Jarak Antara Pertanyaan dan Kepastian
Kapan. Kafan.
Coba ucapkan pelan-pelan. Rasakan lidahmu bergerak dari huruf “p” ke “f”. Hanya satu embusan napas yang membedakannya. Satu huruf kecil yang canggung. Tapi di antara dua kata itu, terbentang seluruh samudera yang kita sebut kehidupan. Seluruh pertarungan, seluruh tawa, seluruh tangis.
Hidup ini, kalau mau jujur, sebenarnya hanya menunggu “kapan”.
Kapan detak jantung berhenti berisik. Kapan paru-paru menyerah menarik udara. Kapan kelopak mata tertutup untuk selamanya, tidak mau lagi melihat silaunya dunia. Lalu tubuh yang tadinya berlari ke sana kemari, kini terbujur kaku. Diam. Dingin. Menunggu dibalut kafan.
Perjalanan dari “kapan” menuju “kafan” adalah satu-satunya perjalanan yang pasti. Tiketnya sudah ada di tangan sejak kita lahir, tapi tanggal keberangkatannya dirahasiakan rapat-rapat oleh Allah. Esai ini bukan untuk menakut-nakuti. Ini hanya pengingat. Sebuah peta sederhana untuk perjalanan pulang.
Fatamorgana “Kapan”
Manusia adalah makhluk yang gelisah. Dia selalu bertanya ‘kapan’.
Sejak kecil, pertanyaan itu sudah mengejarnya. Kapan bisa jalan? Kapan masuk sekolah? Kapan lulus? Setelah lulus, mesin ambisi dalam dirinya berputar lebih kencang. Kapan dapat kerja? Kapan gajinya naik? Kapan bisa beli motor? Kapan beli mobil? Kapan punya rumah?
Lalu pertanyaan itu bergeser ke ranah pribadi. Kapan menikah? Setelah menikah, kapan punya anak? Anaknya sudah satu, kapan nambah lagi? Rumah sudah ada, kapan direnovasi jadi dua lantai? Sukses sudah di tangan, kapan bisa benar-benar bahagia?
Begitulah kita. Berlari di atas treadmill pertanyaan yang tidak ada habisnya. Kita sibuk mengejar satu “kapan” ke “kapan” berikutnya, seperti orang haus yang mengejar fatamorgana di padang pasir. Kita pikir di ujung sana ada telaga kebahagiaan. Tapi setiap kali kita sampai, yang ada hanya pasir kosong dan cakrawala baru yang menawarkan “kapan” yang lain.
Ini bukan dosa. Ini fitrah. Manusia memang didesain untuk menginginkan, untuk meraih. Tapi di sinilah letak jebakannya. Terlalu fokus pada “kapan-kapan” yang fana ini, kita jadi lupa. Kita mabuk oleh dunia. Dalam terminologi agama, ini disebut ghaflah. Sebuah kelalaian yang nikmat, yang membuat kita lupa pada tujuan utama kita diciptakan: untuk beribadah.
Kita lupa, ada satu “kapan” yang sedang berlari cepat ke arah kita, tanpa pernah berhenti atau menoleh ke belakang.
“Kapan” yang Hakiki dan Tidak Terhindarkan
Di antara semua “kapan” yang kita cemaskan, hanya ada satu yang statusnya bukan lagi pertanyaan, melainkan kepastian. Kapan kita mati.
Kematian adalah pemutus segala kenikmatan. Dia adalah tamu yang tidak pernah mengirim undangan. Pencuri misterius yang mengambil apa yang paling berharga tanpa meninggalkan jejak. Saat dia datang, semua agenda dibatalkan. Rapat penting, janji liburan, cicilan rumah yang belum lunas, semua menjadi tidak relevan. Dunia berhenti untukmu.
Allah merahasiakan waktunya. Dan di dalam rahasia itulah letak ujiannya.
Ajal bisa datang saat kita sedang di puncak karier. Saat kita baru saja memeluk anak pertama kita. Atau saat kita sedang terbahak-bahak menonton film komedi. Kematian tidak peduli kita siap atau tidak. Dia tidak bisa disogok atau diajak bernegosiasi.
Ironisnya, kita adalah perencana yang ulung untuk hal-hal yang tidak pasti. Kita punya rencana lima tahunan untuk karier. Kita punya dana pensiun untuk puluhan tahun ke depan. Kita punya asuransi untuk musibah yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Tapi untuk kematian, satu-satunya hal yang 100% pasti akan terjadi, persiapan kita sering kali nol besar. Kita menundanya, seolah-olah kita punya kontrak hidup abadi dengan Allah.
Dari “Kapan” Menuju “Kafan”
Lalu saat “kapan” yang hakiki itu tiba, sebuah transformasi besar terjadi.
