Lebih Dari Sekadar Bayangan
Di Gaza, wanita bukan bayang-bayang yang bersembunyi di balik punggung lelaki. Dia adalah bayang-bayang dari segalanya. Bayang-bayang yang menelan reruntuhan, bayang-bayang yang meneduhkan anak-anak dari matahari kematian, bayang-bayang yang lebih nyata dari benda apa pun yang disorot cahaya.
Kalender di dinding yang retak itu, jika masih ada, menunjukkan tanggal 24 Agustus 2025. Waktu telah menjadi konsep yang aneh di sini. Sebuah putaran tanpa akhir dari azan, ledakan, dan tangisan. Di tengah apokalips yang berjalan lambat ini, dunia melihat Gaza sebagai statistik, sebagai krisis kemanusiaan. Tapi di balik angka-angka itu, ada semesta yang berdenyut. Semesta itu adalah seorang wanita.
Ini bukan ratapan. Ini bukan permintaan belas kasihan. Anggap ini sebuah kesaksian. Sebuah upaya untuk merekam bara api ilahiah yang menyala di jantungnya, dan lara kosmik yang dia pikul seolah itu hanyalah sekeranjang belanjaan. Dia adalah mujahidah yang kubahnya adalah langit yang bocor, dan sajadahnya adalah tanah yang basah oleh darah keluarganya.
Tiang Penyangga Kehidupan di Tengah Kehancuran
Dia memanggul seorang suami yang jiwanya mungkin sudah patah, seorang lelaki yang menjadi luka berjalan. Dia menopangnya di dalam hati, menjadi ruang aman terakhir baginya. Dia menggendong keluarga di atas kepalanya, sebuah kapal kecil di tengah badai api, dan dia adalah nahkodanya. Lalu dia memikul seluruh perang ini di bahunya, sebuah langit yang runtuh setiap hari, dan dia menahannya agar tidak menimpa semua orang.
Bagaimana dia melakukannya? Dia adalah seorang alkemis ulung. Dia menelan racun duka, dan di dalam tungku jiwanya, racun itu berubah menjadi penawar. Dia berselimutkan lara, lalu menenunnya menjadi jubah kehangatan untuk anak-anaknya yang menggigil. Dia hidup dari remah-remah ketiadaan, lalu dari remah itu dia meramu tempat bernaung, sepotong roti yang rasanya seperti surga, dan pakaian untuk menutupi martabat.
Di sinilah makna Madrasatul Ula (sekolah pertama) menemukan wujudnya yang paling ekstrem. Sekolahnya tidak berdinding, kurikulumnya ditulis dengan darah. Dia tidak mengajari anaknya A-B-C, tapi dia mengajari mereka Alif-Lam-Mim; tentang hal gaib yang harus mereka imani saat kenyataan terlalu brutal untuk diterima. Dia mengajari mereka bahwa suara bom boleh jadi lebih keras, tapi janji Allah jauh lebih pasti.
Nabi Muhammad berkata surga di bawah telapak kaki ibu. Di Gaza, surga itu ditempa dari debu reruntuhan, pecahan kaca, dan tanah kuburan yang masih basah. Setiap langkah yang dia ambil untuk mencari air atau menyelamatkan nyawa adalah sebuah perjalanan menuju surga itu, sebuah manifestasi kemuliaan yang lahir dari rahim penderitaan paling pekat.
Sabar yang Membara, Ujian Iman di Medan Jihad
Inilah keajaiban yang membingungkan akal. Wanita dalam perang ini adalah yang pertama digilas oleh roda-roda kekejaman, yang tubuh dan jiwanya paling terkoyak oleh tragedi. Wajahnya adalah kanvas di mana kesedihan melukis mahakaryanya.
Namun, dari bibirnya keluar paling sedikit keluhan. Dari jiwanya terpancar daya tahan yang paling hebat. Kesabarannya paling dahsyat.
Jangan salah sangka. Ini bukan kesabaran pasif seorang korban. Ini adalah kesabaran yang membangkang. Sebuah perlawanan spiritual terhadap keputusasaan. Inilah sabr jamil, kesabaran indah yang menjadi tamengnya. Tameng ini ditempa dari api tawakkal, penyerahan diri total pada skenario Allah, bahkan ketika plotnya terasa begitu kejam.
Dia tidak menunggu resolusi PBB. Dia berpegang pada janji yang tertulis dalam Kitab-Nya, firman yang menjadi jangkar jiwanya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Berita gembira itu bukan gencatan senjata. Berita gembira itu adalah ridha Allah. Saat dia memeluk tubuh anaknya yang dingin, dia tidak menjerit pada dunia yang tuli. Dia berbisik ke langit, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Ini bukan kalimat kekalahan. Ini adalah deklarasi kedaulatan Allah atas segalanya, termasuk atas hatinya yang hancur berkeping-keping. Bara di dadanya adalah bara ilahiah yang tidak akan pernah bisa dipadamkan oleh air mata atau darah.
