Lebih Dari Sekadar Status di KTP
Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Katanya. Kita semua setuju. Mereka mencerdaskan anak-anak bangsa di dalam kelas-kelas yang pengap, dengan gaji yang seringkali tidak seberapa.
Tapi ada pahlawan lain. Pahlawan yang lebih sunyi. Pahlawan yang melahirkan dan membesarkan para guru, para insinyur, para presiden, bahkan para pahlawan itu sendiri.
Dia adalah ibu rumah tangga. Pahlawan Peradaban.
Lalu anda iseng melihat Kartu Tanda Penduduk. Dokumen paling resmi yang mendefinisikan siapa diri anda di mata negara. Anda lihat kolom pekerjaan. Di sana ada pilihan: Karyawan Swasta, Wiraswasta, Pelajar/Mahasiswa, bahkan Presiden dan Menteri. Tapi tidak ada “Ibu Rumah Tangga”.
Apakah ini sebuah penghinaan? Atau sekadar kealpaan birokrasi yang dingin? Pertanyaan yang lebih menusuk: apakah negara tidak menganggap peran ini sebagai sebuah “pekerjaan”?
Mungkin memang benar. Ini bukan pekerjaan. Karena menyebutnya “pekerjaan” adalah sebuah penghinaan yang sesungguhnya. Itu adalah Maqam. Sebuah kedudukan mulia. Sebuah amanah strategis dalam arsitektur peradaban.
Esai ini bukan keluhan. Ini adalah pembelaan.
Melampaui Definisi “Pekerjaan”: Kontrak Langsung dengan Allah
Ketika kita bicara tentang “pekerjaan”, otak kita langsung lari ke definisi duniawi. Aktivitas yang menghasilkan lembaran rupiah. Punya jam masuk dan jam pulang. Punya bos yang bisa marah-marah. Punya KPI yang bisa diukur dengan angka.
Di situlah letak kekeliruannya.
Memaksa peran ibu rumah tangga masuk ke dalam kotak sempit itu justru merendahkannya. Karena perannya melampaui semua batasan fana itu. Dari kacamata Islam, menjadi ibu rumah tangga bukanlah profesi. Ini adalah maqam, sebuah kedudukan terhormat yang tiketnya langsung dari Allah. Amanah yang imbalannya bukan gaji bulanan, melainkan surga.
Kontraknya bukan dengan perusahaan multinasional. Kontraknya langsung dengan Allah.
Seorang pegawai digaji dengan upah. Bonusnya tunjangan hari raya. Seorang ibu rumah tangga, “gaji”-nya adalah pahala yang mengalir deras tanpa henti. Setiap tetes peluh saat mengepel lantai, setiap helaan napas penuh sabar saat menghadapi tangis anak, setiap piring nasi hangat yang dihidangkan untuk keluarga, adalah ibadah. Dicatat tanpa alpa oleh malaikat Raqib dan Atid.
Rasulullah Muhammad bersabda, “Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah). Semua yang dia lakukan untuk keluarganya bernilai sedekah.
“Bonus”-nya adalah Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Ketenangan, cinta, dan kasih sayang yang menyelimuti rumah. Dia adalah pilar yang membuat sebuah bangunan dari batu bata menjadi “surga sebelum Surga”. Seperti firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 21, “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya (litaskunū ilaihā)…” Tenteram. Itulah bonusnya.
Lalu “dana pensiun”-nya? Bukan pesangon yang habis dalam hitungan tahun. Dana pensiunnya adalah Amal Jariyah. Doa dari anak-anak saleh yang menembus tujuh lapis langit, yang tidak akan pernah berhenti bahkan setelah jasadnya menyatu dengan tanah. Sebagaimana janji Rasulullah Muhammad, doa anak yang saleh tidak akan terputus.
Kolom KTP hanya mampu mencatat transaksi dunia. Dia tidak akan pernah bisa mengukur transaksi akhirat.
Bukan Sekadar Manajer, tapi “Rabbaitul Bait”
Dalam Islam, seorang ibu tidak hanya disebut Ummun (ibu). Dia juga menyandang gelar Rabbatul Bait. Pemimpin rumah tangga. Perhatikan kata itu: Rabbah. Akarnya sama persis dengan Rabb. Tuhan, Sang Pemelihara, Sang Pendidik.
Tentu bukan untuk menyekutukan. Ini adalah kiasan agung. Sebuah penegasan bahwa dia adalah penanggung jawab utama atas pemeliharaan, pendidikan, dan pertumbuhan di dalam “kerajaan kecil”-nya.
Rasulullah Muhammad menegaskannya, “…dan seorang wanita adalah pemimpin (rā’iyah) di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dia adalah seorang pemimpin. Jabatannya ditetapkan oleh wahyu, bukan surat keputusan direksi.
Dia adalah Arsitek Generasi. Tugasnya bukan sekadar “mengasuh anak”. Itu istilah yang terlalu dangkal. Dia sedang melakukan tarbiyah. Mendidik, membentuk, menempa jiwa. Calon pemimpin, calon ulama, calon pribadi saleh sedang dibentuk di tangannya. Tangan yang terlihat lembut mengayun buaian itu, sejatinya sedang menggetarkan pilar-pilar peradaban masa depan.
