Bukan Dewa-Dewa, tapi Tuhan yang Maha Esa
Bangsa ini mengenal satu nama besar sebagai kompas pendidikannya. Ki Hajar Dewantara. Pemerintah menobatkannya sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Falsafahnya dihafal di luar kepala oleh para guru dan calon guru: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Indah, dan tidak ada yang salah dengan itu.
Dia lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Nama yang ningrat, nama yang Jawa. Lalu dia menanggalkan kebangsawanannya, memilih menjadi rakyat biasa, dan menyematkan nama baru di dadanya: Ki Hajar Dewantara. Mungkin tidak banyak yang berhenti sejenak untuk menguliti arti nama itu. Padahal, nama adalah doa.
“Ki” adalah sapaan hormat, untuk orang yang dituakan dan diilmui. “Hajar” artinya mengajar, seorang guru. Sampai di sini semua baik-baik saja. Lalu datang kata terakhir, “Dewantara”. Artinya adalah perantara para dewa. Guru yang menjadi penyambung lidah dewa-dewa.
Tentu saja, sebagai seorang muslim, kening saya berkerut. Ada yang mengganjal. Nama adalah doa, dan doa orang beriman hanya terbang menuju satu alamat: Allah. Bukan dewa-dewa, bukan perantara, bukan apa-apa selain Dia. Al-Qur’an sudah sangat tegas soal ini, sejak surah pembukanya. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5). Titik. Tidak ada ruang untuk perantara dewa.
Ini bukan soal sepele. Ini soal akidah. Soal fondasi paling dasar yang membedakan iman dengan kekufuran. Allah bahkan berfirman bahwa Dia bisa mengampuni dosa apa saja, kecuali yang satu ini. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa: 48).
Maka, dengan segala hormat pada jasa-jasa Ki Hajar Dewantara, izinkan saya mengajukan satu nama lain. Seorang pahlawan nasional yang mungkin lebih pas menjadi Bapak Pendidikan bagi mayoritas penduduk negeri ini. Namanya Mohammad Natsir. Beliau adalah Bapak Pendidikan Indonesia yang tidak resmi.
Mohammad Natsir, Arsitek Pendidikan Berbasis Iman
Siapa Mohammad Natsir? Orang mungkin mengenalnya sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia. Seorang politisi ulung, seorang orator andal. Tapi Natsir lebih dari itu. Beliau adalah seorang ulama, seorang da’i, dan yang terpenting, seorang arsitek pendidikan.
Jika Ki Hajar Dewantara punya Taman Siswa, maka Natsir punya daftar yang lebih panjang. Beliau adalah inisiator lahirnya Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Beliau membidani lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA). Tangannya ikut membentuk Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Riau, hingga Universitas Ibnu Khaldun di Bogor. Belum lagi puluhan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang beliau rintis atau dukung. Ini bukan sekadar wacana, ini adalah karya nyata. Bangunan fisik yang di dalamnya ruh Islam coba ditiupkan.
Saat beliau memegang kekuasaan sebagai perdana menteri pada tahun 1951, beliau tidak buang-buang waktu. Beliau menerbitkan kebijakan yang menjadikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Sebuah langkah visioner. Natsir sadar, tanpa agama, pendidikan hanya akan menghasilkan robot-robot pintar yang jiwanya kosong. Beliau ingin memastikan generasi Indonesia mengenal Tuhannya, tidak peduli sekolah di mana pun mereka.
Visinya mengingatkan kita pada apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu diangkat menjadi pemimpin, beliau segera mengirim surat ke seluruh gubernurnya: “Hidupkanlah ilmu (sunnah), karena aku khawatir ilmu akan lenyap dan para ulama akan wafat.” Natsir, seperti Umar, melihat bahaya di depan mata: generasi yang tercerabut dari akarnya. Dan beliau bertindak, bukan malah tersedak dengan realita.
Guru sebagai Pejuang, Bukan Korban
Sekarang kita bedah pemikirannya. Natsir pernah berkata, mengutip tokoh pendidikan Belanda Dr. G. J. Nieuwenhuis, “Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada segolongan guru yang suka berkorban untuk bangsanya.”
