Kisah Kamu Kafir (Anakku Radikal)
Pernah di malam ahad kami sekeluarga jalan-jalan di trotoar dekat katedral alun-alun. Trotoarnya dan lampu jalannya mirip di Malioboro, katanya. Lalu si anak laki tanya apa bangunan besar itu tempat ibadahnya orang kafir. Sambil nunjuk gereja besar. Saya jawab iya. Bosan dan ngantuk, kami pulang. Ketika berjalan pulang ada sekelompok manusia sedang memfoto gereja. Satu berjilbab, satu tidak berjilbab, satu berambut super cepak. Tetiba si anak laki menunjuk wanita tanpa jilbab dan berkata, “Kamu kafir!” Sontak si wanita bilang “apa dek” 2X dan ditutup dengan nasehat (atau kecaman) “belajar lagi ya”. Saya respon dengan iya dan tawa. Tapi ibunya anak-anak menegur sehingga si anak laki sempat down gitu deh.
Morals of the story:
1. Predikat kafir itu jelek. Saking jeleknya orang kafir sendiri tidak mau dibilang kafir. (Makanya masuk Islam biar tidak disebut kafir.)
2. Semangat anak saya patut diapresiasi. Tapi caranya salah. Mungkin si cewek adalah muslimah yang tidak berjilbab. Kalaupun dia kafir, tidak perlu juga diperlakukan seperti itu.
3. Beware! Children’s feeling is fragile.