by

Banyak Guru, Sedikit Pendidik

Mengembalikan Ruh Tarbiyah dalam Pendidikan Indonesia

Lihatlah ruang-ruang kelas kita. Penuh sesak. Papan tulis penuh coretan rumus. Jadwal pelajaran padat merayap dari pagi hingga petang. Di depan kelas, berdiri seseorang yang kita panggil guru. Jumlahnya banyak, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tapi di tengah keramaian ini, sebuah paradoks yang tajam menikam ulu hati: kita punya banyak guru, tapi terasa sangat sedikit pendidik sejati.

Ini bukan krisis angka. Bukan tentang kekurangan tenaga pengajar. Ini adalah krisis esensi. Krisis tentang hilangnya ruh dari pendidikan itu sendiri. Karena menjadi guru seharusnya adalah menjadi teladan, bukan sekadar menjadi tukang mengajar yang mengejar target kurikulum.

Orang-orang tua di tanah Jawa sudah lama merangkum idealisme ini. Mereka punya falsafah luhur yang bunyinya sederhana tapi menusuk: “Guru iku digugu lan ditiru.”

Seorang guru adalah sosok yang perkataannya didengar (digugu) dan perilakunya dicontoh (ditiru). Di sinilah jurang pemisah itu terbentang lebar. Mengajarkan materi dari buku teks? Itu gampang. Siapapun bisa dilatih melakukannya. Tapi menjadi contoh hidup dari apa yang diajarkan? Di situlah letak perjuangan yang sesungguhnya. Sebuah pertarungan integritas yang tidak pernah berhenti.

Dari Mu’allim ke Murabbi

Islam datang memperdalam jurang ini, sekaligus menawarkan jembatannya. Islam membedakan dengan pisau yang sangat tajam antara seorang pengajar dan seorang pendidik.

Yang pertama disebut mu’allim. Tugasnya adalah ta’lim, sekadar mentransfer ilmu. Fokusnya ada pada otak murid. Dia mengejar target bab, memastikan murid hafal, dan mencetak nilai bagus di atas kertas rapor. Bagi seorang mu’allim, murid adalah objek kosong yang harus diisi dengan data. Selesai jam pelajaran, selesai pula tugasnya.

Yang kedua disebut murabbi. Tugasnya adalah tarbiyah, sebuah kata yang jauh lebih kaya. Tarbiyah berarti mendidik, memelihara, menumbuhkan, dan menyempurnakan. Fokus seorang murabbi bukan pada otak, tapi pada jiwa. Dia tidak melihat murid sebagai objek, melainkan sebagai amanah dari Allah yang harus dibentuk akhlak dan ruhnya. Tujuannya bukan sekadar “mencerdaskan”, melainkan “memanusiakan”. Membentuk insan kamil, manusia paripurna yang sadar untuk apa dia diciptakan.

Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan prioritas ini dalam misi para nabi. Perhatikan firman Allah saat menjelaskan tugas Rasulullah Muhammad ﷺ:

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu (yuzakkiikum) dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (yu’allimukumul kitaab wal hikmah)…” (QS. Al-Baqarah: 151)

Lihatlah urutannya. Allah mendahulukan yuzakkiikum (menyucikan jiwa), yang merupakan inti dari tarbiyah, sebelum yu’allimukum (mengajarkan ilmu), yang merupakan tugas ta’lim. Pesannya jelas: bersihkan dulu wadahnya, sucikan dulu hatinya, baru kemudian isi dengan ilmu. Tanpa jiwa yang bersih, ilmu hanyalah senjata di tangan orang gila.

Puncak Keteladanan: Saat Perkataan Menjadi Perbuatan

Filosofi “digugu lan ditiru” menemukan puncaknya dalam konsep Islam tentang Uswatun Hasanah, suri teladan yang baik. Inilah standar emas seorang pendidik.

Seorang guru yang hanya bisa “digugu” tapi tidak bisa “ditiru” adalah sebuah tragedi. Dia mungkin pandai bicara, fasih mengutip teori, tapi hidupnya sendiri adalah antitesis dari apa yang dia ucapkan. Dia menyuruh jujur tapi dia sendiri berbohong. Dia menasihati tentang kesabaran tapi dia pemarah. Dia mengajarkan amanah tapi dia korupsi waktu.

Secara tidak sadar, dia tidak sedang mengajarkan ilmu. Dia sedang mengajarkan kemunafikan. Dan Allah sangat membenci hal ini.

