Seni Menjadi Hamba di Panggung Takdir
Manusia adalah navigator ulung. Setidaknya, begitu anggapan kita. Di kepala kita, ada peta kehidupan yang tergambar dengan detail presisi. Garis-garisnya tajam: lulus kuliah umur 22, kerja di perusahaan multinasional umur 25, menikah umur 28, punya rumah sebelum 30, anak pertama laki-laki, anak kedua perempuan. Semuanya terukur. Semuanya terkendali.
Kita memegang kemudi kapal kita dengan erat. Kita merasa tahu ke mana angin akan berembus dan kapan ombak akan datang.
Tapi lautan tidak selamanya jinak. Ada kalanya badai datang tanpa diundang. Badai itu bernama takdir Allah. Ia menghantam tanpa ampun, merobek layar harapan kita, mematahkan tiang rencana kita. Peta yang kita banggakan itu mendadak jadi secarik kertas basah tidak berguna. Impian yang dirajut putus. Harapan yang digantungkan jatuh berkeping-keping.
Reaksi pertama? Syok. Lalu stres. Lalu frustrasi. Kadang, jika badainya terlalu besar, kita tenggelam dalam depresi. Kita bertanya, “Kenapa? Apa salahku? Bukankah aku sudah berusaha sekuat tenaga?”
Penyakitnya satu: kita secara tidak sadar berlagak jadi tuhan. Kita lupa bahwa kita hanya seorang kapten kapal, bukan pemilik lautan. Satu-satunya cara agar tidak karam dan mati berdiri dalam keterkejutan adalah dengan melepaskan peran tuhan itu. Memeluk peran kita yang sejati: hamba-Nya. Hidup justru menjadi indah dengan kombinasi ajaib ini: ikhtiar maksimal dan tawakkal total.
Peta Itu Hanya Proposal
Punya kemauan itu normal. Punya keinginan itu manusiawi. Allah sendiri yang menanam benih harapan dan cita-cita di dalam dada manusia. Itulah bahan bakar yang membuat kita bangun pagi, yang membuat kita berlari mengejar sesuatu. Tanpa impian dan cita-cita, hidup akan hampa dan stagnan.
Maka kita pun membuat rencana. Rencana A, rencana B, sampai rencana Z. Kita menyusun strategi. Kita menghitung probabilitas. Kita merasa sudah mengantisipasi segalanya.
Tapi kita lupa satu hal paling fundamental. Rencana kita hanyalah sebuah proposal. Proposal yang kita ajukan ke Meja Direktur Utama Alam Semesta. Keputusan akhir, stempel persetujuan atau penolakan, mutlak ada di tangan-Nya.
Allah mengingatkan kita dengan begitu halus dalam Al-Qur’an:
“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ‘Aku pasti akan melakukannya besok,’ kecuali (dengan mengatakan), ‘Insya Allah’ (Jika Allah menghendaki).” (Q.S. Al-Kahf [18]: 23-24)
Ayat ini bukan sekadar anjuran sopan santun spiritual. Ini adalah pengingat tentang posisi kita. Ucapkan “Insya Allah” bukan sebagai pemanis bibir, tapi sebagai pengakuan tulus dari hati bahwa sehebat apapun proposal kita, ia tidak punya daya apa-apa tanpa persetujuan-Nya.
Kita ini ibarat petani. Kita bisa memilih benih terbaik, mencangkul tanah sampai gembur, membuat sistem irigasi paling canggih. Itu ikhtiar kita. Itu wilayah kuasa kita. Tapi kita bukan bos dari matahari. Kita tidak bisa memerintah hujan untuk turun. Kita tidak punya kendali atas hama yang mungkin datang menyerang. Hasil panen, pada akhirnya, adalah misteri yang hanya Allah yang tahu jawabannya. Merasa berhak atas panen melimpah hanya karena sudah menabur benih terbaik adalah awal dari kesombongan.
Penyakit Bernama ‘Aku yang Pegang Kendali’
Stres, kecemasan, dan frustrasi seringkali lahir dari satu ilusi: ilusi kontrol. Kita terjangkit sindrom “berlagak menjadi tuhan”. Sebuah keyakinan keliru yang berbisik di telinga kita, “Jika aku melakukan A, maka PASTI hasilnya B. Jika aku bekerja sekeras ini, maka aku PASTI dapat promosi itu. Jika aku sebaik ini, maka dia PASTI akan menikahiku.”
Kata “PASTI” itulah sumber penyakitnya. Itu adalah klaim ketuhanan dalam skala mikro.
Lihatlah gejalanya. Stres datang dari mana? Dari usaha kita yang tidak kenal lelah untuk mengendalikan hal-hal yang dasarnya memang di luar kendali kita: perasaan orang lain, keputusan atasan, kondisi ekonomi global, atau sekadar lampu merah di perempatan jalan.
Frustrasi adalah anak kandungnya. Ketika realitas menampar wajah kita dan berkata “Tidak!,” kita marah. Kita menyalahkan keadaan. Menyalahkan orang lain. Secara diam-diam, kita sedang marah kepada Sang Sutradara karena berani mengubah naskah yang sudah kita tulis dengan susah payah.
Jika tamparan itu terlalu keras, ujungnya adalah depresi. Keputusasaan. Kita merasa gagal total karena ilusi kontrol kita hancur lebur. Kita merasa hidup tidak berarti karena semesta tidak mau tunduk pada kemauan kita.
Ini bukan lagi sekadar masalah psikologis. Ini sudah masuk ke ranah tauhid. Ketika kita bersikeras bahwa dunia harus berjalan sesuai mau kita, kita secara tidak sadar sedang mencoba merebut sifat-sifat Allah. Kita ingin menjadi Al-Malik (Maha Raja) atas kerajaan kecil hidup kita. Kita mau menjadi Al-Muhaymin (Maha Mengatur) atas setiap detilnya. Kita telah lancang melanggar batas yurisdiksi antara hamba dan Tuhannya.
