by

Hamil Duluan, Siapa yang Benar?

Tersebutlah sebuah berita di awal 2023 yang mengusik benak: “15 ribu anak ajukan dispensasi menikah di Jawa Timur, 80% hamil duluan.” Jumlah itu, bagai buih di permukaan air yang tenang, hanya terlihat di permukaan. Di bawahnya, statistik yang tidak terpublikasikan jauh lebih mengerikan. Hukum alam dan sosial kadang berjalan dalam diam. Kita tahu ada yang lebih besar, yang menggerogoti pondasi moral di bawah sana. Tapi mari kita kesampingkan dulu soal “dispensasi menikah”. Istilah itu hanya kosmetik sosial untuk menutupi borok yang lebih dalam. Yang lebih relevan untuk dibahas ialah soal “hamil duluan”.

Pertanyaannya sederhana, ini semua salah siapa?

Untuk memahami benang kusut ini, kita harus membuka pintu demi pintu, dari ruang jiwa hingga ruang sosial, dan mencari siapa yang memegang kunci jawabannya. Namun, satu hal yang pasti, mencari siapa yang salah tentu bukan untuk saling menyalahkan. Tapi untuk memahami di mana rantai kelemahan ini dimulai, dan bagaimana kita bisa memperbaikinya.

Anak Baligh Tapi Tidak Tamyiz

Mari kita mulai dari dasar. Sebelum kita tunjuk jari pada siapa pun, kita harus bertanya: “Apa yang hilang dari anak-anak kita?” Jawabannya: Iman dan ilmu. Dua bekal yang semestinya menjadi pondasi bagi mereka untuk menjalani hidup. Ketika anak-anak ini memasuki masa baligh, tubuh mereka tumbuh besar. Tapi apakah jiwa mereka ikut dewasa? Belum tentu. Mereka baligh, tetapi tidak tamyiz; tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk.

Mereka seperti kapal besar dengan layar terbuka, siap berlayar, tapi tanpa kompas. Tak tahu arah, hanya terombang-ambing di tengah lautan. Sementara itu, angin libido berhembus kencang, menggiring mereka ke pelabuhan-pelabuhan berbahaya. Anak-anak ini, di usianya yang masih muda, dihadapkan pada badai yang bahkan orang dewasa pun kadang tidak mampu menghadapinya.

Bagaimana mungkin seorang anak gadis bisa menolak godaan dunia ketika mereka tidak diajarkan bagaimana menghadapi hal itu? Sedang di dalam hatinya, iman yang seharusnya menjadi benteng begitu rapuh. Ilmu yang seharusnya memandu langkah-langkahnya dalam menghadapi dunia, begitu dangkal. Sering kali anak-anak kita tidak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi derasnya arus pergaulan bebas. Akhirnya, mereka terseret tanpa tahu bagaimana bertahan.

Allah mengingatkan kita dalam surah Al-Furqan ayat 74, bahwa orang-orang beriman berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Keturunan yang baik, lahir dari bimbingan iman yang kokoh sejak dini.

Lingkungan dan Pergaulan Tanpa Batas

Sekarang, mari lihat lebih dalam pada lingkungan. Anak-anak ini lahir, tumbuh, dan hidup di dunia yang menfasilitasi segalanya, bahkan yang tidak seharusnya mereka dapatkan di usia muda. Pergaulan lawan jenis hampir tanpa batas. Dunia seperti memberi panggung bagi mereka untuk bermain-main, sementara kita, orang dewasa, menjadi penonton yang diam. Di balik layar, internet dan media sosial telah menjadi sumber “pendidikan” mereka. Bukan pendidikan yang mendidik, melainkan “pendidikan” yang menggiring mereka ke jurang kenistaan.

