Dari Sabang Sampai Gaza
Tujuh belas Agustus tahun dua ribu dua puluh lima. Catat tanggal itu. Di seluruh penjuru negeri, dari Sabang sampai Merauke, spanduk-spanduk akan terpasang. Tiang-tiang bendera akan berdiri gagah. Indonesia akan berusia 80 tahun. Sebuah angka yang bulat, sebuah usia yang matang.
Di hari yang sama, di secuil tanah bernama Gaza, sebuah genosida sudah berjalan 680 hari. Angka yang ganjil, angka yang berdarah. Di sana, nyawa manusia lebih murah dari nyawa nyamuk yang berdengung di telinga kita saat malam hari.
Dua angka, dua dunia. Satu merayakan hidup, satu lagi dipaksa mencicipi kematian setiap detik. Lalu muncul satu pertanyaan kurang ajar di tengah riuh rencana perayaan: pantaskah kita berpesta? Pantaskah kita tertawa dan menggelar lomba panjat pinang, sementara di belahan bumi lain, saudara kita memanjat reruntuhan untuk mencari jasad anak-anak mereka?
Ini bukan soal merusak hari bahagia. Ini soal menguji kewarasan.
Lingkaran Setan, Lingkaran Abadi
Pemerintah sudah merilis logo resmi HUT RI ke-80. Angka “8” dan “0” yang saling terhubung, katanya, membentuk simbol infinity. Tak terhingga. Filosofi yang indah, tentu saja. Melambangkan perjalanan panjang, harapan yang tidak pernah putus, Indonesia yang terus melaju.
Tapi infinity adalah kata yang kejam jika anda melihatnya dari Gaza.
Bagi mereka, dunia memang terasa tak terhingga. Siklus tak terhingga dari bom yang jatuh, dari teriakan ibu yang kehilangan bayi, dari rasa lapar yang menggerogoti usus, dari pemerkosaan yang menjadi senjata perang. Sebuah lingkaran setan pembantaian yang tidak ada ujungnya. Kita merayakan 80 tahun dengan menikmati dunia, mereka mengalami 680 hari dunia yang terasa seperti neraka jahanam.
Lalu kita mau apa? Mengibarkan bendera lebih tinggi? Menyanyikan lagu kebangsaan lebih keras? Seolah-olah suara kita bisa menutupi jeritan mereka.
Nabi Muhammad ﷺ pernah memberi kita sebuah perumpamaan sederhana, tapi menampar. Beliau mengatakan, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang, berbelas kasihan, dan bersimpati antar mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan merasa demam dan tidak bisa tidur.”
Sekarang, coba raba kening kita. Apakah kita demam? Atau kita justru sibuk memilih baju baru untuk upacara, sementara satu bagian tubuh kita sedang diamputasi tanpa bius? Kemerdekaan kita menjadi egois jika kita tidak bisa lagi merasakan sakitnya tubuh yang lain.
Hutang yang Ditagih di Akhirat
Buka kembali buku konstitusi kita yang mulai berdebu. Baca alinea pertamanya pelan-pelan. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Ini bukan sekadar kalimat pembuka yang puitis. Ini adalah akad. Sebuah janji suci. Sebuah hutang yang dititipkan oleh para pendiri bangsa.
Dan apa implementasinya? Pemerintah? Mereka hanya bisa mengecam. Menteri luar negeri kita mungkin akan berpidato dengan berapi-api di PBB. Tapi setelah itu? Senyap. Mengecam adalah pekerjaan paling mudah di dunia. Tukang becak di ujung gang pun bisa melakukannya sambil menyeruput kopi. Tidak perlu jadi presiden atau menteri untuk itu.
Itu hutang. Dan hutang harus dibayar.
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah Muhammad ﷺ mengingatkan betapa beratnya urusan hutang. “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” Bayangkan, seorang yang mati berperang di jalan Allah, yang darahnya menjadi saksi keimanannya, masih bisa tertahan di pintu surga karena urusan utang piutang dengan manusia.
Lalu bagaimana dengan hutang sebuah bangsa? Hutang konstitusi yang diikrarkan di hadapan Allah dan sejarah bangsa? Para pemimpin negri yang mati kelak akan membawa beban hutang ini. Para pendiri bangsa akan menagihnya di akhirat. Mereka akan bertanya, “Untuk apa kami tuliskan amanah itu jika kalian hanya membacanya saat upacara?”
