by

Dua Saja Kunci Sukses

Sebuah Manual Spiritual

Hidup ini kadang terasa seperti sirkus, bukan? Semua orang sibuk berakrobat di atas tali, mengejar tepuk tangan yang kadang tidak terdengar, atau jatuh dengan luka yang tidak terlihat. Mereka bicara “sukses”, tapi entah apa definisi pastinya. Mungkin setumpuk uang di bank? Atau kursi empuk di gedung tinggi? Atau nama yang nangkring di mana-mana? Ironisnya, banyak yang berhasil meraih itu semua, lalu mendapati diri mereka berdiri di tengah padang pasir, kering, hampa. Jadi, sukses macam apa itu?

Bagi kita yang percaya ada yang lebih dari sekadar tanah dan debu, sukses itu berbeda. Sukses bukan hanya tentang memuaskan nafsu di dunia yang fana ini. Bukan sekadar menumpuk “ini” dan “itu”. Sukses itu adalah ketika apa yang kita kejar, apa yang kita damba, sejalan dengan kehendak Dzat Yang menciptakan kita. Ia adalah simfoni antara keinginan fana dan takdir abadi. Mendapatkan dunia, ya, tapi tanpa mengorbankan akhirat. Itulah sukses yang sesungguhnya. Dan untuk meraihnya, tidak perlu jurus-jurus rumit ala buku-buku motivasi picisan. Hanya dua kunci. Dua hal sederhana, namun bertenaga, yang diajarkan dalam setiap denyut nadi Islam: Fokus dan Konsisten.

Kunci Pertama: Fokus (Mata yang Hanya Menatap Satu Bintang)

Apa itu fokus? Ini bukan sulap. Bukan pula mantra. Fokus itu sesederhana ini: mengerjakan apa yang memang harus Anda kerjakan. Bukan apa yang Anda inginkan saat ini, bukan apa yang sedang heboh di grup chat, apalagi apa yang disuruh si anu atau si itu. Hanya itu. Apa yang seharusnya Anda lakukan. Dengan seluruh tenaga, dengan seluruh pikiran, seolah dunia lain tidak ada. Inilah al-Wajhatu al-Wahidah, arah tunggal.

Dalam Islam, ini bukan sekadar filosofi. Ini adalah konsekuensi dari Tauhid. Ketika kita bersaksi Laa ilaaha illallah, kita sedang mengikrarkan sebuah komitmen: hidup hanya untuk menyembah satu Tuhan. Allah berfirman, lugas: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Ayat ini bukan opsi. Ini deklarasi tujuan hidup. Jika ibadah adalah tujuan, maka setiap tarikan napas, setiap langkah kaki, mestinya tertuju ke sana. Tanpa belok. Tanpa ragu.

Masalah kita hari ini adalah, mata kita terlalu banyak. Terlalu banyak objek yang dikejar. Kita ini gampang sekali kena virus “distraksi”. Sebut saja FOMO, Fear of Missing Out. Kegelisahan akut untuk selalu online, selalu tahu kabar terbaru, selalu mengikuti tren. Seolah jika tidak, hidup kita akan basi. Padahal, seringkali yang kita kejar itu hanya bayangan. Ilusi murahan. Al-Quran, berabad-abad lalu, sudah mengingatkan: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. Al-Hadid [57]: 20). Persis. Kita sibuk bermain, sibuk pamer, sibuk berlomba dalam hal-hal yang remeh, sampai lupa esensi.

Lalu ada Shiny Object Syndrome. Kita ini mudah sekali silau. Lihat yang berkilau sedikit, langsung melompat. Ada ide bisnis baru, langsung pindah haluan. Ada proyek baru, langsung tinggalkan yang lama. Akhirnya apa? Semuanya jadi setengah jadi. Tidak ada yang benar-benar dikuasai. Tidak ada yang jadi mahakarya. Kita jadi kolektor start-up tanpa finish-up.