Konten-konten yang membanjiri layar ponsel mereka penuh dengan godaan. Tutorial tentang merayu, tips bagaimana menarik perhatian lawan jenis, hingga trik “kumpul kebo” semuanya ada di ujung jari. Dunia maya, yang seharusnya menjadi alat untuk belajar dan berkembang, justru menjadi medan perang bagi jiwa-jiwa muda yang belum siap berperang.

Saat libido mulai tumbuh, anak-anak baligh ini tidak tahu kemana harus melabuhkan hasratnya. Pergaulan bebas, terutama di usia remaja, menjadi panggung tempat mereka mengekspresikan diri tanpa arah. Rasulullah mengingatkan kita, “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman.” (HR. At-Tirmidzi). Di sinilah letak tanggung jawab lingkungan, terutama pergaulan mereka, yang harus senantiasa dijaga. Sayangnya, peran ini sering kali terabaikan.

Pakaian dan Simbolisme yang Bergeser

Pakaian juga tidak kalah penting perannya. Di satu sisi, kita melihat mereka yang berjilbab, yang katanya ingin menutup aurat. Tapi apa yang terjadi? Jilbab yang seharusnya menutupi, kini malah menjadi alat untuk pamer tonjolan. Bukannya menyembunyikan aurat, tapi malah membungkus ketat lekuk tubuh yang seharusnya tertutup rapat. Bagaimana bisa anak-anak ini belajar tentang menjaga diri jika sekeliling mereka justru menunjukkan hal yang sebaliknya?

Jilbab, yang dulunya adalah simbol kesederhanaan dan kehormatan, kini berubah menjadi sekadar fashion. Ketika batas-batas ini runtuh, anak-anak gadis kita kehilangan arah. Mereka terseret dalam arus tren tanpa memahami esensi dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Rasulullah bersabda, “Akan ada pada umatku di akhir zaman orang-orang yang berpakaian namun hakikatnya telanjang.” (HR. Muslim).

Orang Tua, Guru, dan Masjid: Dimana Mereka?

Lalu kita sampai pada lingkaran orang dewasa di sekitar anak-anak ini. Orang tua sibuk mencari nafkah, mengejar harta untuk kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Seperti burung yang meninggalkan sarangnya pagi-pagi, mereka kembali ke rumah dengan kelelahan dan nyaris tidak punya waktu untuk anak-anak. “Lelah, Nak,” itu yang mereka katakan. Sementara anak-anak yang butuh perhatian, bimbingan, dan kasih sayang, dibiarkan tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Padahal, Rasulullah SAW mengingatkan, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari).

Tetangga? Mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing, lebih tertarik dengan status WhatsApp dan media sosial daripada peduli pada anak-anak di sekitarnya. Padahal, dalam hadits disebutkan bahwa hak tetangga begitu besar dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah bersabda, “Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai aku mengira bahwa dia akan mewarisi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Guru dan dosen juga tidak bisa luput dari sorotan. Mereka terlalu sibuk mencetak angka, mengurus rapor, dan menilai hasil ujian. Pendidikan, yang seharusnya membangun karakter dan moral, hanya menjadi alat untuk mencapai nilai akademis. Anak-anak ini diajari cara menghafal pelajaran, tapi tidak diajari bagaimana mencintai diri mereka sendiri dengan cara yang benar. Mereka pandai dalam matematika, tapi bodoh dalam menghitung risiko pergaulan bebas. Anak-anak ini pintar menghitung angka, tapi lemah dalam menghitung dosa.

Dan masjid? Masjid dan musholla hanya ramai saat Jumatan atau saat ada acara perayaan agama. Selain itu, tempat-tempat suci ini sepi, menjadi simbol yang buram dalam keseharian. Masjid yang seharusnya menjadi tempat perlindungan spiritual, kini hanya menjadi tempat seremonial. Anak-anak jarang diajak ke masjid, jarang disadarkan pentingnya iman. Seolah-olah agama hanya ada di hari Jumat, selebihnya, agama seperti menghilang dari kehidupan sehari-hari.