Sebagai bangsa yang pernah dijajah 350 tahun lebih, kita seharusnya menjadi yang paling paham. Paling mengerti bagaimana rasanya ditindas, bagaimana rasanya direndahkan di tanah air sendiri. Amnesia sejarah adalah penyakit paling memalukan.
Khalifah Umar bin Al-Khattab, saat membebaskan Yerusalem, tidak datang dengan pedang terhunus dan arogansi. Dia datang dengan seekor unta, bergantian menungganginya dengan pelayannya. Dia menulis Perjanjian Umariyyah, sebuah jaminan keamanan untuk jiwa, harta, dan gereja-gereja penduduk Nasrani. Dia menunjukkan bahwa pembebasan adalah tentang menegakkan keadilan, bukan mengganti satu tiran dengan tiran yang lain. Itulah spirit yang kita butuhkan.
Dewasa Itu Bernama Tanggung Jawab
Usia 80 tahun bukan lagi usia remaja yang labil. Ini usia dewasa. Usia di mana seseorang tidak lagi hanya memikirkan perutnya sendiri, tapi juga nasib tetangganya. Indonesia sudah cukup dewasa untuk berhenti menjadi pengekor dan mulai menjadi pionir.
Menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia bukanlah sebuah prestasi statistik untuk dibanggakan di forum-forum internasional. Itu adalah sebuah tanggung jawab. Sebuah beban. Allah tidak akan bertanya berapa jumlah kita, Dia akan bertanya apa yang kita perbuat dengan jumlah sebanyak itu.
Kitab suci Al-Quran mengingatkan kita, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar…” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Adakah kemungkaran yang lebih besar, lebih nyata, dan lebih brutal di zaman modern ini selain genosida dan penjajahan di Palestina? Diam adalah bentuk persetujuan. Mengecam adalah bentuk kemunafikan jika tidak diikuti aksi. Menjadi khaira ummah, umat terbaik, adalah sebuah kata kerja, bukan kata benda.
Tapi lupakan sejenak soal agama. Lupakan soal Baitul Maqdis atau status umat terbaik. Karena untuk peduli pada Palestina, engkau tidak perlu menjadi seorang Muslim. Kau hanya perlu menjadi seorang manusia. Manusia yang masih punya hati nurani. Manusia yang mengerti bahwa membunuh anak-anak adalah perbuatan iblis, tidak peduli apa pun agamanya.
Proklamasi Ulang Bernama Aksi
Jadi, apa yang harus kita lakukan pada 17 Agustus 2025 nanti? Batalkan perayaan? Tidak! Tapi ubah perayaan itu.
Sudah saatnya kita melakukan “proklamasi ulang”. Bukan dengan membacakan kembali naskah tua di depan istana. Tapi dengan memproklamasikan sikap dan kebijakan baru yang berani di panggung dunia. Ubah seremoni menjadi sebuah transformasi. Ubah perayaan nasional yang egosentris menjadi katalisator perubahan internasional.
Proklamasi ulang itu adalah:
Satu, memproklamasikan kebijakan luar negeri yang tidak lagi bermain aman. Pimpin koalisi global untuk memberikan sanksi ekonomi dan diplomatik yang nyata kepada penjajah zionis yahudi israel dan para pendukungnya.
Dua, memproklamasikan pengiriman bantuan kemanusiaan terbesar dalam sejarah bangsa ini, yang dikawal oleh kekuatan negara, bukan sekadar sumbangan receh dari rakyat.
Tiga, memproklamasikan perang diplomatik habis-habisan di PBB, OKI, dan setiap forum yang ada untuk memperjuangkan kedaulatan penuh Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Kemerdekaan ini akan benar-benar bermakna jika digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain. Jika tidak, perayaan 80 tahun ini hanyalah perayaan sebuah kebebasan yang egois. Sebuah pesta di atas kuburan massal. Sebuah bangsa besar yang lupa pada janji luhurnya sendiri.
Inilah saatnya membayar hutang itu. Sebelum para pendiri bangsa dan, terutama Allah Sang Tuhan Yang Maha Esa, menagihnya dari kita.