Semua atribut yang kita kumpulkan seumur hidup dilucuti paksa. Jabatan Direktur Utama, gelar Profesor, jutaan followers di media sosial, semua itu menguap begitu saja. Pakaian mahal dari desainer ternama diganti dengan beberapa helai kain putih tanpa merek dan tanpa kantong.
Itulah kafan. Seragam terakhir umat manusia.
Di hadapan kafan, semua manusia setara. Si kaya dan si miskin dibungkus kain yang sama. Sang penguasa dan rakyat jelata dibaringkan di lubang yang ukurannya kurang lebih sama. Kafan adalah penanda bahwa panggung sandiwara dunia telah selesai. Semua topeng dan kostum harus dilepas. Kita kembali ke setelan pabrik.
Nabi Muhammad pernah bersabda, ada tiga hal yang akan mengantar jenazah ke kuburnya: keluarganya, hartanya, dan amalnya.
Keluarga akan menangis, lalu mereka akan pulang. Mereka punya kehidupan untuk dilanjutkan. Harta yang kita kumpulkan dengan susah payah; rumah megah, mobil mewah, hanya akan mengantar sampai di depan gerbang pemakaman. Lalu dia akan menjadi hak milik ahli waris.
Hanya satu yang nekat ikut masuk ke dalam liang lahad yang sempit dan gelap itu. Dia adalah amal kita. Dia satu-satunya teman setia yang tidak akan meninggalkan kita. Dia yang akan menjawab pertanyaan malaikat. Dia yang akan menjadi penerang atau justru pemberat.
Kafan membungkus jasad. Amal membungkus ruh.
Menyiapkan Bekal Sebelum Waktu Habis
Maka, selama kita masih bernapas, selama kita masih berada di ruang tunggu antara “kapan” dan “kafan”, tugas kita hanya satu: menyiapkan bekal terbaik.
Kita adalah musafir yang sedang dalam perjalanan pulang. Dan musafir yang cerdas tidak akan pernah berangkat dengan tas kosong. Al-Qur’an sudah memberi tahu bekal terbaik itu apa. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Takwa bukan hanya soal sorban dan jubah. Takwa adalah kesadaran. Sadar bahwa Allah selalu mengawasi. Sadar bahwa setiap perbuatan akan dicatat. Kesadaran ini yang kemudian mendorong kita untuk memperbaiki shalat kita, bukan lagi sebagai kewajiban yang memberatkan, tapi sebagai kebutuhan untuk berbincang dengan Allah Sang Pencipta-Pemilik-Pengatur.
Kesadaran ini yang membuat tangan kita ringan untuk bersedekah, lidah kita basah oleh zikir dan istighfar, dan hati kita lapang untuk memaafkan. Kesadaran ini yang memaksa kita melakukan muhasabah/evaluasi diri setiap malam sebelum tidur. “Hari ini, timbangan amalku lebih berat ke kanan atau ke kiri?”
Mengingat kematian bukanlah ajakan untuk menjadi pesimis dan berhenti bekerja. Justru sebaliknya. Mengingat kematian adalah bahan bakar produktivitas terbaik. Dia membuat kita lebih menghargai waktu. Dia membuat kita lebih selektif dalam berbuat. Dia membuat kita menjalani hidup dengan lebih bermakna, karena kita tahu semua ini akan ada pertanggungjawabannya.
Senyuman di Balik Kafan
Perjalanan dari “kapan” menuju “kafan” adalah sebuah seni mengelola prioritas. Ini adalah tentang keberanian untuk sesekali berhenti bertanya “apa yang aku inginkan dari dunia?” dan mulai bertanya “apa yang dunia akan kenang dariku, dan apa yang akan aku bawa menghadap Tuhanku?”
Pada akhirnya, semua kembali pada pilihan.
Kita bisa memilih untuk terus berlari mengejar “kapan-kapan” duniawi hingga nafas terakhir, lalu tiba di tujuan dengan tangan hampa dan penuh penyesalan. Atau, kita bisa memilih untuk berlari sambil mengumpulkan bekal, menyeimbangkan antara urusan dunia dan persiapan untuk akhirat.
Agar kelak, saat “kapan” itu akhirnya tiba dan tubuh kita dibungkus kain kafan yang sederhana, yang terlukis di wajah kita bukanlah tangis ketakutan, melainkan sebuah senyum kebahagiaan. Senyuman seorang hamba yang ridha, yang siap pulang untuk bertemu dengan Rabb-nya.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas, yang menjadikan kematian sebagai penasihat terbaik, dan menganugerahkan kita semua akhir umur yang baik. Husnul khatimah. Aamiin.
(Terinspirasi dari tulisan ustadz Abdullah Hadrami dengan judul yang sama)