Zina dan Nasab yang Tercemar

Kita semua tahu apa yang akhirnya terjadi. Anak-anak ini terjerumus. Mereka berhubungan seks sebelum waktunya, tanpa kesiapan mental, apalagi kesiapan tanggung jawab. Dan ketika kenyataan itu menampar keras, saat kehamilan terjadi, barulah kita semua sibuk mencari solusi. “Nikahkan saja,” itulah solusi instan yang diambil banyak orang. Tapi solusi ini lebih seperti plaster untuk luka yang dalam. Ia tidak menyembuhkan, hanya menutup sementara.

Anak hasil zina dalam syariat Islam tidak punya bapak secara syariat. Dia hanya punya bapak biologis, yang tidak bisa memberikan nasab. Itulah mengapa dalam Islam, menjaga nasab sangatlah penting. Zina merusak nasab, merusak tatanan sosial dan spiritual. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

Zina bukan hanya soal dosa individu. Zina merusak keluarga, merusak hubungan sosial, dan berdampak buruk pada generasi berikutnya. Kita semua tahu ini, tapi apakah kita peduli?

Satu Kesulitan, Dua Kemudahan

Namun kita tidak boleh berputus asa. Allah berfirman, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6). Di tengah kekelaman ini, masih ada harapan. Jika kita bisa memperbaiki diri, memperbaiki cara kita mendidik, maka masalah ini bisa diatasi. Zaman jahiliyyah di tanah Arab jauh lebih kelam daripada apa yang kita hadapi sekarang. Mereka bisa sembuh, kita pun bisa.

Apa yang bisa kita lakukan? Dimulai dari diri sendiri. Kita harus lebih peduli pada anak-anak kita, lebih peduli pada generasi yang akan datang. Pendidikan agama tidak hanya soal seremonial, tetapi harus masuk ke dalam hati. Orang tua harus kembali ke rumah, kembali memeluk anak-anak mereka, mengajarkan mereka bukan hanya soal dunia, tetapi juga akhirat.

Guru dan dosen harus melihat bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai akademis. Anak-anak ini adalah masa depan, dan mereka harus dididik dengan benar, dengan cinta, dengan perhatian.

Dan masjid, musholla, harus kembali menjadi pusat kehidupan spiritual. Bukan hanya tempat berkumpul, tapi tempat di mana anak-anak belajar tentang kebaikan, tentang kasih sayang Allah, dan tentang bagaimana mereka harus menjaga diri di dunia yang penuh godaan ini.

Siapa yang Benar?

Sebagai seorang ayah sekaligus guru, saya merenung. Tugas mendidik tidak pernah selesai. Setiap anak adalah amanah yang harus dijaga, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral dan spiritual. Di dunia yang semakin terbuka ini, tantangan semakin besar. Namun, dengan iman yang kokoh, ilmu yang benar, dan lingkungan yang mendukung, kita bisa mengembalikan anak-anak kita pada jalan yang lurus, insya Allah.

Tugas kita sebagai orang tua, guru, tetangga, dan masyarakat adalah mulai mencari solusi. Mulai menanamkan iman dan ilmu kepada anak-anak kita. Mulai memperbaiki lingkungan pergaulan mereka, mengajarkan tentang batasan yang ada dalam agama. Menjadi teladan, bukan hanya menyalahkan.

Pertanyaan “siapa yang benar?” mungkin tidak memiliki satu jawaban tunggal. Namun, yang pasti, setiap kita memiliki peran. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidaklah seorang hamba diberikan amanah oleh Allah untuk memimpin, lalu ia mati sementara ia mengkhianati amanah itu, kecuali Allah haramkan baginya surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Mari kita pegang amanah ini dengan sebaik-baiknya.

Karena sesungguhnya, tugas kita bukan hanya menyelamatkan anak-anak kita dari kesalahan mereka, tapi juga menyelamatkan mereka dari dunia yang begitu siap menjatuhkan mereka.

Write a Comment

Comment