Kisah para salaf adalah cermin. Imam Al-Bukhari, sang ahli hadis. Ribuan hadis dihafalnya. Ratusan ribu hadis dikumpulkannya. Bukan main-main. Beliau fokus. Konon, untuk satu hadis, beliau bisa mengulang-ulang sanad dan matannya sampai ratusan kali. Ini bukan cuma daya ingat. Ini fokus yang mengerikan. Setiap detik hidupnya diabdikan pada ilmu. Tidak ada waktu untuk hal yang tidak penting.

Maka, untuk melatih fokus, mulailah dengan membersihkan niat. Luruskan hanya untuk Allah (Niat Lillahi Ta’ala). Ini bukan basa-basi. Ini jangkar terkuat di tengah badai godaan. Kemudian, tetapkan tujuan yang jelas dan selaras dengan ridha-Nya. Jangan sekadar “ingin kaya,” tapi “ingin kaya agar bisa bangun pesantren untuk anak yatim.” Lalu, disiplinkan diri. Paksa diri Anda. Lawan keinginan instan. Jadilah nahkoda atas kapal hidup Anda, bukan penumpang yang terombang-ambing.

Kunci Kedua: Konsisten (Nafas yang Tidak Putus)

Setelah punya satu arah, kunci kedua adalah konsisten. Ini bukan cuma soal semangat di awal. Ini soal nafas yang tidak putus. Soal terus-menerus melangkah, meski diinjak kerikil, meski jalan berkelok, meski matahari membakar. Ini yang kita sebut Istiqamah. Teguh. Lurus. Tanpa henti.

Allah berfirman, sebuah ayat yang membuat Nabi Muhammad beruban: “Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat bersamamu…” (QS. Hud [11]: 112). Mengapa sampai beruban? Karena istiqamah itu berat. Ia menguji ketabahan kita saat bosan mendera, saat hasil tidak kunjung terlihat, atau saat godaan datang bak topan.

Kita ini, sayangnya, seringkali jagoan di garis start, tapi loyo di garis finish. Rasulullah Muhammad sudah memberi tahu kita obatnya: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Perhatikan! Bukan soal kuantitas yang bikin Allah cinta, tapi konsistensi. Dua rakaat shalat Dhuha setiap pagi, itu jauh lebih dicintai daripada delapan rakaat yang cuma dilakukan sekali setahun. Sedikit tapi rutin. Itu rahasianya.

Istiqamah ini adalah ujian kesabaran. Sabar dalam menjalankan perintah-Nya, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan. Lihatlah para penanam pohon. Mereka tidak hanya fokus memilih bibit terbaik. Mereka konsisten menyiraminya setiap hari, memberinya pupuk, melindunginya dari hama. Kadang pohon itu layu, kadang ada badai. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka terus konsisten. Sampai pohon itu tumbuh besar dan berbuah.

Ada kisah tentang Thabit Al-Bunani, seorang tabi’in yang sangat dikenal dengan ibadahnya. Beliau selalu shalat malam. Pernah suatu ketika, saat berwudhu untuk shalat malam, beliau tertidur. Ketika bangun, beliau merasa bersalah. Beliau pun berjanji tidak akan tidur selama sebulan penuh. Ini adalah bentuk konsistensi luar biasa dalam ibadah, sebuah tekad untuk tidak menyerah pada rasa lelah atau bosan. Ia tahu, ibadah itu bukan cuma soal mood, tapi soal konsistensi.

Maka, untuk membangun konsistensi, mulailah dari hal-hal kecil yang bisa Anda pertahankan. Baca Al-Quran satu ayat setiap hari. Bersedekah seribu rupiah setiap pagi. Jangan menunggu semangat membara. Lakukan saja. Itu akan membentuk kebiasaan, lalu kebiasaan akan membentuk karakter, dan karakter akan membentuk nasib Anda. Lalu, bangun ketahanan mental. Ingatlah janji Allah bagi mereka yang istiqamah: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (QS. Fushshilat [41]: 30). Janji ini adalah pelita, penawar lelah.

Fleksibilitas dalam Penerapan: Kapan Harus Menjinakkan Ego dan Mengganti Peta?

