Selamat tapi,,
Hari ini adalah hari yang istimewa. Hari yang penuh makna. Hari wisuda kalian. Saya melihat senyum bahagia terpancar di wajah kalian. Saya melihat kebanggaan di mata orang tua kalian. Dan saya turut berbahagia atas pencapaian luar biasa ini.
Selamat. Sekali lagi selamat untuk kalian semua, barokallohu fikum.
Tapi izinkan saya berbagi refleksi penting. Wisuda ini bukan titik akhir perjalanan. Ini adalah titik awal yang sesungguhnya. Wisuda hanyalah prosesi simbolis. Kelulusan hanyalah formalitas administratif.
Yang sejati adalah komitmen kalian untuk terus belajar. Karena dalam Islam, menuntut ilmu adalah kewajiban seumur hidup yang tidak pernah berakhir.
Mari kita renungkan bersama makna sesungguhnya dari perjalanan yang baru saja kalian tempuh.
Wisuda: Simbol Pencapaian, Bukan Akhir Perjalanan
Apa makna wisuda? Wisuda adalah perayaan. Pengakuan atas kerja keras kalian. Apresiasi terhadap dedikasi yang telah kalian berikan. Tapi wisuda bukanlah destinasi final.
Wisuda adalah graduation, yang secara harfiah berarti “langkah demi langkah.” Ini menandakan bahwa kalian telah menyelesaikan satu tahap untuk kemudian melangkah ke tahap berikutnya.
Para ulama memberikan panduan yang jelas: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.”
Nasihat ini bukan sekadar anjuran. Ini adalah perintah yang mengikat setiap muslim. Perintah untuk tidak pernah berhenti belajar selama hayat masih dikandung badan.
Sistem pendidikan modern sering menciptakan ilusi bahwa pendidikan berakhir di bangku sekolah atau universitas. Padahal, pendidikan sejati justru dimulai ketika kita terjun ke dalam kehidupan nyata.
Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Isra: 85).
Ayat ini mengingatkan kita akan keterbatasan pengetahuan manusia. Betapa pun tinggi pendidikan kita, ilmu yang kita miliki masih sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang tidak terhingga.
Imam Ahmad bin Hambal, bahkan di usia 80 tahun, masih membawa tinta dan pena ke mana-mana. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab: “Bersama tinta sampai masuk kuburan.”
Inilah spirit seorang pembelajar sejati. Tidak pernah merasa cukup. Selalu haus akan pengetahuan baru.
Dua Amanah Mulia: Mengajar dan Mengamalkan
Dengan ilmu yang kalian miliki, kalian kini memikul dua amanah besar. Dua tanggung jawab yang mulia dan tidak bisa diabaikan.
Amanah pertama adalah mengajarkan ilmu.
Ini bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban. Rasulullah Muhammad bersabda: “Siapa menyembunyikan ilmu yang bermanfaat bagi manusia, Allah akan mengekangnya di hari kiamat dengan kekang dari api neraka.”
Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya tanggung jawab kita terhadap ilmu. Menyembunyikan ilmu yang bermanfaat adalah dosa besar. Sementara di sekitar kita masih banyak yang membutuhkan pencerahan, kita tidak boleh pelit berbagi pengetahuan.
Mengajar di sini tidak terbatas pada setting formal di dalam kelas. Kalian bisa mengajar di mana saja. Di rumah kepada keluarga. Di tempat kerja kepada rekan-rekan. Di masyarakat kepada sesama warga. Yang penting adalah semangat untuk berbagi dan mencerdaskan.
Amanah kedua adalah mengamalkan ilmu.
Ini bahkan lebih fundamental dari mengajar. Mengamalkan ilmu adalah implementasi konkret dari pengetahuan yang kita miliki. Untuk apa kita belajar bertahun-tahun jika tidak dipraktikkan dalam kehidupan?
Allah sangat tegas mengecam mereka yang tidak mengamalkan ilmunya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash-Shaff: 3).
Imam Asy-Syafi’i berkata dengan bijak: “Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah.” Tampak indah tapi tidak memberikan manfaat.
Jangan sampai kalian menjadi akademisi menara gading yang jauh dari realitas. Jadilah praktisi ilmu yang memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan peradaban.
Keberkahan Ilmu: Karunia bagi yang Beradab
Ada dimensi spiritual dalam ilmu yang sering terlupakan dalam diskusi akademik kontemporer. Dimensi yang disebut keberkahan atau barakah.
Pernahkah kalian memperhatikan fenomena ini? Dua orang bisa memiliki kualifikasi akademik yang sama, bahkan dari universitas yang sama. Tapi yang satu ilmunya berkah; produktif, bermanfaat, memberikan dampak positif yang luas. Sementara yang lain tidak; kering, steril, bahkan kadang merugikan.
Apa yang membedakan keduanya? Jawabannya adalah adab.
Keberkahan ilmu hanya diberikan Allah kepada mereka yang beradab kepada guru dan menghormati ilmu itu sendiri.
Imam Abdullah ibnul Mubarok memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau berkata: “Aku mempelajari adab selama 30 tahun dan mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Subhanallah! Adab dipelajari lebih lama dari ilmu itu sendiri. Mengapa? Karena adab adalah kunci untuk mendapatkan keberkahan ilmu.
Ada kisah yang sangat menyentuh tentang adab Imam Asy-Syafi’i kepada gurunya, Imam Malik. Ketika belajar di hadapan sang guru, Imam Asy-Syafi’i tidak pernah membalik halaman kitab dengan suara keras karena takut mengganggu. Bahkan ketika Imam Malik batuk, Imam Syafi’i langsung diam dan menunggu hingga gurunya selesai.