Lara di Balik Jeruji, Penodaan Kehormatan di Penjara Zionis
Jika di luar adalah medan perang fisik, maka di dalam penjara Zionis seperti Damon, pertempuran itu berubah menjadi invasi sistematis terhadap jiwa. Ini bukan sekadar penahanan. Ini adalah proyek penghancuran manusia.
Laporan Kantor Media Tahanan bukanlah sekadar teks. Itu adalah rekaman dari neraka.
Mereka memulai dengan melucuti pakaiannya. Penggeledahan telanjang adalah ritual penghinaan, sebuah invasi ke dalam ruang paling privat seorang wanita, dirancang untuk membuatnya merasa seperti objek, bukan manusia.
Lalu mereka menyerang kehormatannya dengan kata-kata busuk. Ancaman kekerasan seksual adalah teror psikologis, sebuah upaya untuk menanamkan rasa takut dan kotor di dalam batinnya.
Kemudian, mereka merenggut identitasnya. Hijab dan abayanya dirampas. Ini adalah serangan teologis. Mereka mencoba mencabut akar spiritualnya, untuk mengatakan secara simbolis: “Di sini, Tuhanmu tidak berdaya! Di sini, kesucianmu adalah milik kami!”
Tubuhnya dirantai. Jiwanya dikungkung. Setiap sudut kamarnya diawasi oleh mata kamera yang tidak pernah berkedip, seperti mata iblis yang mengawasinya tanpa henti, merampas momen paling pribadinya untuk sekadar bernapas.
Dan puncak dari semua kekejaman itu: mereka memisahkannya dari anak-anaknya. Melihat foto mereka pun menjadi sebuah kemewahan terlarang. Ini adalah penyiksaan paling presisi, menargetkan fitrahnya sebagai seorang ibu. Lara ini tidak berdarah, tapi lukanya lebih dalam dari sayatan pisau manapun.
Suara yang Tak Terdengar dan Kewajiban Umat
Dan kita? Apa kabar iman kita yang nyaman? Kita cek reels dan postingan, melihat penderitaan mereka di sela-sela iklan dan tawa. Kita marah sesaat, lalu lupa.
Di mana pekikan kita saat kehormatan saudari kita dicabik-cabik?
Rasulullah Muhammad menggambarkan umat ini laksana satu tubuh. Jika mata sakit, seluruh tubuh terjaga. Jika kepala pusing, seluruh badan merasakan demam. Apakah kita masih satu tubuh? Atau kita telah menjadi anggota tubuh yang lumpuh, yang saraf empatinya sudah lama mati?
Jeritan sunyi wanita Gaza dari balik jeruji besi itu seharusnya menjadi demam yang membuat kita tidak bisa tidur. Kisahnya seharusnya menjadi hujjah, argumen Allah yang akan menuntut kita di Hari Pengadilan kelak.
Tanggung jawab kita bukan sekadar simpati. Itu adalah kewajiban iman. Doa di keheningan malam adalah rudal spiritual kita. Suara kita yang terus menyuarakan kebenaran adalah jihad media sosial kita. Harta yang kita kirimkan adalah bukti bahwa kita masih terhubung dalam satu pembuluh darah iman.
Jangan biarkan mereka berteriak ke dalam kehampaan. Karena kehampaan itu adalah cerminan dari kekosongan iman kita.
Doa dan Harapan
Wanita Gaza adalah titik temu antara bara dan lara. Laranya adalah saksi bisu atas kebiadaban zaman ini. Baranya adalah bukti hidup bahwa iman, jika benar, adalah kekuatan paling tak terkalahkan di alam semesta.
Dia bukan korban yang pasrah. Dia adalah pahlawan yang jiwanya menolak untuk tunduk. Dia adalah ayat kauniyah, tanda kebesaran Allah yang berjalan di atas bumi yang hangus.
Maka, sebagai penutup, hanya doa yang tersisa. Doa yang lahir dari rasa malu dan harapan.
Ya Allah, berikan baja untuk tulang-tulangnya, berikan samudra untuk sabarnya. Peluklah jiwanya yang mungkin lelah, dan bisikkan padanya bahwa Engkau dekat. Lindungi kehormatannya seperti Engkau melindungi Maryam. Bebaskan saudari-saudari kami yang tertawan. Dan menangkanlah mereka dengan kemenangan yang nyata. Karena sesungguhnya, mereka telah menunjukkan kepada kami arti menjadi hamba-Mu yang sejati. Aamiin.