Malam itu, malam Ahad, kami sekeluarga berjalan di trotoar Alun-Alun Kota Malang, menikmati lampu-lampu yang katanya mirip Malioboro. Anak saya, dengan kepolosannya, menanyakan tentang gereja yang ia lihat. “Baba, itu tempat ibadah orang kafir?” tanyanya, dan saya menjawab, “Iya.” Sampai di situ, mungkin cerita ini masih biasa-biasa saja, seperti potongan kecil dari kehidupan sehari-hari.
Namun, ketika pulang, ia menunjuk seorang perempuan tanpa jilbab, dan dengan lantang menyebut, “Kamu kafir!” Ah, seketika suasana berubah. Sang perempuan menoleh, terkejut, dan dengan nada penuh kejengkelan menasihati, “Belajar lagi, ya.” Saya hanya merespons dengan tawa, sambil mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Ibunya menegur, dan anak saya tampak lesu, merasa bingung mungkin.
Anak-anak, mereka belajar dari apa yang mereka dengar, lihat, dan alami setiap hari. Mereka tidak tahu batas, tidak paham konsekuensi. Mereka menerima dunia dengan caranya sendiri yang begitu jujur. Tapi, kejujuran yang polos itu kadang bisa melukai. Benarlah apa yang disebutkan Allah di dalam Al-Quran, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53).
Refleksi ini bukan soal benar atau salah, tetapi bagaimana kita memandang dunia dengan kebeningan hati dan kebijaksanaan. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan, “Dan janganlah engkau memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108). Mengajarkan anak-anak soal iman perlu, tapi lebih penting adalah menanamkan kasih sayang dalam menyampaikan kebenaran.
Malam itu, anak saya mengajarkan saya sesuatu yang lebih besar dari sekadar tentang siapa kafir dan siapa muslim. Ini tentang bagaimana kita memandang dunia, bagaimana kita menyampaikan kebenaran. Seorang ulama besar, Al-Hasan Al-Bashri, pernah berkata, “Barangsiapa yang tidak menginginkan kebaikan kepada manusia, dia adalah manusia yang paling jauh dari Allah.” Anak saya memang semangat, tapi dunia tidak selalu menyukai apa yang kita sampaikan dengan cara yang salah.
Mengapa kita tidak mencoba merangkul dengan hikmah? Seperti yang diajarkan Nabi Muhammad, ketika beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari). Dalam konteks ini, kita belajar untuk mencintai sesama manusia, berusaha memahami perbedaan tanpa memandang rendah, dan selalu berusaha berakhlak baik, karena akhlak adalah cermin dari keimanan.
Saya belajar malam itu, tentang pentingnya mengajarkan bukan hanya kebenaran, tetapi juga kebijaksanaan. Dunia tidak dibangun dengan kata-kata kasar, atau dengan tudingan, atau dengan hujatan. Tapi dengan pemahaman, dengan kesabaran, dan dengan kasih sayang. Biarlah anak belajar, tetapi tugas kita adalah mendampinginya, memastikan bahwa ia tahu bagaimana menghidupkan iman di dalam hatinya tanpa memadamkan cahaya di hati orang lain.
Anak saya, dalam keterbatasannya, telah mengajarkan saya bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi penanaman akhlak yang baik. Kita sebagai orang tua dan guru memiliki tanggung jawab untuk mendampingi mereka tumbuh dengan semangat untuk memahami, bukan menghakimi. Kita perlu menanamkan semangat kebaikan, kelembutan, dan kasih sayang, agar mereka tumbuh menjadi manusia yang memancarkan cinta, bukan kebencian. Inilah tantangan kita: membentuk generasi yang teguh dalam iman, namun lembut dalam perilaku; kuat dalam keyakinan, namun bijak dalam bertindak.
Karena sejatinya, iman itu seperti pohon yang rindang: akarnya kokoh di bumi, cabangnya menjulang ke langit, dan buahnya manis untuk dinikmati. Semoga kita bisa menumbuhkan pohon-pohon iman seperti ini dalam diri anak-anak kita.
(Kafir adalah label yang teramat buruk. Buktinya orang kafir sekali pun emoh dipanggil kafir.)