Ikat Untamu, Lalu Lepaskan Hatimu
Lalu bagaimana solusinya? Reposisi diri. Turun dari tahta ilusi yang kita ciptakan sendiri dan ambil posisi kita yang sebenarnya: seorang hamba Allah (Abdullah).
Menjadi hamba bukan berarti menjadi pemalas yang pasif. Justru sebaliknya. Hamba yang baik adalah hamba yang paling rajin, paling produktif, karena dia ingin menunjukkan performa terbaik di hadapan Tuannya. Resepnya ada dua, satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Pertama, Ikhtiar Maksimal.
Islam adalah agama kerja keras. Menjadi hamba berarti mengerahkan seluruh potensi yang telah Allah anugerahkan: akal, tenaga, waktu, untuk mengejar apa yang kita inginkan. Ini adalah bentuk adab dan syukur kita.
Ada sebuah kisah masyhur. Seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah Muhammad ﷺ dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku ikat untaku ini lalu aku bertawakkal, atau aku biarkan saja lalu aku bertawakkal?”
Nabi Muhammad tidak menjawab, “Sudah, pasrah saja, Allah Maha Penjaga.” Jawaban beliau begitu lugas dan praktis, sebuah formula yang menyeimbangkan dunia dan akhirat:
“I’`qilhaa wa tawakkal.” (Ikatlah untamu, baru bertawakkal).
Ikat untamu. Kerjakan bagianmu. Lakukan apa yang ada dalam kuasamu. Belajar untuk ujian. Siapkan proposal bisnis sebaik mungkin. Jaga kesehatan dengan pola makan yang benar. Itulah arena kita.
Kedua, Tawakkal Total.
Ini adalah bagian yang seringkali lebih sulit. Setelah unta diikat, setelah ikhtiar ditunaikan, lepaskan hatimu dari hasilnya. Serahkan urusannya dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Tawakkal adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan fisik. Itu adalah keyakinan mutlak bahwa apapun keputusan Allah nanti, itulah yang terbaik.
Bukan yang termudah. Bukan yang paling kita inginkan. Tapi yang terbaik. Allah berjanji dalam firman-Nya:
“…Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. At-Talaq [65]: 3)
Dicukupkan, bukan selalu dituruti. Dicukupkan kebutuhannya, ditenangkan hatinya, diberi jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka. Inilah buah manis dari tawakkal: ketenangan jiwa (sakinah) yang tidak goyah hanya karena keadaan di luar tidak sesuai harapan.
Kaku di Persimpangan Takdir
Lalu, apa yang terjadi jika kita menolak resep ini? Jika kita masih ngotot bahwa dunia harus tunduk pada peta kita? Di sinilah kita akan “mati berdiri”.
Ini bukan kematian fisik. Ini adalah kematian jiwa. Sebuah kelumpuhan spiritual dan psikologis. Jasad kita mungkin masih beraktivitas, pergi ke kantor, makan, minum. Tapi ruh kita mati. Terjebak dalam labirin penyesalan (“Seandainya dulu aku…”), kemarahan (“Ini tidak adil!”), dan kebingungan total (“Kenapa ini terjadi padaku?”).
Kenapa bisa begitu? Karena kita memaksa logika kita yang terbatas untuk mencerna kebijaksanaan Allah yang tidak terbatas. Logika kita itu ibarat kalkulator warung yang dipaksa menghitung algoritma pergerakan ritmik galaksi. Perhitungan akan error. Ia akan hang. Ia tidak akan pernah menemukan “kesalahan” atau “cacat” dalam skenario Allah, dan ketidakmampuan inilah yang membuatnya frustrasi hingga akhirnya lumpuh.
Bayangkan seorang penjelajah yang begitu percaya pada peta kuno di tangannya. Saat tiba di sebuah titik, peta itu menunjukkan seharusnya ada jembatan emas. Kenyataannya, yang ada hanya jurang menganga.
Orang yang “mati berdiri” adalah orang yang menolak kenyataan itu. Dia tidak mau maju karena tidak ada jembatan. Dia tidak mau mundur atau mencari jalan lain karena egonya terlalu tinggi untuk mengakui petanya salah. Dia hanya berdiri kaku di tepi jurang, menatap petanya yang usang, meratapi nasibnya. Diterpa angin, diguyur hujan, dilibas oleh waktu, hingga akhirnya dia mati dalam keadaan berdiri. Menjadi patung monumen bagi kebodohannya sendiri.
Menjadi Hamba atau Menjadi Patung?
Pilihannya sekarang ada di tangan kita.
Kita bisa terus menggenggam erat peta kita yang rapuh, bersikeras menjadi tuhan atas hidup kita sendiri, dan bersiap untuk “mati berdiri” setiap kali takdir berkata lain. Menjadi patung yang kaku di persimpangan jalan.
Atau, kita bisa memilih untuk hidup. Hidup sebagai seorang hamba. Kita merobek peta ilusi itu. Kita menggantinya dengan kompas iman. Arahnya hanya satu: menuju keridhaan Allah. Kita tetap berlari, tetap berikhtiar sekuat tenaga, tapi dengan hati yang ringan dan lapang. Jika di depan ada jembatan, kita bersyukur. Jika yang ada adalah jurang, kita percaya bahwa Allah sedang menunjukkan kita jalan lain yang lebih baik, atau mungkin mengajarkan kita cara untuk terbang.
Menjadi hamba bukan berarti kalah. Justru di sanalah letak kemenangan sejati. Kemenangan atas ego kita sendiri. Di sanalah kita berhenti mati dan mulai benar-benar hidup.