Begitulah adab seorang murid yang sejati. Dan Allah memberkahi ilmu Imam Asy-Syafi’i sehingga bermanfaat hingga hari ini. Madzhab fiqhnya masih dipelajari dan diamalkan di seluruh dunia.
Kalian ingin ilmu kalian berkah? Pelajarilah adab. Hormatilah guru-guru kalian. Rendah hatilah dengan pengetahuan yang kalian miliki. Karena kesombongan adalah musuh terbesar keberkahan ilmu.
Refleksi Bangsa: Kekayaan Intelektual, Kemiskinan Moral
Mari kita melakukan refleksi jujur tentang kondisi bangsa kita. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan sumber daya manusia yang cerdas. Setiap tahun, universitas-universitas di tanah air meluluskan ribuan sarjana. Magister dan doktor juga bertambah. Profesor pun tidak sedikit jumlahnya.
Namun pertanyaannya: mengapa bangsa yang kaya akan intelektual ini masih menghadapi berbagai persoalan moral? Mengapa korupsi masih merajalela? Mengapa ketidakjujuran masih menjadi budaya di berbagai sektor kehidupan?
Jawabannya sederhana namun menyakitkan: kita tidak kekurangan orang pintar, tetapi kita sangat kekurangan orang jujur.
Orang pintar yang tidak jujur justru lebih berbahaya daripada orang bodoh yang jujur. Mengapa? Karena mereka memiliki kemampuan untuk menyembunyikan kejahatan dengan cara yang canggih. Mereka bisa memanipulasi sistem, memutar fakta, dan menciptakan justifikasi yang tampak logis untuk tindakan yang merusak.
Lihatlah kasus-kasus korupsi besar di negeri ini. Pelakunya bukanlah orang-orang yang tidak berpendidikan. Mereka adalah orang-orang dengan gelar tinggi yang menggunakan kecerdasan mereka untuk merugikan bangsa dan negara.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Orang yang berilmu tanpa akhlak seperti orang buta yang membawa obor, menerangi orang lain tetapi dia sendiri berada dalam kegelapan.”
Inilah tragedi sistem pendidikan kita. Kita berhasil mencetak orang-orang yang cerdas secara intelektual, tetapi gagal membentuk karakter yang mulia. Kita sukses mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi lalai membangun integritas moral.
Jangan sampai kalian menjadi bagian dari masalah ini. Jadilah bagian dari solusi. Jadilah generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga mulia secara moral.
Meluruskan Orientasi: Ilmu Sebagai Sarana Tazkiyah
Tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi tinggi dalam pendidikan. Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke luar negeri, adalah hal yang patut dipuji. Mengejar karier yang cemerlang juga tidak dilarang dalam Islam.
Namun yang paling penting adalah meluruskan niat dan orientasi hidup. Niat adalah ruh dari segala amal. Rasulullah Muhammad bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”
Niat yang salah akan merusak seluruh perjalanan hidup. Sebaliknya, niat yang benar akan memberkahi setiap langkah yang kita ambil.
Ilmu yang diniatkan untuk mencari ridha Allah akan menghasilkan empat transformasi fundamental dalam diri kalian:
Pertama, taqwa kepada Allah. Semakin mendalam ilmu yang kalian miliki, semakin menyadari kebesaran Allah dan kelemahan diri kalian sendiri. Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Fathir: 28).
Kedua, kecintaan kepada Rasulullah. Semakin banyak kalian belajar, semakin memahami kesempurnaan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Semakin mengagumi akhlak mulia beliau dan semakin rindu untuk mengikuti jejaknya.
Ketiga, berbakti kepada orang tua. Ilmu yang berkah akan membuat kalian semakin menghargai dan menyayangi orang tua. Karena kalian menyadari betapa besar pengorbanan mereka dan betapa susah payahnya mereka membiayai pendidikan kalian.
Keempat, berbuat baik kepada sesama. Ilmu yang benar akan melunakkan hati kalian terhadap sesama makhluk Allah. Membuat kalian tidak sombong, tidak merendahkan orang lain, justru semakin ingin berbagi kebaikan dan manfaat.
Jika ilmu yang kalian pelajari tidak menghasilkan empat transformasi ini, maka ada yang perlu dibenahi dalam cara kalian menuntut ilmu. Ada yang perlu diperbaiki dalam niat dan metodologi pembelajaran kalian.
Pesan Penutup: Harapan Seorang Pendidik
Sebagai guru yang telah menemani perjalanan kalian, saya memiliki harapan besar. Harapan bahwa kalian akan menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Generasi yang tidak hanya sukses secara material, tetapi juga bahagia secara spiritual.
Kalian adalah alumni lembaga pendidikan yang mulia ini. Kalian membawa nama baik institusi yang telah membesarkan kalian. Jadilah kebanggaan kami. Jadilah manusia-manusia yang bermanfaat bagi peradaban.
Ingatlah selalu bahwa belajar adalah ibadah yang tidak pernah berakhir. Jangan pernah merasa sudah cukup pintar. Teruslah belajar, teruslah berkembang, teruslah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Ketika kalian telah meraih kesuksesan di masa depan, jangan lupakan akar kalian. Jangan lupakan guru-guru yang telah mendidik dengan penuh kesabaran. Jangan lupakan lembaga yang telah menjadi rumah kedua kalian.
Dan yang terpenting, jangan pernah melupakan Allah. Karena hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram dan hidup menjadi bermakna.