Sebuah Refleksi Usia ke-80
Langit Nusantara cerah pada 17 Agustus 2025. Mungkin juga pura-pura cerah. Bendera-bendera berkibar di tiang-tiang paling angkuh, di gang-gang paling kumuh. Bangsa ini merayakan usianya yang ke-80. Delapan puluh tahun. Sebuah angka yang seharusnya gagah.
Dari desa ke sekolah ke istana negara, gema nasionalisme bersahutan. Allahu Akbar! Merdeka!
Tapi di tengah riuh itu, ada sunyi yang menusuk. Ada bisikan yang membuat lidah kelu. Kita mau ikut berteriak, tapi kerongkongan tercekat. Pertanyaan itu datang tanpa diundang. Merdeka dari apa? Dan merdeka untuk apa?
Maka, jika kita masih punya sisa nurani, teriakkanlah takbir itu. Tapi teriakkan dengan kepala tertunduk. Teriakkan dengan penuh rasa malu. Karena di hadapan Allah, kemerdekaan kita hari ini mungkin hanya sebuah lelucon yang menyedihkan.
Merdeka di Atas Tumpukan Utang
Angkanya hampir tidak masuk akal. Sembilan ribu triliun rupiah. Itulah utang yang membebani punggung Ibu Pertiwi. Setiap bayi yang menangis pertama kali di negeri ini, dia tidak hanya menghirup udara, dia juga menghirup utang.
Katanya kita berdaulat. Tapi setiap kebijakan ekonomi kita disetir oleh kreditur asing. Katanya kita merdeka. Tapi leher kita dijerat oleh angka-angka yang bahkan kita sulit membayangkannya. Ini bukan kemerdekaan, ini gadai kedaulatan.
Nabi Muhammad ﷺ, manusia paling mulia, setiap hari berdoa, “Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghram.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan lilitan utang.”
Beliau tahu, utang adalah pintu menuju kehinaan. Orang yang berutang cenderung berdusta. Dia berjanji lalu mengingkari.
Lalu lihatlah Khalifah Umar ibnul Khattab. Saat anaknya datang untuk urusan pribadi, dia mematikan lampu milik negara. Dia takut. Takut sekali pada pertanggungjawaban satu tetes minyak dari Baitul Mal. Kita? Kita tidak hanya memakai minyaknya, kita menggadaikan seluruh sumur minyaknya untuk utang.
Jadi, takbir macam apa yang pantas kita teriakkan?
Merdeka dari Penjajahan Moral?
Penjajah Belanda sudah lama angkat kaki. Tapi penjajah yang baru lebih mengerikan. Dia tidak membawa senapan, dia membawa kerakusan. Namanya korupsi.
Tahun 2024 kemarin kita membuat rekor. Tiga ratus triliun rupiah raib dalam skandal timah. Angka yang membuat korupsi BLBI warisan Orde Baru terlihat seperti maling ayam. Ini bukan lagi sekadar mencuri uang. Ini menjarah masa depan anak-cucu kita.
Dalam Islam, ini namanya ghulul. Pengkhianatan. Dosa yang hukumannya sangat memalukan. Allah berfirman dalam Surat Ali ‘Imran ayat 161, bahwa siapa yang berkhianat, dia akan datang pada hari kiamat membawa barang khianatnya itu. Bayangkan, para koruptor itu memikul tiga ratus triliun di punggung mereka di hadapan seluruh manusia.
Rasulullah Muhammad ﷺ pernah bercerita tentang seorang musafir dengan rambut kusut, pakaian dekil, yang menengadahkan tangan ke langit sambil berdoa. Tapi doanya tidak pernah sampai. Kenapa? Karena makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram.
Negeri ini tidak henti-hentinya berdoa, tapi para pejabatnya berpesta dari uang haram. Lalu kita bertanya kenapa bencana datang silih berganti. Teriakan “Merdeka” dari mulut yang memakan hak rakyat miskin adalah penghinaan terbesar. Malu.
Merdeka dari Kegelapan Ilmu?
Kita adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Sebuah fakta yang sering kita banggakan. Tapi mari kita lihat faktanya lebih dalam. Menurut riset Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, 72% dari kita buta aksara Al-Qur’an.
Tujuh puluh dua persen. Wow!
Kita tidak bisa membaca surat cinta dari Tuhan kita sendiri. Kita tidak mengerti manual kehidupan yang Dia turunkan. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi kita bukan “solatlah” atau “berjihadlah”. Wahyu pertama adalah “Iqra’!” Bacalah!
Kemerdekaan sejati dimulai dari kemerdekaan dari kebodohan. Generasi sahabat menjadi generasi terbaik bukan karena kekayaan atau kekuatan militernya. Mereka menjadi mulia karena interaksi mereka dengan Al-Qur’an. Umar bin Al-Khattab pernah berkata, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab ini dan merendahkan kaum yang lain dengannya pula.”
Kita memilih yang mana? Diangkat atau direndahkan? Kita merdeka dari buta huruf latin, tapi terjajah oleh buta huruf Qur’an. Ini sebuah ironi yang memilukan.
Merdeka sebagai Satu Umat?