Kata kuncinya: berkorban. Tapi jangan salah paham. Berkorban dalam kamus Natsir bukanlah pasrah menerima nasib digaji kecil dan hidup melarat. Bukan. Pengorbanan yang beliau maksud adalah ihtisab. Sebuah semangat juang di mana seorang guru mendidik generasi dengan niat lillahi ta’ala, mengharap pahala dari Allah, bukan sekadar gaji bulanan. Ini adalah soal mentalitas pejuang, bukan mentalitas korban.
Islam menempatkan guru di posisi yang sangat mulia. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari). Menjadi pengajar adalah profesi terbaik.
Tapi di sinilah kritik sosial Natsir relevan. Pemerintah punya kewajiban mutlak untuk menyejahterakan para pejuang ini. Jangan sampai negara memaksa mereka “berkorban” dengan membiarkan dapur mereka tidak berasap. Pengorbanan harus datang dari panggilan jiwa, bukan dari keterpaksaan ekonomi. Guru harus sejahtera agar dia bisa fokus mendidik, bukan pusing mencari tambahan untuk bayar cicilan.
Tauhid, Kompas yang Hilang
Inilah puncak pemikiran Natsir. Beliau melemparkan sebuah kalimat pendek yang menusuk: “Tujuan pendidikan adalah tujuan hidup.”
Pertanyaan lanjutannya jelas: lalu apa tujuan hidup manusia? Apakah sekadar untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan? Apakah puncaknya hanya mencapai aktualisasi potensi diri seperti kata Maslow? Apakah hidup ini hanya soal mencari kerja, menikah, punya anak, lalu mati?
Natsir menjawabnya dengan quote ketiganya yang melengkapi quote kedua. Kalimat ini seharusnya dicetak tebal di semua ruang guru dan kantor kementerian. “Mengenal Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, harus menjadi dasar bagi setiap pendidikan yang kita berikan kepada generasi yang kita ajar.”
Inilah jawabannya. Tujuan hidup adalah untuk mengenal dan mengabdi kepada Allah. Pendidikan adalah jalan menuju ke sana. Allah sendiri telah menegaskannya dalam firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dhariyat: 51).
Pendidikan versi Natsir menjadikan tauhid sebagai fondasi sekaligus puncak. Ingin anak jadi dokter? Silakan. Jadi insinyur? Bagus. Jadi pengusaha kaya? Tidak masalah. Tapi semua itu harus dalam satu kerangka besar: mencari ridha Allah. Dokter yang mengobati pasien karena Allah. Insinyur yang membangun jembatan karena Allah. Pengusaha yang membuka lapangan kerja karena Allah.
Hasilnya? Lahirlah manusia paripurna. Manusia yang semakin tinggi ilmunya, semakin dalam imannya. Semakin banyak gelarnya, semakin mulia akhlaknya. Inilah buah dari pendidikan yang benar, seperti kata Allah: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS. Fatir: 28). Ilmu harusnya melahirkan rasa takut pada Tuhan, bukan kesombongan.
Pendidikan yang Membawa ke Surga
Kita menghormati sejarah. Kita menghargai jasa Ki Hajar Dewantara. Tapi kita juga harus jujur pada akidah kita. Di hadapan simbolisme “perantara dewa”, Mohammad Natsir menawarkan substansi “pengabdian kepada Allah”. Sebuah falsafah yang kokoh, jernih, dan selaras dengan denyut nadi mayoritas bangsa ini.
Sudah saatnya kita, para pendidik, orang tua, dan pemangku kebijakan, kembali kepada cetak biru pendidikan yang digariskan Natsir. Pendidikan yang tidak berhenti pada urusan dunia, tapi membentang hingga ke akhirat. Pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan otak, tapi juga menyucikan hati.
Pendidikan bukan sekadar untuk hidup, tapi untuk menghidupkan jiwa menuju Sang Pencipta, Allah ta’ala.
Topp
Kwkwkw! Makasi ustadz, barokallohu fikum 🙂