adalah tukang parkir yang sadar betul setiap mobil yang beliau jaga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Pemilik Sejati.

Falsafah Pelancong: Dunia Cuma Persinggahan

Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan. Pelancong sejati paham ini. Dia menikmati pemandangan, tapi hatinya tidak tertambat. Dia tahu, di ujung jalan ada rumah untuk pulang. Dunia ini adalah kota persinggahan itu. Indah, mungkin. Memesona, bisa jadi. Tapi fana.

Rasulullah Muhammad ﷺ memegang pundak Abdullah bin Umar dan berpesan, sebuah wasiat yang seharusnya terpatri di setiap sanubari.

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara (musafir).” (HR. Al-Bukhari)

Menjadi orang asing. Menjadi musafir. Artinya, jangan terlalu nyaman. Jangan membangun istana di tempat transit. Jangan menumpuk barang bawaan yang hanya akan merepotkan perjalanan pulang. Bawa bekal secukupnya. Bekal takwa.

Dunia ini panggung sandiwara, kata orang bijak. Al-Qur’an lebih tegas lagi. Al-Qur’an membandingkannya langsung dengan kampung halaman kita yang sesungguhnya.

“Tetapi kamu memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17)

Akhirat lebih baik. Akhirat lebih kekal. Sebuah penegasan yang seharusnya cukup untuk membuat kita berkemas. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Dunia akan pergi meninggalkan, dan akhirat akan datang menjelang. Maka, jadilah kalian pengikut akhirat dan janganlah menjadi pengikut dunia.” Sederhana, bukan?

Buah Pertama: Ketenangan

Lalu apa hasilnya jika kita hidup dengan dua falsafah ini? Yang pertama adalah ketenangan. Sakinah. Sebuah kedamaian batin yang tidak bisa dibeli.

Ketika kau sadar kau hanya musafir, segala kesulitan di jalan terasa lebih ringan. Macet? Itu bagian dari perjalanan. Ban bocor? Cuma rintangan kecil. Kehilangan pekerjaan, bisnis gagal, dihina orang? Itu semua hanya lubang di jalanan sebuah kota transit. Mengesalkan, tapi tidak akan menghentikanmu untuk pulang.

Hati menjadi lapang. Fokus bergeser. Bukan lagi tentang “apa yang belum aku punya,” tapi “bekal apa yang sudah aku siapkan?” Kita menikmati prosesnya. Menikmati secangkir kopi di warung pinggir jalan, bersyukur atas nikmatnya, tapi mata kita tetap tertuju pada peta menuju kampung akhirat. Kita tahu, seberat apa pun perjalanan ini, di ujung sana ada surga yang menanti. Jika kita beriman dan beramal saleh, tentu saja. Janji Allah itu pasti.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS. An-Nahl: 97)

Kehidupan yang baik itu adalah ketenangan. Di sini, saat ini juga.

Buahnya Kedua: Ketegaran (Tsabat)

Buah yang kedua adalah ketegaran. Tsabat. Kemampuan untuk berdiri kokoh saat badai kehilangan menerpa.

Ketika orang yang kita cintai meninggal, rasanya seperti dunia runtuh. Ketika harta yang kita kumpulkan puluhan tahun ludes dalam sekejap, rasanya seperti jantung diremas. Tapi seorang tukang parkir tidak akan menangis histeris saat mobil titipannya diambil pemilik. Seorang musafir tidak akan hancur saat harus meninggalkan kota singgah yang indah.

Itulah ketegaran. Ia lahir dari keyakinan. Keyakinan bahwa semua yang hilang itu tidak benar-benar hilang. Mereka hanya kembali kepada Pemiliknya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. “Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali.” Kalimat ini bukan sekadar ucapan duka, melainkan sebuah deklarasi falsafah hidup.

Dan ada janji yang lebih indah: janji reuni. Keluarga yang wafat dalam iman? Kita akan bertemu lagi dengan mereka di surga, dalam bentuk terbaik, tanpa perpisahan lagi. Harta yang kita infakkan? Itu bukan hilang, itu adalah investasi abadi yang bunganya akan kita nikmati di akhirat.

Kisah Ummu Sulaim adalah puncak dari falsafah ini. Abu Thalhah, suaminya, baru pulang dari perjalanan jauh. Beliau bertanya tentang putra mereka yang sedang sakit. Ummu Sulaim menjawab dengan tenang, “Dia lebih tenang dari sebelumnya.” Lalu dia melayani suaminya, menyiapkan makan malam, bahkan tidur bersamanya.

Setelah semuanya selesai, barulah dia bicara. “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika ada orang menitipkan sesuatu kepadamu, lalu suatu hari dia datang untuk mengambilnya kembali. Apakah kau boleh menolaknya?”

“Tentu tidak,” jawab Abu Thalhah.

Dengan suara yang sama tenangnya, Ummu Sulaim berkata, “Kalau begitu, ikhlaskanlah putramu. Karena Allah telah mengambil kembali titipan-Nya.”

Itu bukan sikap dingin tanpa perasaan. Itu adalah ketegaran yang lahir dari iman setinggi langit. Itulah buah dari pemahaman bahwa kita ini hanyalah tukang parkir.

Pulang dengan Tenang dan Tegar

Maka begitulah ceritanya. Tukang parkir dan pelancong. Dua peran yang harus kita mainkan serentak. Tukang parkir mengajarkan kita untuk melepaskan genggaman pada dunia. Pelancong mengajarkan kita untuk terus berjalan menuju akhirat.

Dengan keduanya, kita bertransformasi. Dari pemilik yang cemas menjadi penjaga amanah yang tenang. Dari penghuni yang sombong menjadi musafir yang rendah hati. Hidup tidak lagi menjadi ajang perlombaan menumpuk barang, melainkan sebuah seni mengelola titipan dan mengumpulkan bekal.

Agar kelak, saat panggilan pulang itu tiba, kita bisa menyerahkan semua kunci titipan ini dengan ringan. Kita bisa mengakhiri perjalanan ini dengan senyum. Kita kembali kepada Allah, Sang Pemilik Sejati, sebagai hamba yang tenang dan tegar.

Write a Comment

Comment