Sementara kita di sini sibuk dengan lomba panjat pinang dan diskon kemerdekaan, di gaza Palestina, saudara kita dipanjat oleh tank dan didiskon nyawanya. Genosida paling brutal di era modern terjadi hampir dua tahun, di depan mata seluruh dunia. Dunia lumpuh dan pura-pura amnesia dengan penjajahan di tanah suci Baitul Maqdis oleh zionis yahudi israel dan sekutunya (amerika serikat, inggris, perancis).
Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, umat Islam itu laksana satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut demam dan tidak bisa tidur. Pertanyaannya, apakah kita masih satu tubuh? Palestina adalah jari kita yang sedang dicincang. Kenapa kita masih bisa tidur nyenyak? Kenapa kita tidak demam?
Dulu, seorang khalifah bernama Al-Mu’tasim Billah mengerahkan seluruh pasukan hanya karena mendengar jeritan seorang Muslimah yang dilecehkan di negeri Romawi. Satu jeritan dibayar dengan sebuah penaklukan. Hari ini, jutaan jeritan dari Gaza hanya menjadi konten media sosial yang kita gulir sambil minum kopi.
Kemerdekaan kita terasa sangat egois. Kita berpesta pora di atas penderitaan saudara kita sendiri. Takbir kita terdengar hampa, karena tidak ada getaran ukhuwah di dalamnya.
Merdeka dari Hawa Nafsu (Wanita)?
Lihatlah ke jalan-jalan. Lihatlah ke pusat-pusat perbelanjaan. Kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan membuka aurat. Muslimah yang sudah baligh dengan bangga mempertontonkan apa yang seharusnya dia tutup rapat-rapat.
Kalaupun memakai jilbab, banyak yang terjebak dalam fenomena “jilboobs”. Jilbabnya ada, tapi lekuk tubuhnya sengaja ditonjolkan. Pakaiannya ketat, mengundang syahwat lebih dahsyat daripada yang tidak berjilbab sama sekali.
Mereka lupa, atau mungkin tidak pernah tahu, bahwa hijab adalah perintah ketaatan, bukan tren fashion. Allah perintahkan dalam Surat An-Nur ayat 31 untuk menutupkan kain kerudung hingga ke dada. Bukan untuk membungkusnya.
Nabi Muhammad ﷺ sudah memperingatkan 1.400 tahun yang lalu tentang “wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang”. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium baunya. Nubuwwah itu kini menjadi pemandangan sehari-hari. Kita merdeka dari aturan penjajah, tapi rela menjadi budak dari hawa nafsu dan standar kecantikan kaum kafir.
Merdeka dari Syahwat (Umum)?
Dan wabah ini menjalar ke generasi muda. Pacaran bukan lagi hal tabu, tapi sebuah fase wajib dalam pergaulan. Zina bukan lagi dosa besar yang menakutkan, tapi “khilaf” atau “kecelakaan” yang bisa dimaklumi.
Allah tidak hanya berfirman “janganlah berzina”. Dia berfirman, “Wa laa taqrabuz-zinaa…” Dan janganlah kamu mendekati zina. Mendekatinya saja dilarang. Pacaran, khalwat, pandangan liar, obrolan mesra; semua itu adalah jalan tol menuju jurang zina.
Sejarah telah membuktikan, peradaban besar tidak hancur karena serangan dari luar. Dia hancur dari dalam. Dia membusuk karena kerusakan moral. Ketika zina sudah dianggap biasa, tunggulah azab Allah datang.
Kita bilang ini adalah hak asasi. Kebebasan berekspresi. Tapi kebebasan tanpa batas takwa adalah jalan tercepat menuju kebinasaan. Kita merdeka dari kungkungan tradisi, katanya. Tapi kita terperosok dalam kungkungan syahwat yang lebih mematikan.
Jalan Pulang Menuju Kemerdekaan Hakiki
Jadi, semua ini bukan sekadar masalah sosial-politik. Ini adalah cerminan dari krisis spiritual yang akut. Kita telah gagal total memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kemerdekaan hakiki dalam Islam bukanlah bebas melakukan apa saja. Kemerdekaan hakiki adalah menjadi hamba Allah (Abdullah) seutuhnya. Merdeka dari penghambaan kepada utang, kepada koruptor, kepada kebodohan, kepada egoisme, dan kepada hawa nafsu.
Jalan pulangnya adalah kembali kepada Allah. Merdeka dari riba dengan sistem syariah. Merdeka dari korupsi dengan iman pada Hari Pembalasan. Merdeka dari kebodohan dengan kembali membaca dan mengkaji Al-Qur’an. Merdeka dari egoisme dengan merasakan sakitnya luka Gaza Palestina. Merdeka dari syahwat dengan menegakkan hukum Islam dan rasa malu.
Maka, pada 17 Agustus 2025 ini, mari kita teriakkan kata “Merdeka!” itu. Tapi bukan dengan dada yang membusung karena bangga. Teriakkanlah dengan kepala yang tertunduk malu. Sebuah teriakan yang bercampur dengan istighfar. Sebuah pekik yang menjadi awal dari tekad untuk berjuang merebut kemerdekaan yang sejati. Itulah satu-satunya kemerdekaan yang layak dirayakan di hadapan langit.