Lihatlah sejarah. Di belakang para imam besar, selalu ada ibu yang luar biasa. Ingatlah Fatimah binti Ubaidillah, ibunda Imam Asy-Syafi’i. Seorang janda miskin yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk putranya. Dia yang mendorong anaknya merantau ribuan mil demi ilmu. Dia yang menanamkan tauhid dan akhlak saat putranya masih kecil. Fatimah tidak sedang “mengurus anak”. Dia sedang menempa seorang mujtahid hebat.
Dia juga Penjaga Benteng Keluarga. Di zaman edan ini, di mana gempuran ideologi sampah dan krisis moral datang dari layar ponsel, rumah adalah benteng pertahanan terakhir. Dan ibu adalah komandannya. Dia yang menyaring tontonan. Dia yang memastikan akidah tertanam kuat. Dia yang menjadi filter pertama dan utama. Ini pekerjaan keamanan tingkat tertinggi.
Jihad di Ranah Paling Sunyi
Siapa bilang jihad hanya tentang mengangkat pedang di medan perang? Itu pemahaman yang sempit. Rasulullah Muhammad mengajarkan konsep jihad yang jauh lebih luas. Jihad terbesar, kata beliau, adalah Jihad an-Nafs. Jihad melawan diri sendiri.
Dan rumah adalah medan jihad yang sesungguhnya. Perjuangan yang paling sunyi.
Ini adalah jihad melawan kebosanan. Melakukan pekerjaan yang sama, berulang-ulang, setiap hari, setiap jam. Tanpa ada “promosi jabatan”, tanpa “penghargaan karyawan teladan”.
Ini adalah jihad melawan ego. Ketika karyanya yang maha penting tidak pernah mendapat sorotan media. Tidak pernah diapresiasi dalam bentuk piagam atau piala. Karyanya hidup, bernapas, dan berjalan di atas bumi, tapi dunia seringkali buta untuk melihatnya.
Ini adalah jihad melawan rasa lelah. Siaga 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Tidak ada cuti sakit yang dijamin undang-undang. Tidak ada libur akhir pekan. Alarm biologisnya adalah tangisan anak, bukan alarm digital.
Ini adalah jihad melawan godaan materi. Ketika dia melihat teman-teman sebayanya memamerkan jabatan mentereng, perjalanan dinas ke luar negeri, dan slip gaji yang tebal. Sementara dia berjibaku dengan popok dan masakan di dapur.
Kesabarannya dalam menjalankan semua ini adalah jihad. Sebuah perjuangan yang nilainya bisa jadi setara dengan mereka yang berjuang di luar rumah.
Asma binti Yazid Al-Anshariyah, seorang wanita cerdas, pernah datang kepada Rasulullah Muhammad. Dia menjadi juru bicara kaumnya. “Wahai Rasulullah,” katanya, “Kaum laki-laki mengalahkan kami dalam banyak keutamaan. Mereka shalat Jumat, mengantar jenazah, dan berjihad. Saat mereka pergi, kami yang menjaga harta dan mendidik anak-anak mereka. Apakah kami mendapat pahala yang sama?”
Rasulullah Muhammad berpaling kepada para sahabatnya, terkesan. “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih baik dari ini?”
Lalu beliau menjawab Asma, “Pahamilah, dan sampaikan kepada wanita-wanita di belakangmu, bahwa ketaatan seorang istri kepada suaminya, usahanya mencari keridhaan suami… itu semua dapat mengimbangi seluruh amal mereka.”
Asma pulang dengan wajah berseri. Hatinya lapang. Dia mengerti.
Kemuliaan yang Tidak Butuh Pengakuan Birokrasi
Jadi, ketika selembar KTP tidak menyediakan kolom “Ibu Rumah Tangga”, jangan pernah berkecil hati. Anggap saja ini pengakuan paling jujur dari negara. Sebuah pengakuan tersirat bahwa peran anda terlalu agung, terlalu luas, terlalu suci untuk didefinisikan oleh kotak sempit birokrasi.
Negara kehabisan kata-kata.
Birokrasi hanya mencatat apa yang tampak oleh mata dan bisa diukur dengan angka. Peran seorang ibu rumah tangga dicatat oleh pena para malaikat dan akan diukur dengan timbangan Mizan di akhirat kelak.
Pekerjaan lain membangun gedung pencakar langit, jalan tol, dan sistem ekonomi. Seorang ibu rumah tangga membangun fondasinya: manusia, keluarga, dan peradaban. Tanpa karyanya, semua bangunan fisik itu akan menjadi reruntuhan kosong tak bermakna, yang dihuni oleh generasi yang hilang arah.
Anda bukan “tidak bekerja”. Anda memegang pekerjaan paling fundamental yang menjadi fondasi bagi semua pekerjaan lainnya di dunia. Banggalah!