Mari belajar dari kisah Nabi Yusuf yang bermimpi matahari, bulan, dan 11 bintang sujud kepadanya. Nabi Ya’qub, ayahnya, memintanya merahasiakan mimpi itu. Kenapa? Karena ada bahaya di balik kejujuran yang terlalu polos. Rasa iri, dengki, dan hasad bisa mengintai siapa saja, bahkan di antara saudara. Nabi Ya’qub tahu, ada hikmah dalam menjaga rahasia, ada keamanan dalam kebijakan. Namun, saudaranya tetap iri, merencanakan kejahatan meski mimpi itu disembunyikan.
Kini, di zaman media sosial, kita seolah terobsesi untuk memberitahu dunia tentang setiap detik hidup kita. Semua dipamerkan, mulai dari kebahagiaan, kesuksesan, sampai hal-hal kecil yang sebenarnya mungkin lebih baik disimpan. Apakah salah? Tidak, tetapi bisa mengundang iri, dengki, dan hasad. Bahkan, bisa membuka celah bagi ‘ain, yang nyata dan berbahaya. Rasulullah bersabda, “’Ain itu benar adanya, dan jika ada sesuatu yang mendahului takdir, maka ‘ain-lah yang akan mendahuluinya.” (HR. Muslim). ‘Ain adalah pengaruh negatif dari pandangan iri atau kagum seseorang yang dapat merusak tubuh, barang, atau kehidupan seseorang. Dalam bentuk yang lebih buruk, bisa berujung pada sihir.
Manusia modern sering lupa bahwa di balik setiap unggahan, ada pandangan-pandangan yang tidak selalu bersahabat. Rasulullah bersabda, “Pandangan mata itu seperti panah beracun dari pandangan hasad.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Bagaimana jika setiap postingan kita di media sosial adalah seperti menyalakan api di padang rumput kering? Mengundang pandangan iri, dengki, hingga mungkin yang lebih buruk? Bahkan Allah memerintahkan kita untuk berlindung dari sihir dan kejahatan mata yang iri melalui doa dan dzikir setiap pagi, sore, dan malam. Sebab, iri adalah hal yang nyata, yang dapat mendatangkan mudharat.
Lalu, apakah kita harus hidup dalam ketakutan? Tentu tidak. Islam mengajarkan kita untuk tidak takut kepada sihir atau ‘ain, tapi kita juga tidak boleh mengundang bahaya dengan mengumbar setiap kenikmatan yang dimiliki. Allah berfirman, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Duha: 11). Namun, menyebut di sini adalah dengan cara yang bijak, bukan dengan pamer.
Maka, waspada bukan berarti takut. Rasulullah bersabda, “Sembunyikanlah pemenuhan hajat kalian, karena setiap yang memiliki nikmat akan didengki.” (HR. Ath-Thabrani). Ini bukan ajakan untuk hidup dalam ketakutan, tapi untuk hidup dalam kesadaran. Bahwa ada batas antara syukur dan pamer, antara merayakan dan mengundang iri. Seperti Nabi Yusuf yang menyimpan mimpinya, kita pun diajarkan untuk menjaga nikmat agar tetap aman dari pandangan-pandangan yang bisa mengundang mudharat.
Sebab, tidak semua nikmat harus diumbar. Ada nikmat yang cukup kita jaga dalam diam dan rasa syukur, agar ia tetap membawa berkah dan terhindar dari gangguan iri dan dengki. Dalam menjaga diri, kita menjaga hati, dan pada akhirnya, kita menjaga amanah yang telah Allah berikan kepada kita. Terkadang, lebih baik menikmati tanpa selalu harus berbagi. Karena tak semua senyum di balik layar itu tulus, tak semua mata yang melihat itu penuh kagum. Allah mengingatkan dalam surah Al-Falaq untuk berlindung dari segala kejahatan yang tersembunyi. Maka, bijaksanalah, tidak semua nikmat harus menjadi kabar dunia, karena sesungguhnya, ada ketenangan dalam diam.
Mengumbar segala nikmat di media sosial mungkin terasa seperti cara untuk merayakan hidup, tapi bisa juga menjadi jalan untuk mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. Nabi Yusuf memilih merahasiakan mimpi yang menjadi wahyu, bukan karena takut, tapi karena memahami bahwa ada hikmah di balik sikap diam. Mungkin kita juga perlu belajar, bahwa tidak semua hal harus dibagi, tidak semua kebahagiaan harus dipamerkan. Sebab, pada akhirnya, kebijaksanaan adalah bagian dari iman, dan menjaga diri dari bahaya yang tidak perlu adalah bagian dari akhlak yang mulia.