Fokus dan konsisten itu bukan berarti kita harus jadi robot yang bebal, anti-kritik, atau keras kepala. Justru sebaliknya. Islam mengajarkan muhasabah, introspeksi diri. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al-Hasyr [59]: 18). Ini bukan cuma audit dosa, ini juga evaluasi strategi hidup.

Kita harus berani mengevaluasi diri secara berkala. Apakah cara yang kita gunakan masih efektif? Apakah hasilnya sesuai ekspektasi? Jangan gengsi mengakui kesalahan. Jika ada jalan buntu, cari jalan lain! Memaksakan diri terus-menerus di jalan yang jelas-jelas tidak membawa hasil, hanya karena “sudah terlanjur fokus dan konsisten,” itu namanya tolol, bukan istiqamah.

Lalu, terbukalah pada kritik dan nasihat. Rasulullah Muhammad bersabda: “Agama itu nasihat.” (HR. Muslim). Nasihat dari orang lain itu adalah cermin yang tidak pernah berbohong. Mungkin kita punya blind spot. Orang lain melihat lebih jelas. Terimalah dengan lapang dada. Saring. Ambil intinya. Umar bin Al-Khattab, sang Khalifah yang gagah, pernah berdoa, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kekuranganku.” Jika beliau saja mau dikritik, siapa kita ini?

Dan ya, ada saatnya Anda memang harus mengubah tujuan. Ini bukan berarti menyerah pada kegagalan. Ini adalah sebuah hikmah. Mungkin tujuan awal sudah tidak relevan, atau Allah membuka pintu lain yang jauh lebih baik, lebih mulia. Ingatlah kisah hijrah Nabi Muhammad. Beliau fokus dan konsisten berdakwah di Mekkah selama 13 tahun. Segala upaya telah dilakukan, segala cobaan telah dilalui. Tapi ketika kondisi sudah buntu di Mekkah, dan ada kesempatan emas untuk dakwah yang lebih luas di Madinah, beliau tidak ngotot bertahan. Beliau “mengganti medan perjuangan,” demi tujuan dakwah yang lebih besar. Ini bukan menyerah, ini kecerdasan strategis yang diberkahi.

Maka, jika Anda merasa stuck, jika jalan terasa buntu, berdoalah Istikharah. Mohon petunjuk Allah. Apakah ini memang saatnya ganti peta? Atau hanya perlu lebih sabar dan konsisten? Perubahan itu harus didasari ilmu, pertimbangan matang, dan yang terpenting, petunjuk dari Dzat Yang Maha Tahu segalanya. Jangan gegabah, tapi jangan juga keras kepala.

Inilah Sukses Sejati

Pada akhirnya, sukses sejati, dalam kamus seorang Muslim, adalah keberkahan yang menghantarkan kita pada ridha Allah di dunia, dan kemudian ke Jannah-Nya. Itu bukan sekadar deretan angka atau tumpukan benda, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang tidak ada habisnya. Dan untuk menapaki jalan itu, kita hanya butuh dua kunci yang telah diwariskan: Fokus dan Konsisten.

Fokuskan hati dan tujuan Anda hanya pada Allah, buang jauh-jauh segala godaan dunia yang melenakan. Jadikan Tauhid sebagai kompas abadi. Lalu, konsistenlah. Bergerak terus, meski pelan, meski tidak ada yang memuji, meski hanya setitik. Karena yang sedikit tapi rutin itu, justru lebih berarti di sisi-Nya.

Kedua kunci ini bukan cuma teori. Ini manual hidup. Dan jangan lupa, di tengah fokus dan konsistensi itu, kita juga harus fleksibel. Berani mengevaluasi diri, berani mendengarkan kritik, bahkan berani mengubah arah jika memang Allah membuka jalan yang lebih baik. Itu bukan tanda kelemahan, itu tanda kebijaksanaan.

Mari kita pegang erat dua kunci ini. Tanamkan dalam jiwa, wujudkan dalam setiap gerak. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk fokus pada kebenaran, konsisten dalam ketaatan, hingga kita meraih kemenangan sejati yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Aamiin.

Write a Comment

Comment