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)

Pendidikan sejati terjadi ketika firman bertemu dengan amalan. Al-Qur’an tidak turun sebagai teks mati. Dia dihidupkan melalui setiap langkah, setiap senyum, setiap keputusan, dan setiap tetes air mata Rasulullah Muhammad ﷺ.

Itulah mengapa, ketika Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak sang Nabi, jawabannya begitu singkat, padat, namun menggetarkan jagat raya. Dia tidak merinci satu per satu. Dia hanya berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”

Inilah puncaknya. Rasulullah Muhammad ﷺ tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an, beliau adalah Al-Qur’an yang berjalan. Perkataannya adalah perbuatannya. Itulah uswah hasanah. Itulah esensi dari “digugu lan ditiru”. Dan itulah tugas seorang murabbi yang sejati.

Fondasi yang Retak: Adab Sebelum Ilmu

Karena sadar akan bahayanya ilmu tanpa karakter, para pendidik sejati dalam tradisi Islam meletakkan sebuah fondasi yang kini justru banyak dilupakan: Adab Qabla ‘Ilm. Adab sebelum ilmu.

Mereka paham betul, ilmu tanpa adab adalah sebuah bencana. Kecerdasan tanpa akhlak hanya akan melahirkan koruptor yang canggih, penipu yang ulung, dan tiran yang fasih berbicara tentang kemanusiaan. Adab adalah wadah, sementara ilmu adalah airnya. Tanpa wadah yang kokoh, air sebanyak apa pun akan tumpah dan tidak membawa manfaat.

Abdullah bin Al-Mubarak, seorang ulama besar, pernah berkata, “Kami mempelajari adab selama tiga puluh tahun, dan kami mempelajari ilmu selama dua puluh tahun.”

Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk membentuk karakter daripada sekadar mengisi kepala.

Ada sebuah kisah yang sangat kuat tentang ini. Ketika Imam Malik masih seorang anak laki-laki, ibunya mendandaninya dengan pakaian terbaik, memakaikannya sorban, lalu berkata kepadanya, “Pergilah kepada Rabi’ah, gurumu. Dan pelajarilah adabnya sebelum engkau mempelajari ilmunya.”

Perintah sang ibu bukanlah “serap semua ilmunya”, melainkan “tiru dulu adabnya”. Ini adalah sebuah manifesto pendidikan yang agung. Tujuan utama mengirim anak ke seorang guru bukanlah untuk mencuri otaknya, tetapi untuk menyerap cahayanya, meneladani akhlaknya, dan meniru adabnya. Adab tidak diajarkan lewat ceramah. Adab diajarkan lewat keteladanan yang konsisten, hari demi hari, dari seorang pendidik sejati.

Bukan Krisis Kurikulum, Tapi Krisis Hati

Pada akhirnya, krisis “banyak guru, sedikit pendidik” adalah sebuah krisis spiritual. Ini adalah penyakit yang akarnya ada di dalam hati.

Krisis ini terjadi ketika profesi mulia ini direduksi menjadi sekadar pekerjaan untuk mencari nafkah. Ketika panggilan jiwa untuk melanjutkan tugas kenabian diubah menjadi sekadar rutinitas administratif untuk mengisi perut. Ketika niatnya bukan lagi membentuk generasi Qurani, melainkan untuk mengejar tunjangan sertifikasi.

Maka solusinya tidak akan pernah cukup dengan reformasi kurikulum, penambahan fasilitas, atau bahkan kenaikan gaji. Itu semua penting, tapi itu hanya memoles bagian luar. Solusi yang sesungguhnya terletak pada reformasi hati dan niat para guru itu sendiri.

Sudah saatnya kita mengembalikan kesadaran bahwa menjadi pendidik adalah sebuah amanah yang luar biasa berat. Di pundak merekalah terletak masa depan akhlak sebuah bangsa. Setiap kata yang terucap, setiap perbuatan yang terlihat, setiap ekspresi wajah yang terpancar di depan murid-murid adalah benih yang sedang ditanam. Dan setiap benih itu akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak.

Kita tidak butuh lebih banyak orang yang memegang ijazah keguruan. Kita butuh lebih banyak hati yang bergetar dengan rasa takut dan harap kepada Allah, yang melihat setiap murid sebagai ladang amal jariyah, dan yang sadar bahwa mereka sedang berjalan di atas jejak para nabi. Jejak tarbiyah.

Wallahua’lam.

Write a Comment

Comment